Masalah lingkungan hidup, pencemaran dan pengurasan sumberdaya telah lama mengakibatkan hilangnya keseimbangan pada alam sehingga menjadi perbincangan hangat bagi para ilmuwan, budayawan seluruh dunia. Di sisi lain, masalah ini telah pula melahirkan kecemasan karena rusaknya lingkungan yang mengancam kehidupan seluruh manusia.
Ancaman ini menegaskan ucapan dari sebagian peneliti, “andaikata lingkungan ini memiliki pendengaran dan mulut untuk berbicara, niscaya akan terdengarlah teriakan histeris dari terbakarnya lapisan ozon di atas bumi ini yang diiringi rintihan air sepanjang sungai dan laut karena terisi oleh percikkan minyak dan sekaratnya udara oleh gas-gas mati dari industri , peluru-peluru dari seluruh belahan bumi”.
Definisi Lingkungan
Istilah lingkungan jarang sekali digunakan dalam kerangka etimologi dan terminologi. Lingkungan adalah sebuah lingkup dimana manusia hidup, ia tinggal di dalamnya baik bepergian ataupun menghasilkan diri. Sebagai tempat ia kembali dalam keadaan rela ataupun terpaksa. Lingkungan ini meliputi lingkungan yang dinamis (hidup) dan yang statis (mati). Lingkungan mati meliputi alam (luar angkasa, benda luaran bumi, langit, matahari, bulan, bintang dll) dan industri yang diciptakan manusia meliputi segala apa yang ada ataupun digali dari tanah, dari sungai, rumah yang dibangun dan hasil karya manusia. Lingkungan yang dinamis tadi meliputi wilayah hewan dan tumbuhan .
Bahwasanya di dalam surga, Adam dan Hawa berhak meminta apapun kemauan mereka untuk seluruh kebutuhan tanpa kerja keras untuk mendapatkannya sebagaimana keadaan bahwa surga diciptakan untuk mereka berdua. Namun ketika Adam dan Hawa dikeluarkan menuju bumi, dari surga oleh Allah SWT dan pengangkatan derajadnya sebagai wakil dan khalifah, mereka memiliki kewajiban untuk berusaha mencari rezekinya sendiri, bersusah payah untuk kelangsungan hidupnya.
Mereka dibebani tanggung jawab untuk menjamin keberlangsungan hidup mereka sendiri. Maka Allah SWT telah menciptakan bumi dan seisinya untuk tempat tinggal mereka. Dalam Quran surat Al Hijr, 19-20 disebutkan “Dan Kami telah menghamparkan bumi dan menjadikan padanya gunung-gunung dan Kami tumbuhkan padanya segala sesuatu menurut ukuran. Dan Kami menjadikan untukmu di bumi keperluan-keperluan hidup dan (Kami menciptakan pula) mahluk-mahluk yang kami sekali-kali bukan pemberi risky kepadanya”.
Sebagai manifestasi pemahaman ayat tadi, bahwa bumi ini dibuat subur oleh Allah SWT sehingga bisa ditanami. Ada bagian yang gersang, adapula bagian yang amat subur. Bagian yang gersang ketika hujan menajdi begitu subur.
Allah pula yang menciptakan semesta alam dimana ini pada dasarnya bukanlah suatu realitas tunggal melainkan relitas yang terdiri dari berbagai macam bentuk dan rupa serta terdiri dari berbagai unsur yang tak terhitung jumlahnya kemudian menyatu membentuk sesuatu yang disebut universe. Tetapi pembentukan material yang jumlahnya tak terhitung, dari jutaan unsur yang bersatu, berkesinambungan, kemajemukan luar biasa ini menunjukkan sutau bentuk harmonisasi, keteraturan dan keindahan tanpa ada satupun yang menyimpang dari hukum-hukum yang telah diciptakan.
Peran Manusia terhadap Lingkungan
Manusia adalah khalifah, mahluk tertinggi derajadnya diantara segala ciptaan Allah. Karena ktinggian derajadnya ini, Allah ingin menguji dengan memberikan kemampuan pada manusia melebihi malaikat maupun jin. Kemampuan dan keleluasaan dalam ilmu pengetahuan. Dalam Al Baqarah, 30 disebutkan “Ingatlah ketika Tuhan-mu berfirman kepada Malaikat, “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi’. Nereka berkata ‘Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu, orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau. ‘Tuhan berfirman ‘Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui’.
Manusia adalah penggerak utama kehidupan di muka bumi atas pengelolaan alam ini. Ibarat dua sisi mata uang, manusia bisa menjadi mahluk yang mampu menjaga keseimbangan dan mendayagunakan alam. Namun lebih banyak manusia yang justru bergerak sendiri dengan kebebasannya menjadi mahluk yang tidak memperhatikan alam. Kerusakkan yang terjadi, pencemaran global, pengurasan sumberdaya. Pelecehan prinsip keseimbangan yang tanpa disadari ini membawa kita menuju dosa besar.
Konsep Lingkungan Religius
Islam mengajarkan pendekatan terhadap lingkungan secara menyeluruh melalui pengajaran system yang terarah, mulai dari hal yang kecil dan bermuara pada perbaikan tingkah lagu seluruh umatnya. Diajarkan dalam Islam, bagaimana menjaga kebersihan. Bahkan Thaharah (bersuci) menjadi tempat teratas dalam buku-buku syariat Islam. Bagaimana pelajaran seorang muslim dimulai dari sesuatu yang bersih dan akan berakhir pada hasil yang bersih juga.
Ada dialog antara ulama besar dengan seorang birokrat sekaligus praktisi lingkungan di mesjid Al Azhar beberapa tahun lampau. Alkisah dahulu, Emil Salim sang Menteri Kependudukan dan Lingkungan Hidup, datang menghadap ulama besar dan Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Prof. Haji Abdul Malik Karim Amarullah (HAMKA), dan berharap pada ulama agar dapat memberikan bantuan dalam menyadarkan ummat Islam terhadap lingkungan.
Emil mengatakan, “Buya, apa yang bisa dilakukan ummat Islam dalam melestarikan lingkungan hidupnya,” Prof Hamka, dengan arif menjawab: tidak ada yang salah dengan ajaran Islam dalam soal lingkungan hidup. “Tetapi kesalahan terjadi pada bagaimana cara kita mengajarkan Islam kepada masyarakat.” Kata Hamka, umat Islam akan tersentuh jika segala hal praktis dapat langsung dirasakan mereka. Misalnya umat Islam harus shalat lima waktu. Maka diperlukan air wudhu yang mensucikan. Dari mana umat mendapatkan air bersih? Dari sungai yang mengalir dari air tanah yang sah yang memenuhi persyaratan untuk menghadap khaliqnya. Dengan demikian setiap umat Islam harus memelihara air serta sumber-sumbernya agar mereka bisa beribadah kepada Allah. Jadi wajib hukumnya umat memelihara sumber-sumber air tersebut.
Ini dapat menjadi inspirasi bagaimana Islam memandang keseimbangan antara manusia dengan lingkungannya. Kebersihan yang dimulai dari diri pribadi, menuju Sang Esa. Jika kita berniat baik, berbuat baik dengan hasil yang akan baik pula.
Kembali Ke Agama, Solusi Masalah Lingkungan?
Ada otokritik dari cendekiawan Muslim Nurcholish Madjid. Menurutnya, dewasa ini dunia Islam praktis merupakan kawasan bumi yang paling terbelakang di antara penganut agama-agama besar. Negeri-negeri Islam jauh tertinggal oleh Eropa Utara, Amerika Utara, Australia dan Selandia Baru yang Protestan, oleh Eropa Selatan dan Amerika Selatan yang Katolik Romawi, oleh Eropa Timur yang Katolik Ortodoks, oleh Israel yang Yahudi, oleh India yang Hindu, oleh China, oleh Korea Selatan, Taiwan, Hongkong, dan Singapura yang Budhis-Konfusianis, oleh Jepang yang Budhis-Taois, dan oleh Thailand yang Budhis. Praktis tidak satu pun agama besar di muka bumi ini yang lebih rendah kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologinya daripada Islam. Dengan perkataan lain, di antara semua penganut agama besar di muka bumi ini, para pemeluk Islam adalah yang paling rendah dan lemah dalam hal sains dan teknologi. Demikian ungkap Cak Nur (Kaki Langit Peradaban, 1997).
Pernyataan menyedihkan dari cendekiawan Muslim kita itu menjadi ironis tatakala dalam literatur sejarah Islam pernah tertoreh nama emas seperti al-Khawarizmi Bapak Aljabar, Ibn Haitsam Bapak Optik, al-Biruni jenius tokoh besar eksperimental, Umar Khayyam penyair yang merintis geometri analitik, al-Thusi sebagai teolog, matematikawan, astronom dan banyak lagi ilmuwan muslim lainnya semisal –yang umum kita kenal seperti al-Kindi, Ibn Sina, dan Ibn Rusyd.
Zaman keemasan memang telah lewat. Sentral pengetahuan beralih dari Timur Tengah menuju Western. Pengetahuan kosmologis teologis beralih mejadi materialistic dan berfokus pada eksploitasi alam untuk kebutuhan manusia. Alam hanya dianggap sebagai pelacur yang memenuhi hasrat keinginan manusia saja.
Praktis, akibat dari penyimpangan pemikiran ini, banyak kerusakkan lingkungan yang melanda bumi. Dan saat lingkungan telah mulai rusak, dan menunjukkan kemarahannya, para praktisi dan pengambil kebijakan berkumpul. Kepala pemerintahan telah mengambil peran penting dengan pertemuan puncak “Pertemuan Bumi” di Rio De Janeiro yang menghasilkan deklarasi bumi tahun 1992. Setelah pertemuan usai, segala bentuk traktat dan perjanjian antara bangsa telah diikat dengan konvensi. Konvensi Bassel tentang lalu lintas dan sangsi limbah B3, Konvensi CITES berkaitan dengan perdagangan spesies fauna dan flora, konvensi keanekaragaman hayati, Konvensi PBB untuk penanggulangan perubahan iklim (UNFCCC) yang kemudian menghasilkan Protokol Kyoto yang berniat memaksa agar seluruh bangsa-bangsa dapat menurunkan tingkat emisi yang menyebabkan rumah kaca yang menjadi “biang keladi” perubahan iklim dan pemanasan global.
Tiga belas tahun telah berlalu, konvensi tersebut dan juga munculnya banyak undang-undang penegakkan lingkungan, sanksi keras, berbagai Protokol dan Keputusan Menteri, ternyata tidak mampu mengurangi dampak eksploitasi dan kerusakkan alam. Justru nilaninya sejak saat itu meningkat drastic, seakan-akan tidak ada nilai yang bisa memagari keinginan manusia ini.
Maka, inisiatif agama diperlukan untuk mengurangi kerusakan tersebut dengan cara yang lembut (soft), yaitu pendekatan religious. Alas an ini memang masuk akal. Dari 85% penduduk Muslim di Indonesia, jika saja mereka mendapat keteladanan untuk mengoptimalkan peran agama, niscara pendekatan ini jauh lebih efektif daripada penggunaan undang-undang ataupun konvensi yang akhirnya banyak dilanggar oleh masyarakat sendiri. Karena masyarakat kita banyak yang lebih mengutamakan syariat dibanding hukum manusia.
Alam telah rusak, kemana agama?
Setelah dirasakan tidak ada perubahan. Barulah timbul kesadaran baru yang mengkaitkan prinsip agama yang diharapkan berperan dalam menanggulangi krisis ekologi. “Sains dan teknologi memang diperlukan, tetapi itu saja tidak cukup. Kita memerlukan agama untuk terlibat dalam keluar dari krisis lingkungan, “ ujar Mary Evlyn Tucker guru besar agama dari Bucknel University.
Prof. Mary Evlyn Tucker besama John Grim, menjadi salah satu pelopor untuk forum agama dan lingkungan dan membawa diskursus ini dalam berbagai kegiatan dari tingkat internasional hingga lokal untuk menghimbau supaya agama-agama terlibat dalam menyelamatkan bumi. Bulan Agustus lalu, Evlyn diundang bersama dengan Dr. Ibrahim Ozdemir, dari University of Ankara, Turki untuk memberikan diskusi dengan tema: Religion and Ecology, yang diselenggarakan oleh Center for Religious & Cross - cultural Studies (CRCS) Pasca Sarjana UGM Yogyakarta. “Apabila melihat gejala yang dilakukan manusia terhadap alam, maka kita tiba pada fase kepunahan keenam, yaitu manusia berperan dalam ikut menghancurkan dan mengubur peradabannya di planet bumi dengan kekuasaan dan arogansi yang mereka lakukan. Umat manusia dan peradabannya, merupakan suatu yang terancam punah pula,” kata Mary Evelyn Tucker. Agama, menurut Evlyn, mempunyai lima resep dasar untuk menyelamatkan lingkungan dengan lima R: (1) Reference atau keyakinan yang dapat diperoleh dari teks (kitab-kitab suci) dan kepercayaan yang mereka miliki masing-masing; (2) Respect, penghargaan kepada semua makhluk hidup yang diajarkan oleh agama sebagai makhluk Tuhan; (3) Restrain, kemampuan untuk mengelola dan mengontrol sesuatu supaya penggunaanya tidak mubazir; (4) Redistribution, kemampuan untuk menyebarkan kekayaan; kegembiraan dan kebersamaan melalui langkah dermawan; misalnya zakat, infaq dalam Islam; (5) Responsibility, sikap bertanggunjawab dalam merawat kondisi lingkungan dan alam.
Ancaman ini menegaskan ucapan dari sebagian peneliti, “andaikata lingkungan ini memiliki pendengaran dan mulut untuk berbicara, niscaya akan terdengarlah teriakan histeris dari terbakarnya lapisan ozon di atas bumi ini yang diiringi rintihan air sepanjang sungai dan laut karena terisi oleh percikkan minyak dan sekaratnya udara oleh gas-gas mati dari industri , peluru-peluru dari seluruh belahan bumi”.
Definisi Lingkungan
Istilah lingkungan jarang sekali digunakan dalam kerangka etimologi dan terminologi. Lingkungan adalah sebuah lingkup dimana manusia hidup, ia tinggal di dalamnya baik bepergian ataupun menghasilkan diri. Sebagai tempat ia kembali dalam keadaan rela ataupun terpaksa. Lingkungan ini meliputi lingkungan yang dinamis (hidup) dan yang statis (mati). Lingkungan mati meliputi alam (luar angkasa, benda luaran bumi, langit, matahari, bulan, bintang dll) dan industri yang diciptakan manusia meliputi segala apa yang ada ataupun digali dari tanah, dari sungai, rumah yang dibangun dan hasil karya manusia. Lingkungan yang dinamis tadi meliputi wilayah hewan dan tumbuhan .
Bahwasanya di dalam surga, Adam dan Hawa berhak meminta apapun kemauan mereka untuk seluruh kebutuhan tanpa kerja keras untuk mendapatkannya sebagaimana keadaan bahwa surga diciptakan untuk mereka berdua. Namun ketika Adam dan Hawa dikeluarkan menuju bumi, dari surga oleh Allah SWT dan pengangkatan derajadnya sebagai wakil dan khalifah, mereka memiliki kewajiban untuk berusaha mencari rezekinya sendiri, bersusah payah untuk kelangsungan hidupnya.
Mereka dibebani tanggung jawab untuk menjamin keberlangsungan hidup mereka sendiri. Maka Allah SWT telah menciptakan bumi dan seisinya untuk tempat tinggal mereka. Dalam Quran surat Al Hijr, 19-20 disebutkan “Dan Kami telah menghamparkan bumi dan menjadikan padanya gunung-gunung dan Kami tumbuhkan padanya segala sesuatu menurut ukuran. Dan Kami menjadikan untukmu di bumi keperluan-keperluan hidup dan (Kami menciptakan pula) mahluk-mahluk yang kami sekali-kali bukan pemberi risky kepadanya”.
Sebagai manifestasi pemahaman ayat tadi, bahwa bumi ini dibuat subur oleh Allah SWT sehingga bisa ditanami. Ada bagian yang gersang, adapula bagian yang amat subur. Bagian yang gersang ketika hujan menajdi begitu subur.
Allah pula yang menciptakan semesta alam dimana ini pada dasarnya bukanlah suatu realitas tunggal melainkan relitas yang terdiri dari berbagai macam bentuk dan rupa serta terdiri dari berbagai unsur yang tak terhitung jumlahnya kemudian menyatu membentuk sesuatu yang disebut universe. Tetapi pembentukan material yang jumlahnya tak terhitung, dari jutaan unsur yang bersatu, berkesinambungan, kemajemukan luar biasa ini menunjukkan sutau bentuk harmonisasi, keteraturan dan keindahan tanpa ada satupun yang menyimpang dari hukum-hukum yang telah diciptakan.
Peran Manusia terhadap Lingkungan
Manusia adalah khalifah, mahluk tertinggi derajadnya diantara segala ciptaan Allah. Karena ktinggian derajadnya ini, Allah ingin menguji dengan memberikan kemampuan pada manusia melebihi malaikat maupun jin. Kemampuan dan keleluasaan dalam ilmu pengetahuan. Dalam Al Baqarah, 30 disebutkan “Ingatlah ketika Tuhan-mu berfirman kepada Malaikat, “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi’. Nereka berkata ‘Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu, orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau. ‘Tuhan berfirman ‘Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui’.
Manusia adalah penggerak utama kehidupan di muka bumi atas pengelolaan alam ini. Ibarat dua sisi mata uang, manusia bisa menjadi mahluk yang mampu menjaga keseimbangan dan mendayagunakan alam. Namun lebih banyak manusia yang justru bergerak sendiri dengan kebebasannya menjadi mahluk yang tidak memperhatikan alam. Kerusakkan yang terjadi, pencemaran global, pengurasan sumberdaya. Pelecehan prinsip keseimbangan yang tanpa disadari ini membawa kita menuju dosa besar.
Konsep Lingkungan Religius
Islam mengajarkan pendekatan terhadap lingkungan secara menyeluruh melalui pengajaran system yang terarah, mulai dari hal yang kecil dan bermuara pada perbaikan tingkah lagu seluruh umatnya. Diajarkan dalam Islam, bagaimana menjaga kebersihan. Bahkan Thaharah (bersuci) menjadi tempat teratas dalam buku-buku syariat Islam. Bagaimana pelajaran seorang muslim dimulai dari sesuatu yang bersih dan akan berakhir pada hasil yang bersih juga.
Ada dialog antara ulama besar dengan seorang birokrat sekaligus praktisi lingkungan di mesjid Al Azhar beberapa tahun lampau. Alkisah dahulu, Emil Salim sang Menteri Kependudukan dan Lingkungan Hidup, datang menghadap ulama besar dan Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Prof. Haji Abdul Malik Karim Amarullah (HAMKA), dan berharap pada ulama agar dapat memberikan bantuan dalam menyadarkan ummat Islam terhadap lingkungan.
Emil mengatakan, “Buya, apa yang bisa dilakukan ummat Islam dalam melestarikan lingkungan hidupnya,” Prof Hamka, dengan arif menjawab: tidak ada yang salah dengan ajaran Islam dalam soal lingkungan hidup. “Tetapi kesalahan terjadi pada bagaimana cara kita mengajarkan Islam kepada masyarakat.” Kata Hamka, umat Islam akan tersentuh jika segala hal praktis dapat langsung dirasakan mereka. Misalnya umat Islam harus shalat lima waktu. Maka diperlukan air wudhu yang mensucikan. Dari mana umat mendapatkan air bersih? Dari sungai yang mengalir dari air tanah yang sah yang memenuhi persyaratan untuk menghadap khaliqnya. Dengan demikian setiap umat Islam harus memelihara air serta sumber-sumbernya agar mereka bisa beribadah kepada Allah. Jadi wajib hukumnya umat memelihara sumber-sumber air tersebut.
Ini dapat menjadi inspirasi bagaimana Islam memandang keseimbangan antara manusia dengan lingkungannya. Kebersihan yang dimulai dari diri pribadi, menuju Sang Esa. Jika kita berniat baik, berbuat baik dengan hasil yang akan baik pula.
Kembali Ke Agama, Solusi Masalah Lingkungan?
Ada otokritik dari cendekiawan Muslim Nurcholish Madjid. Menurutnya, dewasa ini dunia Islam praktis merupakan kawasan bumi yang paling terbelakang di antara penganut agama-agama besar. Negeri-negeri Islam jauh tertinggal oleh Eropa Utara, Amerika Utara, Australia dan Selandia Baru yang Protestan, oleh Eropa Selatan dan Amerika Selatan yang Katolik Romawi, oleh Eropa Timur yang Katolik Ortodoks, oleh Israel yang Yahudi, oleh India yang Hindu, oleh China, oleh Korea Selatan, Taiwan, Hongkong, dan Singapura yang Budhis-Konfusianis, oleh Jepang yang Budhis-Taois, dan oleh Thailand yang Budhis. Praktis tidak satu pun agama besar di muka bumi ini yang lebih rendah kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologinya daripada Islam. Dengan perkataan lain, di antara semua penganut agama besar di muka bumi ini, para pemeluk Islam adalah yang paling rendah dan lemah dalam hal sains dan teknologi. Demikian ungkap Cak Nur (Kaki Langit Peradaban, 1997).
Pernyataan menyedihkan dari cendekiawan Muslim kita itu menjadi ironis tatakala dalam literatur sejarah Islam pernah tertoreh nama emas seperti al-Khawarizmi Bapak Aljabar, Ibn Haitsam Bapak Optik, al-Biruni jenius tokoh besar eksperimental, Umar Khayyam penyair yang merintis geometri analitik, al-Thusi sebagai teolog, matematikawan, astronom dan banyak lagi ilmuwan muslim lainnya semisal –yang umum kita kenal seperti al-Kindi, Ibn Sina, dan Ibn Rusyd.
Zaman keemasan memang telah lewat. Sentral pengetahuan beralih dari Timur Tengah menuju Western. Pengetahuan kosmologis teologis beralih mejadi materialistic dan berfokus pada eksploitasi alam untuk kebutuhan manusia. Alam hanya dianggap sebagai pelacur yang memenuhi hasrat keinginan manusia saja.
Praktis, akibat dari penyimpangan pemikiran ini, banyak kerusakkan lingkungan yang melanda bumi. Dan saat lingkungan telah mulai rusak, dan menunjukkan kemarahannya, para praktisi dan pengambil kebijakan berkumpul. Kepala pemerintahan telah mengambil peran penting dengan pertemuan puncak “Pertemuan Bumi” di Rio De Janeiro yang menghasilkan deklarasi bumi tahun 1992. Setelah pertemuan usai, segala bentuk traktat dan perjanjian antara bangsa telah diikat dengan konvensi. Konvensi Bassel tentang lalu lintas dan sangsi limbah B3, Konvensi CITES berkaitan dengan perdagangan spesies fauna dan flora, konvensi keanekaragaman hayati, Konvensi PBB untuk penanggulangan perubahan iklim (UNFCCC) yang kemudian menghasilkan Protokol Kyoto yang berniat memaksa agar seluruh bangsa-bangsa dapat menurunkan tingkat emisi yang menyebabkan rumah kaca yang menjadi “biang keladi” perubahan iklim dan pemanasan global.
Tiga belas tahun telah berlalu, konvensi tersebut dan juga munculnya banyak undang-undang penegakkan lingkungan, sanksi keras, berbagai Protokol dan Keputusan Menteri, ternyata tidak mampu mengurangi dampak eksploitasi dan kerusakkan alam. Justru nilaninya sejak saat itu meningkat drastic, seakan-akan tidak ada nilai yang bisa memagari keinginan manusia ini.
Maka, inisiatif agama diperlukan untuk mengurangi kerusakan tersebut dengan cara yang lembut (soft), yaitu pendekatan religious. Alas an ini memang masuk akal. Dari 85% penduduk Muslim di Indonesia, jika saja mereka mendapat keteladanan untuk mengoptimalkan peran agama, niscara pendekatan ini jauh lebih efektif daripada penggunaan undang-undang ataupun konvensi yang akhirnya banyak dilanggar oleh masyarakat sendiri. Karena masyarakat kita banyak yang lebih mengutamakan syariat dibanding hukum manusia.
Alam telah rusak, kemana agama?
Setelah dirasakan tidak ada perubahan. Barulah timbul kesadaran baru yang mengkaitkan prinsip agama yang diharapkan berperan dalam menanggulangi krisis ekologi. “Sains dan teknologi memang diperlukan, tetapi itu saja tidak cukup. Kita memerlukan agama untuk terlibat dalam keluar dari krisis lingkungan, “ ujar Mary Evlyn Tucker guru besar agama dari Bucknel University.
Prof. Mary Evlyn Tucker besama John Grim, menjadi salah satu pelopor untuk forum agama dan lingkungan dan membawa diskursus ini dalam berbagai kegiatan dari tingkat internasional hingga lokal untuk menghimbau supaya agama-agama terlibat dalam menyelamatkan bumi. Bulan Agustus lalu, Evlyn diundang bersama dengan Dr. Ibrahim Ozdemir, dari University of Ankara, Turki untuk memberikan diskusi dengan tema: Religion and Ecology, yang diselenggarakan oleh Center for Religious & Cross - cultural Studies (CRCS) Pasca Sarjana UGM Yogyakarta. “Apabila melihat gejala yang dilakukan manusia terhadap alam, maka kita tiba pada fase kepunahan keenam, yaitu manusia berperan dalam ikut menghancurkan dan mengubur peradabannya di planet bumi dengan kekuasaan dan arogansi yang mereka lakukan. Umat manusia dan peradabannya, merupakan suatu yang terancam punah pula,” kata Mary Evelyn Tucker. Agama, menurut Evlyn, mempunyai lima resep dasar untuk menyelamatkan lingkungan dengan lima R: (1) Reference atau keyakinan yang dapat diperoleh dari teks (kitab-kitab suci) dan kepercayaan yang mereka miliki masing-masing; (2) Respect, penghargaan kepada semua makhluk hidup yang diajarkan oleh agama sebagai makhluk Tuhan; (3) Restrain, kemampuan untuk mengelola dan mengontrol sesuatu supaya penggunaanya tidak mubazir; (4) Redistribution, kemampuan untuk menyebarkan kekayaan; kegembiraan dan kebersamaan melalui langkah dermawan; misalnya zakat, infaq dalam Islam; (5) Responsibility, sikap bertanggunjawab dalam merawat kondisi lingkungan dan alam.