PENDAHULUAN
Aktivitas
pertambangan khususnya tambang terbuka (open pit) hampir selalu mengakibatkan
perubahan morfologi permukaan mengingat penggalian menjadi aktivitas utamanya.
Pengusahaan
pertambangan seperti ini memerlukan
capital
yang besar, teknologi
tinggi dan skill khusus. Selain itu faktor keselamatan tentunya menjadi salah
satu pertimbangan utama dalam rangkaian aktivitas penambangan. Oleh karena itulah sudah
jelas dibutuhkan teknologi atau perencanaan yang baik agar pelaksanaan kegiatan
penambangan bisa berjalan dengan aman, terjadi efisiensi biaya, efektif dan
produktivitas dari pekerja tinggi serta lancar tanpa terjadi atau seminimal
mungkin kecelakaan kerja.
Kestabilan
lereng menjadi perhatian khusus dalam merencanakan aktivitas penambangan di
tambang terbuka. Perhitungan dan pemantauan secara tepat harus dilakukan untuk
menghilangkan resiko longsoran. Resiko ini amat besar dampaknya terhadap perusahaan seperti
kerusakan peralatan, waktu, biaya dan korban manusia. Kebijakan pemerintah
tentang kestabilan lereng tersebut diatur dalam Kepmen Pertambangan dan Energi No. 555. K/26/M.PE/1995
tanggal 12 Mei 1995 tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja di Pertambangan Umum.
kestabilan lereng menentukan keamanan hingga keekonomian aktivitas tambang
Kestabilan
lereng ini tergantung dari rasio stripping atau nisbah pengupasan yang
membandingkan unit batuan pengotor (waste/lapisan tanah penutup) dengan minera
berharga yang akan diambil. Faktor lain yang berpengaruh sperti kondisi air
tanah, kekeasan batuan. Detail faktor-faktor yang mempengaruhi kestabian lereng
ini yaitu:
a.
Penyebaran Batuan
Penyebaran jenis tanah atau batuan yang terdapat di
lokasi penelitian harus diketahui dengan benar karena masing–masing jenis tanah
atau batuan mempunyai sifat fisik dan mekanik yang berbeda pada suatu keadaan
tertentu serta mempunyai sifat yang berbeda pula apabila suatu beban atau
tegangan dikenakan kepadanya.
b.
Morfologi Daerah
Morfologi suatu daerah adalah keadaan fisik,
karakteristik dan bentuk permukaan dari bumi, Morfologi ini sangat menentukan
laju erosi yang akan berpengaruh pada cepat atau lambatnya proses dan
pengendapan yang terjadi, dan mentukan arah aliran tanah maupun air permukaan.
c.
Struktur Geologi
Struktur geologi yang harus diketahui meliputi struktur
regional maupun lokal, struktur mayor maupun minor. Struktur geologi ini
mencakup pencatatan adanya kekar, sesar, bidang perlapisan, siklin dan
antiklin, ketidak selaran, dll. Struktur Geologi ini sangat mempengaruhi
kekuatan batuan atau tanah atau paling tidak merupakan tempat-tempat rembesan
air sehingga akan mempengaruhi cepat atau lambatnya proses pelapukan. Penentuan
arah jurus dan kemiringan bidang-bidang tersebut merupakan bagian yang sangat
penting dalam melengkapi data analisa.
d.
Iklim
Iklim
merupakan salah satu faktor yang penting dalam analisa kestabilan lereng,
karena mempengaruhi perubahan temperatur dan curah hujan. Hal ini berhubungan
dengan tingkat pelapukan yang terjadi pada satu daerah. Pada daerah tropis
proses pelapukan terjadi lebih cepat dibandingkan dengan daerah dingin.
Pelapukan mempengaruhi sifat-sifat fisik
dan mekanik dari batuan dan tanah, yaitu:
-
c
(Kohesi)
-
f ( Sudut geser dalam)
-
g (Bobot isi batuan atau
tanah)
e.
Aktivitas Manusia
Selain akibat
alamiah, hasil kerja manusia juga dapat mempengaruhi kestabilan lereng
diantaranya kegiatan penggalian, pembuatan jalan tambang, bendungan. Akibat
kegiatan tersebut akan menyebabkan perubahan keseimbangan dari gaya-gaya dalam
sehingga akan menyebabkan bertambahnya gaya geser.
f.
Geometri Lereng
Geometri lereng harus diperhatikan adalah tinggi (H)
dan sudut kemiringan lereng (a), apabila suatu lereng
baik lereng tunggal maupun lereng total mempunyai kemiringan yang tetap, maka
perubahan ketinggian akan mengakibatkan perubahan kestabilan dari lereng yang
bersangkutan karena berat material lereng yang harus ditahan oleh kekuatan
geser tanah/batuan semakin besar. Dengan demikian sehubungan dengan hal
tersebutmaka unutuk menjaga daripada lereng, maka semakin tinggi lereng maka
sudut kemiringan lereng yang diperlukan makin kecil.
g.
Pengaruh Air Tanah
Pengaruh
ketinggian air tanah di dalam massa tanah atau batuan pada lereng dapat
berfungsi sebagai pelarut dan sebagai media tranportasi material pengisi celah
rekahan dimana akibat dengan adanya kehadiran air tersebut dapat menimbulkan
tegangan air pori yang akan mengurangi tegangan normal, sehingga akan
memperkecil kekuatan geser. Pada gambar 5 dijelaskan pengaruh kehadiran air
tanah pada kestabilan lereng.
Pengaruh Tekanan Air Yang
Pada Block
Adapun persamaan tegangan normal yang diakibatkan oleh
adanya air adalah sebagai berikut :
sn = ( W cos a - U ) / A
sehingga persamaan nilai fator keamanan dengan pengaruh
tegangan air pori adalah sebagai berikut :
Dimana :
s
=
Tegangan normal
U =
Gaya angkat air
A =
Area pada dasar blok
a = Sudut kemiringan bidang luncur
W =
Berat blok yang meluncur
h.
Sifat Fisik dan Sifat
Mekanika Material
Sifat fisik dan sifat mekanika tanah atau batuan
merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kestabilan dari lereng karena
berhubungan dengan besar kecilnya nilai kekuatan geser dimana kelongsoran yang
tejadi pada lereng merupakan peristiwa keruntuhan geser, dengan demikian di
dalam melakukan analisa kestabilan dari lereng tanah atau batuan perlu
diketahui sifat fisisk dan mekanik tanah atau batuan yang mempengaruhi kuat
geser.
Adapun sifat fisik dan mekanik tanah dan batuan yang
diperlukan dalam melakukan analisa kestabilan lereng adalah sebagai berikut :
v Sudut geser dalam
v Kohesi
v Bobot isi
Kestabilan
lereng mutlak menjadi pertimbangan husus dalam operasional tambang terbuka.
Dalam praktir pertambangan, jika nilai faktor keselamatan telah memenhi
kritaria, maka lereng tersebut dikategorikan aman dari longsoran.
Namun apabila
berbicara dri sudut pandang lainya khususnya kehutanan, akan terbentur dengan
regulasi kehutanan dimana menyebutkan tanah yang peka erosi dengan kemiringan
lereng lebih dari 15% dikategorikan hutan lindung. Oleh karena itu, praktik
penambangan yang baik dan benar (good minig practice) harus lebih diupayakan
lagi.
Peraturan KESTABILAN LERENG PENAMBANGAN DI INDONESIA
Kestabilan
lereng merupakan salah satu pertimbangan teknis yang perlu diperhitungkan di
dalam perencanaan tambang. Regulasi yang menjadi rujukan utama adalah Kepmen Pertambangan Dan
Energi No. 555. K/26/M.PE/1995 tanggal 22 Mei 1995 tentang
Keselamatan dan Kesehatan Kerja Pertambangan Umum yang merupakan penyempurnaan
atau pengganti MPR No. 341 tahun 1930.
Tujuan
dikeluarkannya Kepmen tersebut adalah untuk melindungi tenaga kerja,
peralatan, pelaksanaan kegiatan penambangan bisa berjalan dengan aman, terjadi
efisiensi biaya, efektif dan produktivitas dari pekerja tinggi serta lancar
tanpa terjadi atau seminimal mungkin kecelakaan kerja.
Menyangkut
kestabilan lereng seperti yang di atur di dalam Kepmen Pertambangan Dan Energi
No. 555. K/26/M.PE/1995 Bab VI pasal 240 sampai dengan pasal 242 berisi tentang
peraturan mengenai tinggi jenjang, lebar jenjang, dan sudut lereng yang sangat
tergantung pada ukuran peralatan, jenis batuan, sistem penambangan yang dipakai
serta kondisi dari keadaan geologi tempat bekerja seperti rekahan, patahan,
atau tanda-tanda tekanan atau tanda-tanda kelemahan lainnya.
Berikut
ini adalah pasal-pasal yang berkaitan dengan kestabilan lereng.
Pasal 240 Cara Kerja
a)
Kepala Teknik Tambang harus menjamin bahwa kestabilan lereng
penambangan, penimbunan dan material lainnya telah diperhitungkan dalam
perencanaan tambang
b)
Penimbunan tanah penutup hanya dapat dilakukan pada jarak
sekurang kurangnya 7,5 meter dari ujung
teras penambangan
c)
Dilarang melakukan penggalian potong bawah (under
cutting) pada permuka kerja, teras atau galeri, kecuali mendapat persetujuan
Kepala Pelaksana Inspeksi Tambang
d)
Permuka kerja harus aman dari batuan menggantung dan pada
waktu pengguguran batuan, para pekerja pada tempat tersebut harus menyingkir
e)
Permuka kerja tambang permukaan pada bagian atas daerah
kegiatan tambang bawah tanah hanya dapat dibuat setelah mendapat persetujuan
Kepala Pelaksana Inspeksi Tambang
f)
Dilarang bekerja atau berada di atas timbunan aktif batu
pecah, kecuali:
o
berdasarkan perintah seorang pengawas tambang
o
curahan batu ke dan dari timbunan telah dihentikan
o
telah diperoleh kepastian bahwa corongan di bawah
timbunan telah ditutup
o
pekerja menggunakan sabuk pengaman yang dihubungkan
dengan tali yang sesuai dengan panjangnya, diikatkan secara kuat dan aman pada
titik tetap diatasnya.
Pasal 241 Tinggi Permuka Kerja dan Lebar Teras
Kerja
(1)
Kemiringan, tinggi, dan lebar teras harus dibuat dengan
baik dan aman untuk keselamatan para pekerja agar terhindar dari material atau
benda jatuh
(2)
Tinggi jenjang (bench) untuk pekerjaan yang dilakukan
pada lapisan yang mengandung pasir, tanah liat, kerikil, dan material lepas
lainnya harus:
a. tidak
boleh lebih dari 2,5 meter apabila dilakukan secara manual
b.
tidak boleh lebih dari 6 meter apabila dilakukan secara
mekanis
c.
tidak boleh lebih dari 20 meter apabila dilakukan dengan
menggunakan clamsheel, dragline, bucket wheel excavator atau alat sejenis,
kecuali mendapat persetujuan Kepala Pelaksana Inspeksi Tambang
(3)
Tinggi jenjang untuk pekerjaan yang dilakukan pada
material kompak tidak boleh lebih dari 6 meter apabila dilakukan secara manual
(4)
Dalam hal penggalian dilakukan sepenuhnya dengan alat
mekanis yang dilengkapi dengan kabin pengaman yang kuat, maka tinggi jenjang
maksimum untuk jenis material kompak 15 meter, kecuali mendapat persetujuan
Kepala Pelaksana Inspeksi Tambang
(5)
Studi kestabilan lereng harus dibuat apabila:
a.
tinggi jenjang keseluruhan pada sistem penambangan
berjenjang lebih dari 15 meter
b.
tinggi setiap jenjang lebih dari 15 meter
(6)
Lebar lantai teras kerja sekurang-kurangnya 1,5 kali
tinggi jenjang atau disesuaikan dengan alat-alat yang digunakan sehingga dapat
bekerja dengan aman dan harus dilengkapi dengan tanggul pengaman (safety berm)
pada tebing yang terbuka dan diperiksa pada setiap gilir kerjadari kemungkinan
adanya rekahan atau tanda-tanda tekanan atau tanda-tanda kelemahan lainnya.
Pasal 242
(1)
Pada
waktu membuat sumuran, parit, atau pekerjaan sejenis yang dinding bukaannya
mencapai tinggi lebih dari 1,2 meter, harus diberi penyangga atau dibuat miring
dengan sudut yang aman
(2) Pembuatan tanggul atau bendungan air yang
bersifat sementara atau tetap harus cukup kuat dan memenuhi persyaratan yang
berlaku.
2.2.
Petunjuk
Perencanaan dan Penanggulangan Longsoran, Departemen Pekerjaan Umum.
Penanggulangan longsoran bisa bersifat preventif
maupun tindakan pascapreventif/koreksi. Preventif dimaksudkan untuk menghindari kemungkinan terjadinya
longsoran dan mencegah kerusakan yang lebih berat. Sedangkan
tindakan koreksi berupa penanggulangan darurat yang sementara
dan sederhana maupun permanen.
Tindakan Pencegahan
-
Menghindari
timbunan di bagian atas
lereng maupun pengambilan pada dan
kaki lereng (toe).
-
Reklamasi pada lahan lereng
-
Melakukan pengawaairan genangan air (kolam, kubangan dan
sebagainya) pada bagian atas lereng.
-
Meratakan
lekukan-lekukan yang memungkinkan timbulnya genangan.
-
Penggunaan
material
penahan (tiang,
tembok, wire mesh dan sebagainya).
-
Mencegah
terjadinya penggerusan sungai yang dapat mengganggu
kestabilan lereng.
-
Mengendalikan
air permukaan sehingga tidak terjadi erosi.
-
Pengaturan ruang dan tata guna tanah.
Koreksi
-
Mencegah
masuknya air permukaan ke dalam daerah longsoran dengan membuat saluran
terbuka.
-
Mengeringkan kolam-kolam yang ada di bagian atas derah
longsoran.
-
Mengalirkan
genangan air dan mata air yang tertimbun maupun yang terbuka.
-
Membuat
pasangan bronjong pada kaki longsoran.
-
Penimbunan
kembali bagian yang rusak akibat longsoran.
-
Pelebaran
ke arah tebing.
-
Membuang
runtuhan dari tebing ke bagian kaki lereng.
-
Pemotongan
crown/head
longsoran.
Beberapa tipe penanggulangan teknis dapat dilakukan untuk memperbaiki geometri lereng agar lebih aman seperti:
Mengubah Geometri Lereng
Mengendalikan air bawah tanah
Melakukan perkuatan
Mengendalikan air limpasan dan permukaan dan berbagai tindakan lain.
Pembuatan yang terencana dan tereklamasi akan menstabilkan lereng