Jakarta akan menjadi super padat, padat oleh penduduk yang mencari peruntungan disini maupun padat oleh aktvitas pembangunan properties. Tetapi kepadatan ini tetap saja tidak menjadi pertimbangan mendasar bagi pengambil keputusan untuk membuat kebijakan yang memperhatikan tata ruang, lingkungan dan kesejahteraan masyarakat banya. Yang memuakkan lagi, dalam dua tahun ke depan, telah direncanakan akan ada 13 proyek pusat belanja baru lagi. Hal itu terungkap dari hasil riset Procon Indah yang dipublikasikan pada 28 April 2008. Menurut riset tersebut, 40 persen penambahan pusat belanja akan berada di Jakarta Utara, 20 persen berada di Jakarta Selatan, dan 18 persen di Central Business District Jakarta. Luas pusat belanja di Jakarta pun diperkirakan akan mencapai 3,33 juta meter persegi.(One-World Indonesia).
Beberapa pusat belanja yang direncanakan akan beroperasi pada tahun ini antara lain Sudirman Place, Grand Paragon, Mall of Indonesia, Plaza Indonesia Extension, Emporium Pluit Mall, Epicentrum Walk, Pluit Village, dan Pulo Mas Ex-Venture. Dampak nyata dari meningkatnya jumlah dan luasan pusat belanja di Jakarta adalah makin hilangnya daerah resapan air di kota ini.
Hutan kota di kawasan Senayan, misalnya, rencana Induk Jakarta 1965-1985 memperuntukkan kawasan 279 hektare ini sebagai ruang terbuka hijau. Hanya boleh berdiri bangunan publik dengan luas maksimal 16 persen. Namun, di kawasan itu kini telah muncul Senayan City (pusat belanja yang dibuka pada 23 Juni 2006), Plaza Senayan (pusat belanja dan perkantoran, dibuka 1996), Senayan Trade Center, Ratu Plaza (apartemen 54 unit dan pusat belanja, dibangun pada 1974), serta bangunan megah lainnya.
Hal yang sama terjadi pada hutan kota Tomang. Rencana Induk 1965 dan 1985 memperuntukkan lahan di Simpang Tomang ini sebagai sabuk hijau Jakarta. Kini hutan itu berubah menjadi Mediterranean Garden Residence I (apartemen, dibangun pada 2002 dan selesai 2004), Mediterranean Garden Residence II (apartemen, dijual pada 2005), serta Mal Taman Anggrek (apartemen dan pusat belanja, dibuka pada 2006).
Sebagai informasi tambahan, kawasan ini dulunya juga sebagai daerah tempat tingga kaum marginal. Adapula yang telah tinggal di kawasan tomang ini hingga 2 generasi. Sempat rebut-ribut dulu mengenai relokasi masyarakat disana sebagian menerima tetapi banyak pula yang menolak karena berbagai hal. Setelah itu, kebakaran besar melanda daerah ini, dan selanjutnya tidak ada lagi masyarakat yang tinggal disana.
Pengalihfungsian RTH secara besar-besaran menjadi kawasan komersial oleh para pemilik modal besar juga terjadi di kawasan Pantai Kapuk, Kelapa Gading, dan Sunter. Tapi sejauh ini Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tidak mengambil tindakan terhadap para pemilik modal besar tersebut. Celakanya, “de javu” pembangunan Kota Jakarta terus-menerus diulang hingga kini oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
Padahal tanpa ada penambahan bangunan baru, Jakarta sudah megap-megap. Tanah permukaan di Jakarta saja telah mengalami penurunan hingga rata-rata 0,8 cm/tahunnya. Di beberapa daerah bahkan lebih cepat. Tak heran Jakarta selalu kebanjiran, karena daerah resapan hilang dan permukaan tanahnya juga amblas.
Yang tidak diperhatikan oleh pembuat kebijakan juga mengenai polusi. Bertambahnya aktiv itas dan pembangunan properties, bertambah pula tingkat polusi karena mayoritas pembeli di mal dan plaza yang akan berdiri ini menggunakan mobil pribadi. Jakarta adalah kota dengan tingkat polusi terburuk ketia setelah Mexico dan Bangkok. Kemacetan tidak lagi bias dihindari, padahal kemcetan adalah tindakan pemborosan mescal.
Terkait dengan kemacetan lalu lintas di Jakarta, sebuah studi menyebutkan bahwa kemacetan lalu lintas di Jakarta telah menimbulkan kerugian ekonomi sebesar Rp 5,5 triliun (SITRAMP, 2004). Bahkan, dengan metode yang berbeda, hasil penelitian Yayasan Pelangi pada 2003 menyebutkan bahwa kemacetan lalu lintas di DKI telah menyebabkan kerugian akibat kehilangan waktu produktif yang jika dinominalkan akan mencapai Rp 7,1 triliun. Adapun polusi udara yang diakibatkan oleh meningkatnya kemacetan lalu lintas juga telah menimbulkan peningkatan biaya kesehatan yang sangat tinggi. Hasil kajian Bank Dunia menemukan dampak ekonomi akibat polusi udara di Jakarta sebesar Rp 1,8 triliun.
Jadi sekarang ini Jakarta makin bad bad bad…. Jakarta goes mad…
Beberapa pusat belanja yang direncanakan akan beroperasi pada tahun ini antara lain Sudirman Place, Grand Paragon, Mall of Indonesia, Plaza Indonesia Extension, Emporium Pluit Mall, Epicentrum Walk, Pluit Village, dan Pulo Mas Ex-Venture. Dampak nyata dari meningkatnya jumlah dan luasan pusat belanja di Jakarta adalah makin hilangnya daerah resapan air di kota ini.
Hutan kota di kawasan Senayan, misalnya, rencana Induk Jakarta 1965-1985 memperuntukkan kawasan 279 hektare ini sebagai ruang terbuka hijau. Hanya boleh berdiri bangunan publik dengan luas maksimal 16 persen. Namun, di kawasan itu kini telah muncul Senayan City (pusat belanja yang dibuka pada 23 Juni 2006), Plaza Senayan (pusat belanja dan perkantoran, dibuka 1996), Senayan Trade Center, Ratu Plaza (apartemen 54 unit dan pusat belanja, dibangun pada 1974), serta bangunan megah lainnya.
Hal yang sama terjadi pada hutan kota Tomang. Rencana Induk 1965 dan 1985 memperuntukkan lahan di Simpang Tomang ini sebagai sabuk hijau Jakarta. Kini hutan itu berubah menjadi Mediterranean Garden Residence I (apartemen, dibangun pada 2002 dan selesai 2004), Mediterranean Garden Residence II (apartemen, dijual pada 2005), serta Mal Taman Anggrek (apartemen dan pusat belanja, dibuka pada 2006).
Sebagai informasi tambahan, kawasan ini dulunya juga sebagai daerah tempat tingga kaum marginal. Adapula yang telah tinggal di kawasan tomang ini hingga 2 generasi. Sempat rebut-ribut dulu mengenai relokasi masyarakat disana sebagian menerima tetapi banyak pula yang menolak karena berbagai hal. Setelah itu, kebakaran besar melanda daerah ini, dan selanjutnya tidak ada lagi masyarakat yang tinggal disana.
Pengalihfungsian RTH secara besar-besaran menjadi kawasan komersial oleh para pemilik modal besar juga terjadi di kawasan Pantai Kapuk, Kelapa Gading, dan Sunter. Tapi sejauh ini Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tidak mengambil tindakan terhadap para pemilik modal besar tersebut. Celakanya, “de javu” pembangunan Kota Jakarta terus-menerus diulang hingga kini oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
Padahal tanpa ada penambahan bangunan baru, Jakarta sudah megap-megap. Tanah permukaan di Jakarta saja telah mengalami penurunan hingga rata-rata 0,8 cm/tahunnya. Di beberapa daerah bahkan lebih cepat. Tak heran Jakarta selalu kebanjiran, karena daerah resapan hilang dan permukaan tanahnya juga amblas.
Yang tidak diperhatikan oleh pembuat kebijakan juga mengenai polusi. Bertambahnya aktiv itas dan pembangunan properties, bertambah pula tingkat polusi karena mayoritas pembeli di mal dan plaza yang akan berdiri ini menggunakan mobil pribadi. Jakarta adalah kota dengan tingkat polusi terburuk ketia setelah Mexico dan Bangkok. Kemacetan tidak lagi bias dihindari, padahal kemcetan adalah tindakan pemborosan mescal.
Terkait dengan kemacetan lalu lintas di Jakarta, sebuah studi menyebutkan bahwa kemacetan lalu lintas di Jakarta telah menimbulkan kerugian ekonomi sebesar Rp 5,5 triliun (SITRAMP, 2004). Bahkan, dengan metode yang berbeda, hasil penelitian Yayasan Pelangi pada 2003 menyebutkan bahwa kemacetan lalu lintas di DKI telah menyebabkan kerugian akibat kehilangan waktu produktif yang jika dinominalkan akan mencapai Rp 7,1 triliun. Adapun polusi udara yang diakibatkan oleh meningkatnya kemacetan lalu lintas juga telah menimbulkan peningkatan biaya kesehatan yang sangat tinggi. Hasil kajian Bank Dunia menemukan dampak ekonomi akibat polusi udara di Jakarta sebesar Rp 1,8 triliun.
Jadi sekarang ini Jakarta makin bad bad bad…. Jakarta goes mad…