Pemerintah seharusnya waspada terhadap kemudahan pemberian izin kuasa penambangan (KP) yang diterbitkan oleh pemerintah daerah. KP adalah izin usaha penambangan baik izin eksplorasi maupun eksploitasi bahan galian mineral yang ditujukan pada investor nasional. Kehati-hatian ini adalah pada proses tumpang tindihnya lahan akibat dikotomi perundangan daerah. Seringkali terjadi insinkronisasi kebijakan Pemda sehingga pemberian izin KP daerah justru menimbulkan conflict of interest,
Jika di suatu daerah yang telah memiliki izin penggunan lahan baik pertanian, perkebunan maupun aktivitas permukaan lain di kemudian hari ditemukan potensi cebakan mineral dibawahnya, ini akan menjadi potensi konflik pemanfaatan sumberdaya alam. Konflik ini bisa menuju persengketaanm aupun diselesaikan sesuai perundangan yang berlaku.
Namun kebanyakan di daerah akibat lack of competencies, yang terjadi setelah konflik adalah perseteruan tumpang tindih lahan. Setiap pihak berupaya untuk meyakinkan bahwa hak penggunan lahan yang dimilikinya adalah yang paling sah menurut hokum dengan berlandaskan pada izin yang dimilikinya (baik Hak Guna Usaha, Kuaas Pertambangan maupun izin lainnya). Pemda seringkali mengeluarkan izin yang kenyataannya di lapangan justru bertentangan dengan izin lainnyang telah dikeluarkan sebelumnya. Makin lama, justru tumpang tindih penggunaan lahan dan pemanfaatan sumberdaya ini membawa konflik menuju keruwetan.
Yang terjadi saat ini seperti konflik antara PT. Bojongasih (PTB) yang memiliki Hak Guna Usaha lahan perkebunan hingga 2009 dan telah mengusahakan perkebunan sejak tahun 1939 dengan PT. GMB yang mendapatkan izin Kuasa Pertambangan Eksplorasi dan Eksploitasi di lahan PT. Bojongasih, daerah Sukabumi. PTB yang masih memiliki izin HGU merasa haknya utuk pengelolaan lahan terserobot dengan KP yang dikeluarkan Pemda dan kini makin meruncing.
Permasalahanyang memuncak dari aksi saling klaim wilayah dan izin ini dikhawatirkan berujung pada keberingasan social. Karena menyangkut urusan perut, ditambah lagi dengan ego etnosentris yang primordial, kedua pihak menyatakan siap memeprtahankan apa yang menurut mereka adalah hak meski dengan mempertaruhkan nyawa.
Sunguh ironis sekali, ketika Pemda yang mengelarkan izin justru lepas tangan terhadap masalah ini, mengatakan bahwa izin yang dikeluarkan telah sesuai dengan birokrasi dan prosedur yang berlaku. Seolah-olah mereka ingin cuci tangan terhadap konflik ini.dan bukanlah hal baur lagi jika untuk mendapatkan berbagai kemudahan dan legitimasi izin, harus ada biaya entertainment dan pelicin sana sini agar usaha berjalan mulus.
Terkadang orang seling salah mengartikan tentang penguaaan oleh negara dan pemanfaatan kekayaan alam sebesarnya untuk kemakmuran rakyat. Memang kedua pemanfaatan sumberdaya alam tersebut mengacu pada UUD 1945 Pasal 33 ayat 3, Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Dalam naskah UUD 1945 pasal ini ditempatkan dibawah ”Bab XIV “KESEJAHTERAAN SOSIAL” ada dua bagian penting yang menarik dari ayat 3 tersebut yaitu :
Jadi jelas bahwa pemanfaatan SDA bukanlah hanya hak siapa-siapa atau menjadi hak siapa-siapa, tetapi diatur oleh negara. Dan juga bukan hanya alasan ekonomis saja yang menyebabkan suatu izin diberikan kekuatan superior atas izin lainnya. Harus diingat juga bahwa selain factor ekonomis, disitu ada kepentingan konservasi dan keselamatan manusa dan lingkungan. Percuma saja jika ekonomi ditingkatkan tetapi justru meninggalkan problem dan bencana yang merugikan manusia.
Harus ada penelaahan mendalam dan berpikir secara holistic, karena menyelesaikan secara parsial hanya pengobatan yang symptomatic, hal fundamental tidak tersentuh sehingga potensi konflik masih dapat terjadi.
Jika di suatu daerah yang telah memiliki izin penggunan lahan baik pertanian, perkebunan maupun aktivitas permukaan lain di kemudian hari ditemukan potensi cebakan mineral dibawahnya, ini akan menjadi potensi konflik pemanfaatan sumberdaya alam. Konflik ini bisa menuju persengketaanm aupun diselesaikan sesuai perundangan yang berlaku.
Namun kebanyakan di daerah akibat lack of competencies, yang terjadi setelah konflik adalah perseteruan tumpang tindih lahan. Setiap pihak berupaya untuk meyakinkan bahwa hak penggunan lahan yang dimilikinya adalah yang paling sah menurut hokum dengan berlandaskan pada izin yang dimilikinya (baik Hak Guna Usaha, Kuaas Pertambangan maupun izin lainnya). Pemda seringkali mengeluarkan izin yang kenyataannya di lapangan justru bertentangan dengan izin lainnyang telah dikeluarkan sebelumnya. Makin lama, justru tumpang tindih penggunaan lahan dan pemanfaatan sumberdaya ini membawa konflik menuju keruwetan.
Yang terjadi saat ini seperti konflik antara PT. Bojongasih (PTB) yang memiliki Hak Guna Usaha lahan perkebunan hingga 2009 dan telah mengusahakan perkebunan sejak tahun 1939 dengan PT. GMB yang mendapatkan izin Kuasa Pertambangan Eksplorasi dan Eksploitasi di lahan PT. Bojongasih, daerah Sukabumi. PTB yang masih memiliki izin HGU merasa haknya utuk pengelolaan lahan terserobot dengan KP yang dikeluarkan Pemda dan kini makin meruncing.
Permasalahanyang memuncak dari aksi saling klaim wilayah dan izin ini dikhawatirkan berujung pada keberingasan social. Karena menyangkut urusan perut, ditambah lagi dengan ego etnosentris yang primordial, kedua pihak menyatakan siap memeprtahankan apa yang menurut mereka adalah hak meski dengan mempertaruhkan nyawa.
Sunguh ironis sekali, ketika Pemda yang mengelarkan izin justru lepas tangan terhadap masalah ini, mengatakan bahwa izin yang dikeluarkan telah sesuai dengan birokrasi dan prosedur yang berlaku. Seolah-olah mereka ingin cuci tangan terhadap konflik ini.dan bukanlah hal baur lagi jika untuk mendapatkan berbagai kemudahan dan legitimasi izin, harus ada biaya entertainment dan pelicin sana sini agar usaha berjalan mulus.
Terkadang orang seling salah mengartikan tentang penguaaan oleh negara dan pemanfaatan kekayaan alam sebesarnya untuk kemakmuran rakyat. Memang kedua pemanfaatan sumberdaya alam tersebut mengacu pada UUD 1945 Pasal 33 ayat 3, Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Dalam naskah UUD 1945 pasal ini ditempatkan dibawah ”Bab XIV “KESEJAHTERAAN SOSIAL” ada dua bagian penting yang menarik dari ayat 3 tersebut yaitu :
- Kekayaan alam yang terkandung didalam bumi dan didalam air dikuasai oleh negara dan dengan demikian mengandung arti bahwa kepemilikan sumber kekayaan alam tersebut bukan milik pribadi dan juga bukan hanya milik daerah tetapi juga milik rakyat negara Indonesia lainnya”. Secara implisit ini juga mengandung arti diatur pemanfaatannya oleh negara karena itu ada peraturan perundang-undangan yang mengatur seperti UU No. 11/1967, UU Agraria dan peraturan pelaksanaan lainnya.
- Dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat mengandung pengertian mendorong kekqayaan alam tersebut perlu diproduksi agar pendapatan (proceednya) dapat dipergunakan untuk kemakmuran rakyat. Pelaksanaan ini tentu didalam batas rambu-rambu yang ada. Ump Optimalisasi nilai tambah dan pembagian/pemerataan seadil mungkin.
Jadi jelas bahwa pemanfaatan SDA bukanlah hanya hak siapa-siapa atau menjadi hak siapa-siapa, tetapi diatur oleh negara. Dan juga bukan hanya alasan ekonomis saja yang menyebabkan suatu izin diberikan kekuatan superior atas izin lainnya. Harus diingat juga bahwa selain factor ekonomis, disitu ada kepentingan konservasi dan keselamatan manusa dan lingkungan. Percuma saja jika ekonomi ditingkatkan tetapi justru meninggalkan problem dan bencana yang merugikan manusia.
Harus ada penelaahan mendalam dan berpikir secara holistic, karena menyelesaikan secara parsial hanya pengobatan yang symptomatic, hal fundamental tidak tersentuh sehingga potensi konflik masih dapat terjadi.