Ide tulisan ini sebenarnya berawal dari pernyataan kawan saya berkata "Radyan, kamu khan orang lingkungan kenapa justru effortmu ke tambang, bukankah tambang itu industri yang merusak lingkungan, gak takut dibilang oportunis..?? Saya cuma tersenyum dengan ucapan ini. Well saya cuma berkata, tambang memang merusak lingkungan namun apa saya tidak boleh untuk memperbaiki apa yg sudah dirusak? Apa memang tambang itu tidak butuh seseorang yg memahami lingkungan dan apa apakah bijak jika kita memahami sesuatu setengah setengah atau justru dikotomi pengetahuan??
saya mencoba merilis dan membuka kembali rekaman aktvitas dan pengalaman yang saya pelajari dan menuangkan dalam notes ini, karena memang saya berusaha hidup di dunia ekstraktif yang banyak orang bilang ekstrim dan penuh tantangan...dan tentu karena membuka rekaman, pastinya sebagian demi sebagian akan saya release perlahan-lahan....
Sebagai negara berkembang yang memiliki sumber daya alam yang berlimpah, Indonesia memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap pemanfaatan sumber daya alam sebagai modal pembangunan. Dalam UUD 1945 pasal 33 ayat 3 dinyatakan bahwa ”bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”.
Industri tambang di Indonesia merupakan salah satu sector yang memegang peranan penting dalam pembangunan nasional dan kesejahteraan rakyat. Industry tambang secara umum bahkan memberikan kontribusi besar dalam penerimaan Negara. Tercatat di tahun 2008 bahwa penerimaan negarai dari sector pertambangan mencapai 36% atau sekitar Rp 304,4 trilyun dari target penerimaan Negara sebesar Rp 962,5 trilliun. Apabila di breakdown, memang tersirat bahwa kontribusi sector pertambangan umum hanya 4,4% sedangkan sector pertambangan migas mencapai 31,6% dari penerimaan nasional.
Industri tambang di Indonesia merupakan salah satu sector yang memegang peranan penting dalam pembangunan nasional dan kesejahteraan rakyat. Industry tambang secara umum bahkan memberikan kontribusi besar dalam penerimaan Negara. Tercatat di tahun 2008 bahwa penerimaan negarai dari sector pertambangan mencapai 36% atau sekitar Rp 304,4 trilyun dari target penerimaan Negara sebesar Rp 962,5 trilliun. Apabila di breakdown, memang tersirat bahwa kontribusi sector pertambangan umum hanya 4,4% sedangkan sector pertambangan migas mencapai 31,6% dari penerimaan nasional.
Pertambangan juga menjadi satu aktivitas yang memberikan lapangan kerja bagi banyak penduduk di Indonesia. Sebanyak 34.033 orang tenaga kerja langsung yang diserap dari sector ini tahun 2006 (PWC, 2006/belum dapat data lebih baru…). Ini belum memperhitungkan tenaga kerja tidak langsung yang ditimbulkan dari munculnya tenaga kerja langsung di pertambangan. Hasil kajian dari LPEM UI 2007 menunjukkan dampak tenaga kerja yang ditimbulkan oleh 2 operator pertambangan besar Indonesia PT. Freeport Indonesia tiap tenaga kerja langsung akan memberikan pengaruh pada 37 tenaga kerja lain secara tidak langsung sedangkan untuk PT. Kaltim Prima Coal menunjukkan nilai 16 untuk tiap satu tenaga kerja langsung. Sedangkan dari PT. Inco mencapai 37 kali dari jumlah tenaga kerja langsungnya. Belum saja dari seluruh industri tambang di Indonesia.
Atau dari aktivitas CSR, dimana kondisi terkini adalah industri tambang berusaha meyakinkan bahwa ada korelasi positif antara pelaksanaan CSR dengan meningkatnya appresiasi terhadap industri pertambangan karena penerapan CSR tidak lagi dianggap sebagai cost melainkan juga sebuah investasi jangka panjang. Telah terjadi pendewasaan perilaku CSR yang dari awalnya hanya bersifat sukarela (voluntary) mulai bergeser menuju partisipasi.
Terlepas dari semua itu, masih ada stigma pertambangan yang tidak dapat dilepaskan dari kaca mata khalayak umum. Masyarakat awam memiliki pandangan dan impresi tersendiri terhadap dunia tambang. Kesan ini –meski sekilas- tentunya tidak dapat dilepaskan dari historis tambang indonesia.
Toh ketika saya berdiskusi dengan beberapa “orang cerdas” tentang sejarah pertambangan di negeri ini, mereka menimpali bahwa sejarah tambang di sini ternyata diawali dengan masa kelam. Di Pulau Vanka atau Bangka, ribuan imigran didatangkan oleh penjajah Belanda untuk mendapatkan timah, di Sawah Lunto kita juga dipaksa mengeluarkan batubara. Di Sultra, nikel diambil dan dikerja secara rodi, di Rejang Lebong juga di tempat lain nya.
Jadi tak heran dulu tambang itu dikaitkan dengan imperialisme. Apalagi kesejahteraan itu tidak pernah dinikmati oleh bangsa sendiri. Thus siapa yang sejahtera dari hasil mineral yang dibawa lari ini..??
Sejarah kelam ini yang perlahan mulai digeser dengan banyak effort dari seluruh stakeholders yang merasa memiliki kepentingan untuk memberikan kesejahteeraan bagi bangsa ini...