Tentang Tailing
Pertambangan adalah industri ekstraktif yang mengambil mineral berharga dari batuan bijih kemudian diolah untuk menghasilkan produk konsentrat, suatu produk yang ekonomis dan tailing, sebagai sisa yang tidak ekonomis. Tailing merupakan limbah yang dihasilkan dari proses penggerusan bijih (ore) untuk diambil mineral berharganya (Satriago, 1996). Tailing pertambangan umumnya berkomposisi sekitar 50% lumpur batuan dan 50% air sehingga berwujud slurry.
Tailing yang dihasilkan dari industri pertambangan menjadi perdebatan karena volume yang dihasilkan sangat besar dan masih mengandung logam dalam konsentrasi tertentu. Volume tailing ini besar karena di dalam bijih tembaga misalnya, hanya terkandung 0,5%-2% logam tembaga dan sisanya adalah batuan waste yang akan menjadi tailing. Perbedaan pengotor dan mineral berharga inil yang membuat tailing pertambangan volumenya sangat besar.
Karena volume yang besar ini pula, maka tailing harus ditempatkan di lokasi khusus dan dengan maintenance yang cermat pula. Pemilihan sistem penempatan tailing dan pemanfaatan tailing bukan saja memikirkan faktor biaya tetapi juga dampaknya bagi lingkungan hidup. Perkembangan industri pertambangan saat ini membuat produksi harus diiringi dengan pelaksanaan penambangan yang bertaggung jawab.
Volume tailing yang sangat besar ini dapat berpotensi menurunkan fungsi lingkungan karena sebaran tailing dapat menutupi permukaan sehingga vegetasi yang ada di permukaan menjadi tidak dapat hidup. Selain itu tailing membutuhkan area khusus yang besar dan steril untuk lokasi penampungan. Penanganan tailing harus dilakukan dengan good mining practice karena jika tidak dikelola akan menimbulkan dampak yang besar.
Semakin tinggi volume tailing yang akan dibuang, semakin besar luas pula area yang diperlukan untuk menampung tailing (tailing dam). Semakin luasnya penggunaan tanah ini berarti akan menambah beban limbah ke lingkungan. Para ahli tambang dan lingkungan merekomendasikan pemanfaatan kembali tailing ini untuk berbagai keperluan aktivitas penambangan karena praktik terbaik pengelolaan lingkungan di pertambangan menuntut proses yang terus menerus dan terpadu, mulai kegiatan eksplorasi awal hingga konstruksi, pengoperasian dan penutupannya (Arief, 2007).
Pemanfaatan kembali tailing dapat dilakukan dengan berbagai cara seperti penggunaan agregat (bahan bangunan), sebagai media tanam, pembuatan jalan, reklamasi lahan pantai maupun pengisi lubang bukaan tambang (backfilling). Pemanfaatan tailing sejalan dengan prinsip 3 R (reduce, reuse dan recycle) akan mengurangi volume tailing sehingga beban lingkungan berkurang.
Karakteristik tambang bawah tanah sangat khas karena disesuaikan dengan jenis dan kondisi cadangan. Meskipun begitu, baik tambang bawah tanah maupun open pit, keduanya selalu menghasilkan tailing. Tabel ini menunjukkan produksi dan tailing di tambang terbuka dan bawah tanah serta pemanfaatannya di tambang Indonesia:
Tabel 1 Pemanfaatan Tailing di Tambang Emas Indonesia
No | Tambang | Kadar (gr/ton) | Produksi/ Thn | Volume/thn | Jenis Pemanfaatan |
1 | PT. Freeport Indonesia (tambang terbuka) | 0,85 gr/ton Au 3,8 gr/ton Ag 0,85% Cu | 45,73 ton Au 151 ton Ag | 81 juta ton | · Pembuatan bahan bangunan · Media Reklamasi · Pembuatan jembatan |
2 | PT. Newmont Nusa Tenggara (tambang terbuka) | 0,47 gr/ton Au 1,47 gr/ton Ag 0,54% Cu | 22,46 ton Au 45,2 ton Ag | 41,6 juta ton | · Pembuatan rumpon di pantai Senunu |
3 | PT. Antam UBPE Pongkor (bawah tanah) | 9 gr/ton Au 96 gr/ton Ag | 4,5 ton Au 27 ton Ag | 350 ribu ton | Pembuatan bahan bangunan Media tanam dan reklamasi Backfilling |
4 | PT. Nusa Halmahera Minerals (bawah tanah) | 35 gr/ton Au | 5 ton Au | 280 ribu ton | Backfilling |
Sumber: Laporan tahunan PTFI, PTNNT, UBPEP, PTNHM
Tailing Sebagai Limbah B3
Pengertian limbah adalah suatu bahan yang terbuang atau dibuang dari sumber hasil aktivitas manusia maupun proses alam (Satriago, 1996). Sebagai hasil sampingan dari proses pengolahan tailing juga masuk dalam kategori limbah. Selain itu ada pengertian limbah B3 berdasarkan pasal 1 PP No. 19 tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah B3 pengertian Limbah B3, adalah “sisa suatu usaha dan/atau kegiatan yang mengandung bahan berbahaya dan/atau beracun yang karena sifat dan/atau konsentrasinya dan/atau jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung, dapat mencemarkan dan/atau merusakkan lingkungan hidup, dan/atau dapat membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, kelangsungan hidup manusia serta makhluk hidup lain”. Berdasar ketentuan ini, KLH menyatakan tailing sebagai limbah B3. Pengertian ini, tailing tidak bernilai karena hanya sebagai produk sisa dari pengambilan emas dan perak dan berpotensi sebagai pencemar lingkungan apabila tidak dikelola.
Tailing Sebagai Sumber Daya
Dilain pihak terdapat pengertian bahwa tailing merupakan potensi sumberdaya yang dapat dimanfaatkan sehingga mempunyai nilai tambah sebagai produk yang dapat dimanfaatkan kembali menjadi produk lain. Dengan demikian diharapkan menghasilkan nilai tambah dari sekedar limbah yang tidak termanfaatkan. Pemanfaatan tailing ini menjadi salah satu tantangan besar dunia pertambangan karena menjadi isu yang sensitif. Pandangan memanfaatkan tailing hasil pertambangan ini sebenarnya telah lama muncul agar tailing ini memiliki nilai ekonomis.
Tailing telah mulai dimanfaatkan di beberapa perusahaan pertambangan baik di dalam maupun luar negeri. Komposisi tailing ditambah dengan ukuran yang halus membuat banyak tailing dimanfaatan sebagai media tanam, pengurukan lahan reklamasi sistem cutt and fill serta pembuatan bahan bangunan atau agregat. Pada pembuatan agregat ini, tailing digunakan sebagai bahan utama yang ditambah aditif.
Bagaimana Memanfaatkan Tailing?
Untuk dapat memanfaatkan tailing harus ada beberapa parameter yang diketahui terlebih dahulu terkait dengan tingkat keamanan penggunaan karena ini terkait dengan sifat toksisitas tailing. Variabel tersebut antara lain konsentrasi logam berat yang tersisa, LD50 (Lethal Dose 50) dan TCLP (Toxisity Characteristic Leachate Procedure). Tiga parameter ini yang dapat dianalisis untuk mengetahui tingkat keamanan pemanfaatan tailing.
a. LD50 atau lethal dose 50 adalah konsentrasi dari bahan kimia atau radiasi yang pada satu kali pemberian akan menyebabkan kematian pada 50% dari populasi hewan percobaan. LD50 ini sering dijadikan sebagai indikator toksistas terhadap suatu zat. LD50 merupakan perhitungan untuk menghitung potensi terkena racun relatif terhadap bahan kimia. Jadi semakin kecil nilai LD50, bahan kimia tersebut semakin berbahaya. Artinya pada konsentrasi sedikit saja, bahan kimia tersebut sudah memberi efek toksik besar bagi populasi hewan percobaan. Klasifikasi toksisitas suatu zat dapat dikategorikan berdasarkan nilai dosis zat tersebut. Klasifikasinya seperti tabel berikut ini:
Tabel 9 Klasifikasi Toksisitas Zat
No | Tingkat Toksik | Nilai Dosis mg/kg BB |
1 | Supertoxic | <1 |
2 | Extremly toxic | 1-5 |
3 | Highly toxic | 5-50 |
4 | Moderately toxic | 50-500 |
5 | Slighly toxic | 500-5.000 |
6 | Practically non toxic | 5.000-15.000 |
Sumber: Sutamihardja, 2004
Tabel 11 Toksisitas di Beberapa Negara
No | Tingkat Toksik | Nilai Dosis mg/kg BB |
1 | US EPA (40 CFR part 261.11) | <50> |
2 | Kanada (Guide to Canadian transportation of dangerous goods a act and regulation) | <200> |
3 | Jepang (environmental regulation) | <500 |
4 | Cina (Hazardous Substance Regulation) | 200-1000 |
5 | Indonesia (PP No. 85/1999) | <50 |
Biasanya uji LD50 ini didapat dari hasil pengujian terhadap tikus mencit (mus musculus) di laboratorium. Tabel diatas adalah peraturan yang diacu untuk menentukan nilai LD50 di beberapa negara. Jika dari hasil pengukuran menunjukan konsentrasi slighly toxic, artinya tailing tersebut bisa dimanfaatkan tanpa menimbulkan dampak toksic yang berbahaya.
b. TCLP test. Hasil uji TCLP adalah untuk menentukan tingkat kelindian dan toksisitas dari sampel tailing. Uji TCLP ini dilakukan pada logam yang berpotensi larut jika terkena air atau asam. Tailing apabila digunakan namun terkena air dalam waktu lama, dapat berpotensi melepas partikel logam yang tersisa sehingga untuk mengetahui tingkat keamanan dari kondisi ini, perlu dilakukan uji TCLP. Jika kelarutan logam melebih Baku Mutu yang ditetapkan (PPRI No. 18/1999) maka tailing tersebut tidak aman untuk dimanfaatkan.
c. Konsentrasi Logam Berat. Istilah logam diberikan kepada semua unsur kimia yang memiliki sifat logam; konduktor, membentuk aloy, dtempa dan dibentuk. Sedangkan pengertian logam berat adalah golongan logam yang bila masuk ke dalam organisme hidup akan memberikan pengaruh besar (Palar, 1994). Logam berat telah digunakan secara luas untuk mengambarkan logam dengan karakteristik; memiliki spesific gravity lebih dari 4, memiliki nomor atom 22-34 dan 40-50 serta unsur-unsur lantanida dan aktinida, memiliki respon biokimia spesifik pada organisme.
Di dalam tailing, masih terdapat konsentrasi logam seperti Besi, Mangan, Seng, Kadmiun, Timah Hitam dan Tembaga. Beberapa logam ini potensial bersifat toksik terhadap manusia karena termasuk logam berat seperti timah hitam (Pb), kadmium (Cd), tembaga (Cu) dan Zn. Jika dari hasil pengukuran konsentrasi logam diketahui bahwa konsentrasi yang ada di ddalam tailing dibawah baku mutu, maka tailing tersebut aman untuk dimanfaatkan.