Thursday, September 20, 2007

AGAMA, SOFT APPROACH ETIKA LINGKUNGAN

Masalah lingkungan hidup, pencemaran dan pengurasan sumberdaya telah lama mengakibatkan hilangnya keseimbangan pada alam sehingga menjadi perbincangan hangat bagi para ilmuwan, budayawan seluruh dunia. Di sisi lain, masalah ini telah pula melahirkan kecemasan karena rusaknya lingkungan yang mengancam kehidupan seluruh manusia.

Ancaman ini menegaskan ucapan dari sebagian peneliti, “andaikata lingkungan ini memiliki pendengaran dan mulut untuk berbicara, niscaya akan terdengarlah teriakan histeris dari terbakarnya lapisan ozon di atas bumi ini yang diiringi rintihan air sepanjang sungai dan laut karena terisi oleh percikkan minyak dan sekaratnya udara oleh gas-gas mati dari industri , peluru-peluru dari seluruh belahan bumi”.

Definisi Lingkungan
Istilah lingkungan jarang sekali digunakan dalam kerangka etimologi dan terminologi. Lingkungan adalah sebuah lingkup dimana manusia hidup, ia tinggal di dalamnya baik bepergian ataupun menghasilkan diri. Sebagai tempat ia kembali dalam keadaan rela ataupun terpaksa. Lingkungan ini meliputi lingkungan yang dinamis (hidup) dan yang statis (mati). Lingkungan mati meliputi alam (luar angkasa, benda luaran bumi, langit, matahari, bulan, bintang dll) dan industri yang diciptakan manusia meliputi segala apa yang ada ataupun digali dari tanah, dari sungai, rumah yang dibangun dan hasil karya manusia. Lingkungan yang dinamis tadi meliputi wilayah hewan dan tumbuhan .

Bahwasanya di dalam surga, Adam dan Hawa berhak meminta apapun kemauan mereka untuk seluruh kebutuhan tanpa kerja keras untuk mendapatkannya sebagaimana keadaan bahwa surga diciptakan untuk mereka berdua. Namun ketika Adam dan Hawa dikeluarkan menuju bumi, dari surga oleh Allah SWT dan pengangkatan derajadnya sebagai wakil dan khalifah, mereka memiliki kewajiban untuk berusaha mencari rezekinya sendiri, bersusah payah untuk kelangsungan hidupnya.

Mereka dibebani tanggung jawab untuk menjamin keberlangsungan hidup mereka sendiri. Maka Allah SWT telah menciptakan bumi dan seisinya untuk tempat tinggal mereka. Dalam Quran surat Al Hijr, 19-20 disebutkan “Dan Kami telah menghamparkan bumi dan menjadikan padanya gunung-gunung dan Kami tumbuhkan padanya segala sesuatu menurut ukuran. Dan Kami menjadikan untukmu di bumi keperluan-keperluan hidup dan (Kami menciptakan pula) mahluk-mahluk yang kami sekali-kali bukan pemberi risky kepadanya”.

Sebagai manifestasi pemahaman ayat tadi, bahwa bumi ini dibuat subur oleh Allah SWT sehingga bisa ditanami. Ada bagian yang gersang, adapula bagian yang amat subur. Bagian yang gersang ketika hujan menajdi begitu subur.

Allah pula yang menciptakan semesta alam dimana ini pada dasarnya bukanlah suatu realitas tunggal melainkan relitas yang terdiri dari berbagai macam bentuk dan rupa serta terdiri dari berbagai unsur yang tak terhitung jumlahnya kemudian menyatu membentuk sesuatu yang disebut universe. Tetapi pembentukan material yang jumlahnya tak terhitung, dari jutaan unsur yang bersatu, berkesinambungan, kemajemukan luar biasa ini menunjukkan sutau bentuk harmonisasi, keteraturan dan keindahan tanpa ada satupun yang menyimpang dari hukum-hukum yang telah diciptakan.

Peran Manusia terhadap Lingkungan
Manusia adalah khalifah, mahluk tertinggi derajadnya diantara segala ciptaan Allah. Karena ktinggian derajadnya ini, Allah ingin menguji dengan memberikan kemampuan pada manusia melebihi malaikat maupun jin. Kemampuan dan keleluasaan dalam ilmu pengetahuan. Dalam Al Baqarah, 30 disebutkan “Ingatlah ketika Tuhan-mu berfirman kepada Malaikat, “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi’. Nereka berkata ‘Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu, orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau. ‘Tuhan berfirman ‘Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui’.

Manusia adalah penggerak utama kehidupan di muka bumi atas pengelolaan alam ini. Ibarat dua sisi mata uang, manusia bisa menjadi mahluk yang mampu menjaga keseimbangan dan mendayagunakan alam. Namun lebih banyak manusia yang justru bergerak sendiri dengan kebebasannya menjadi mahluk yang tidak memperhatikan alam. Kerusakkan yang terjadi, pencemaran global, pengurasan sumberdaya. Pelecehan prinsip keseimbangan yang tanpa disadari ini membawa kita menuju dosa besar.

Konsep Lingkungan Religius
Islam mengajarkan pendekatan terhadap lingkungan secara menyeluruh melalui pengajaran system yang terarah, mulai dari hal yang kecil dan bermuara pada perbaikan tingkah lagu seluruh umatnya. Diajarkan dalam Islam, bagaimana menjaga kebersihan. Bahkan Thaharah (bersuci) menjadi tempat teratas dalam buku-buku syariat Islam. Bagaimana pelajaran seorang muslim dimulai dari sesuatu yang bersih dan akan berakhir pada hasil yang bersih juga.

Ada dialog antara ulama besar dengan seorang birokrat sekaligus praktisi lingkungan di mesjid Al Azhar beberapa tahun lampau. Alkisah dahulu, Emil Salim sang Menteri Kependudukan dan Lingkungan Hidup, datang menghadap ulama besar dan Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Prof. Haji Abdul Malik Karim Amarullah (HAMKA), dan berharap pada ulama agar dapat memberikan bantuan dalam menyadarkan ummat Islam terhadap lingkungan.

Emil mengatakan, “Buya, apa yang bisa dilakukan ummat Islam dalam melestarikan lingkungan hidupnya,” Prof Hamka, dengan arif menjawab: tidak ada yang salah dengan ajaran Islam dalam soal lingkungan hidup. “Tetapi kesalahan terjadi pada bagaimana cara kita mengajarkan Islam kepada masyarakat.” Kata Hamka, umat Islam akan tersentuh jika segala hal praktis dapat langsung dirasakan mereka. Misalnya umat Islam harus shalat lima waktu. Maka diperlukan air wudhu yang mensucikan. Dari mana umat mendapatkan air bersih? Dari sungai yang mengalir dari air tanah yang sah yang memenuhi persyaratan untuk menghadap khaliqnya. Dengan demikian setiap umat Islam harus memelihara air serta sumber-sumbernya agar mereka bisa beribadah kepada Allah. Jadi wajib hukumnya umat memelihara sumber-sumber air tersebut.

Ini dapat menjadi inspirasi bagaimana Islam memandang keseimbangan antara manusia dengan lingkungannya. Kebersihan yang dimulai dari diri pribadi, menuju Sang Esa. Jika kita berniat baik, berbuat baik dengan hasil yang akan baik pula.

Kembali Ke Agama, Solusi Masalah Lingkungan?
Ada otokritik dari cendekiawan Muslim Nurcholish Madjid. Menurutnya, dewasa ini dunia Islam praktis merupakan kawasan bumi yang paling terbelakang di antara penganut agama-agama besar. Negeri-negeri Islam jauh tertinggal oleh Eropa Utara, Amerika Utara, Australia dan Selandia Baru yang Protestan, oleh Eropa Selatan dan Amerika Selatan yang Katolik Romawi, oleh Eropa Timur yang Katolik Ortodoks, oleh Israel yang Yahudi, oleh India yang Hindu, oleh China, oleh Korea Selatan, Taiwan, Hongkong, dan Singapura yang Budhis-Konfusianis, oleh Jepang yang Budhis-Taois, dan oleh Thailand yang Budhis. Praktis tidak satu pun agama besar di muka bumi ini yang lebih rendah kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologinya daripada Islam. Dengan perkataan lain, di antara semua penganut agama besar di muka bumi ini, para pemeluk Islam adalah yang paling rendah dan lemah dalam hal sains dan teknologi. Demikian ungkap Cak Nur (Kaki Langit Peradaban, 1997).

Pernyataan menyedihkan dari cendekiawan Muslim kita itu menjadi ironis tatakala dalam literatur sejarah Islam pernah tertoreh nama emas seperti al-Khawarizmi Bapak Aljabar, Ibn Haitsam Bapak Optik, al-Biruni jenius tokoh besar eksperimental, Umar Khayyam penyair yang merintis geometri analitik, al-Thusi sebagai teolog, matematikawan, astronom dan banyak lagi ilmuwan muslim lainnya semisal –yang umum kita kenal seperti al-Kindi, Ibn Sina, dan Ibn Rusyd.

Zaman keemasan memang telah lewat. Sentral pengetahuan beralih dari Timur Tengah menuju Western. Pengetahuan kosmologis teologis beralih mejadi materialistic dan berfokus pada eksploitasi alam untuk kebutuhan manusia. Alam hanya dianggap sebagai pelacur yang memenuhi hasrat keinginan manusia saja.

Praktis, akibat dari penyimpangan pemikiran ini, banyak kerusakkan lingkungan yang melanda bumi. Dan saat lingkungan telah mulai rusak, dan menunjukkan kemarahannya, para praktisi dan pengambil kebijakan berkumpul. Kepala pemerintahan telah mengambil peran penting dengan pertemuan puncak “Pertemuan Bumi” di Rio De Janeiro yang menghasilkan deklarasi bumi tahun 1992. Setelah pertemuan usai, segala bentuk traktat dan perjanjian antara bangsa telah diikat dengan konvensi. Konvensi Bassel tentang lalu lintas dan sangsi limbah B3, Konvensi CITES berkaitan dengan perdagangan spesies fauna dan flora, konvensi keanekaragaman hayati, Konvensi PBB untuk penanggulangan perubahan iklim (UNFCCC) yang kemudian menghasilkan Protokol Kyoto yang berniat memaksa agar seluruh bangsa-bangsa dapat menurunkan tingkat emisi yang menyebabkan rumah kaca yang menjadi “biang keladi” perubahan iklim dan pemanasan global.

Tiga belas tahun telah berlalu, konvensi tersebut dan juga munculnya banyak undang-undang penegakkan lingkungan, sanksi keras, berbagai Protokol dan Keputusan Menteri, ternyata tidak mampu mengurangi dampak eksploitasi dan kerusakkan alam. Justru nilaninya sejak saat itu meningkat drastic, seakan-akan tidak ada nilai yang bisa memagari keinginan manusia ini.

Maka, inisiatif agama diperlukan untuk mengurangi kerusakan tersebut dengan cara yang lembut (soft), yaitu pendekatan religious. Alas an ini memang masuk akal. Dari 85% penduduk Muslim di Indonesia, jika saja mereka mendapat keteladanan untuk mengoptimalkan peran agama, niscara pendekatan ini jauh lebih efektif daripada penggunaan undang-undang ataupun konvensi yang akhirnya banyak dilanggar oleh masyarakat sendiri. Karena masyarakat kita banyak yang lebih mengutamakan syariat dibanding hukum manusia.

Alam telah rusak, kemana agama?
Setelah dirasakan tidak ada perubahan. Barulah timbul kesadaran baru yang mengkaitkan prinsip agama yang diharapkan berperan dalam menanggulangi krisis ekologi. “Sains dan teknologi memang diperlukan, tetapi itu saja tidak cukup. Kita memerlukan agama untuk terlibat dalam keluar dari krisis lingkungan, “ ujar Mary Evlyn Tucker guru besar agama dari Bucknel University.

Prof. Mary Evlyn Tucker besama John Grim, menjadi salah satu pelopor untuk forum agama dan lingkungan dan membawa diskursus ini dalam berbagai kegiatan dari tingkat internasional hingga lokal untuk menghimbau supaya agama-agama terlibat dalam menyelamatkan bumi. Bulan Agustus lalu, Evlyn diundang bersama dengan Dr. Ibrahim Ozdemir, dari University of Ankara, Turki untuk memberikan diskusi dengan tema: Religion and Ecology, yang diselenggarakan oleh Center for Religious & Cross - cultural Studies (CRCS) Pasca Sarjana UGM Yogyakarta. “Apabila melihat gejala yang dilakukan manusia terhadap alam, maka kita tiba pada fase kepunahan keenam, yaitu manusia berperan dalam ikut menghancurkan dan mengubur peradabannya di planet bumi dengan kekuasaan dan arogansi yang mereka lakukan. Umat manusia dan peradabannya, merupakan suatu yang terancam punah pula,” kata Mary Evelyn Tucker. Agama, menurut Evlyn, mempunyai lima resep dasar untuk menyelamatkan lingkungan dengan lima R: (1) Reference atau keyakinan yang dapat diperoleh dari teks (kitab-kitab suci) dan kepercayaan yang mereka miliki masing-masing; (2) Respect, penghargaan kepada semua makhluk hidup yang diajarkan oleh agama sebagai makhluk Tuhan; (3) Restrain, kemampuan untuk mengelola dan mengontrol sesuatu supaya penggunaanya tidak mubazir; (4) Redistribution, kemampuan untuk menyebarkan kekayaan; kegembiraan dan kebersamaan melalui langkah dermawan; misalnya zakat, infaq dalam Islam; (5) Responsibility, sikap bertanggunjawab dalam merawat kondisi lingkungan dan alam.

Wednesday, September 19, 2007

Pergerakan Deep Ecology

Deep Ecological merupakan suatu pandangan utuh dan pandangan dunia yang melibatkan intuisi paling mendasar mengenai hubungan kita dengan alam non-manusia dan juga nilai-nilai dasar masnusia yang tidak hanya melibatkan carakita berindak dalam kehidupan sehari-hari. Pendiri awal dari ekosentrisme dan environmentalisme adalah para perintis gerakan deep ecological moderen yaitu Henry David Thoreau dan Jhon Munir yang keduanya adalah manusia yang sangat religius yang mempunyai pandangan ekologis yang sangat berhubungan dengan identifikasi sang pencipta alam semesta yang sakral.


SEJARAH EKOSENTRISME
Kesadaran ekologi kontemporer mulai muncul di amerika Serikat setelah Perang Dunia kedua . Sebagai dasar pemikirannya adalah sebuah buku karangan Aldo Leopold berjudul “Etika Tanah” dan buku karangan Rachel Garson yang berjudul “Silent Spring” yang dijadikan sebagai landasan suatu gerakan filosofis-sosial-politis. Upaya Carson menandai dimulainya Environmentallisme ekosentrik adalah dengan suatu gerakan aktivitas lingkungan radikal yang membangkitkan serangan-serangan balik yang besar dari industri kimia dan Departemen Pertanian Amerika Serikat dengan memicu suatu gerakan Deep Ecological secara internasional yang mempunyai jangkauan luas.

Arne Naess menyatakan bahwa perlindungan alam klasik tidak hanya mencakup perlawanan terhadap pusat-pusat kekuasaan yang mendorong pembangunan tanpa pemikiran sustainable development. Perlawanan lingkungandari tahun 1963 – 1968 di California mengilhami seluruh dunia untuk melakukan suatu pertemuan tingkat dunia (Konferensi PBB, Stockholm tahun 1972) yang membuka mata dunia tentang suatu pengakuan pertama tentang perlindungan lingkungan hidup terhadap konflik-konflik lingkungan yang bersifat sosial dan politik. Setelah organisasi-organisasi lingkungan kembali cenderung takut, birokratik, dan selalu merasa puas dengan segala kemampanan kekuasaan . Dan akhirnya pada tahun tujuhpuluhan sampai delapan puluhan kembali kembali perlawanan lingkungan secara radilkal dilakukan oleh kelompok-kelompok organisasasi lingkungan hidup radikal yaitu Greenpeace dan Earth First.

PLATFORM DEEP ECOLOGICAL
Platform Deep Ecological tahun 1984 memberi kekhasan pada Deep Ecological sebagai gerakan politis-sosial-ekofilosofis internasional kontemporer. Platform itu secara esensial merupakan suatu pernyataan ekosentrisme normative dan filosofis bersama dengan suatu seruan bagi aktivis lingkungan.
Pernyataan flatform Deep Ecological yang dimaksud adalah sbb;
1. Kesejahteraan dan perkembangan kehidupan manusia dan non-manuisa diatas bumi mempunyai nilai dalam diri mereka sendiri, atau dengan kata lain mempunyai nilai intrinsik (inheren). Nilai-nilai ini terlepas dari kegunaan dunia non-manusia bagi tujuan-tujuan manusia.
2. Kekayaan dan keragaman bentuk-bentuk kehidupan memberikan kesadaran akan nilai-nilai ini dan juga merupakan nilai-nilai dalam kehidupan mereka sendiri.
3. Manusia tidak mempunyau hak untuk mereduksi kekayaan dan keragaman itu kecuali untuk memenuhi kebutuhan pokok.
4. Perkembangan hidup dan kebudayaan manusia sesuai dengan pengurangan subtansial dari populasi manusia. Perkembangan kehidupan non-manusia menuntuk pengurangan seperti itu.
5. Campur tangan manusia sekarang terhadap dunia non-manusia bersifat berlebihan dan situasinya menjadi memburuk dengan cepat.
6. Kebijakan-kebijakan harus diubah. Kebijakan-kebijakan ini mempengaruhi tata susunan ekonomi, teknologi dan idiologi dasar.
7. Perubahan idiologis terutama adalah perubahan mengenai penghargaan terhadap kualitas hidup yang berada didalam situasi-situasi yang inheren dari pada mempertahankan standar hidup (materilistis) yang semakin tinggi.
8. Mereka mendukung butir-butir diatas mempunyai kewajiban langsung atau tidak langsung mencoba melaksanakan perubahan-perubahan yang perlu.

Deep Ecological sering kali dikritik sebagai gerakan social karena tidak cukup peduli dengan dengan masalah-masalah kaedilan social. Hal ini sebagian besar merupakan masalah tekanan dan prioritas dan pemilihan masalah-masalah ekologis dari pada yang lain. Naess menunjukkan gerakan hijauninternasional terdiri dari tiga gerakan yaitu Gerakan Perdamaian, Gerakan Keadilan social dan Gerakan Ekologis bersama dengan tujuan ekologi luas yang berkelanjutan.

Tuesday, September 18, 2007

Mencari Tuhan dengan Fisika




Jika membicarakan esensi Tuhan, mungkin pendekatan paling tepat dalam fisika adalah dunia kosmologi. Tuhan-lah yang memulai alam semesta ini dengan Big Bang (bagi yang percaya). Teori Alam Semesta yang dimulai dari dentuman besar adalah salah satu teori penting dalam kosmology. Ilmu fisika kita, belum sanggup menjelaskan secara kaffah dan harfiah apa yang terjadi pada menit-menit pertama akibat ledakan besar yang terkenal itu (the first 3 minutes). Kelanjutan dari Teori Dentuman Besar adalah kehancuran total (Big-crunch). Yang diramalkan akan terjadi sebagai imbas dari akhir dari yang awal.

Namun, Teori Dentuman Besar dan Kehancuran Besar bukanlah satu-satunya teori penciptaan Alam Semesta. Teori Relativitas Umum Einstein, yang merupakan dasar ilmu kosmologi modern, juga memiliki pandangan lain tentang Alam Semesta. Solusi lain ini mengatakan bahwa alam semesta hadir tanpa dentuman besar dan terus berposes tanpa pernah ada akhir. Walaupun Teori Dentuman Besar sebagai awal alam semesta adalah teori yang paling banyak dianut oleh sebagian besar para kosmologis sekarang, tapi secara ilmiah belum ada satupun yang berhasil memberikan jaminan tentang hal ini.

Kemudian bagaimana memandang kosmologis dan teori Kuantum menurut persepsi pribadi? Itu bukanlah suatu masalah, karena sebagai mahluk ciptaan Dzat yang Maha tinggi, ada perna manusia dalam penciptaan. Dalam Al Quran Adz Dzariat: 56, disebutkan bahwa “Tidaklah kuciptakan jin dan manusia, melainkan untuk beribadah kepada-Ku”.

Dasar ini menuntut kesadaran ekstra tinggi mengingat perilaku dan pengaruh global berbagai faham yang menjerumuskan pemikiran nurani dan mengabrasi keimanan. Rasakan bahwa ada kesadaran atas dan kesadaran bawah dalam diri manusia. Kesadaran atas adalah pikiran, pencapaian logika yang menjawab misteri fenomena alam ini (melalui rasionalisme saintik dan fenomena alam). Sementara kesadaran bawah adalah hati dan iman, pencapaian kekaguman pada Sang Pencipta.

Siapa yang Menciptakan Alam Semesta dari Ketiadaan?
Kemenangan Dentuman Besar, memicu dogma materialis, untuk membuang dogma agama ke tumpukan sampah sejarah. Namun bagi materialis lain, muncul dua pertanyaan yang tidak mengenakkan: Apa yang sudah ada sebelum Dentuman Besar? Dan kekuatan superbesar (mega force) apa yang telah menyebabkan Dentuman Besar sehingga memunculkan alam semesta dari yang tiada menjadi ada?

Beberapa biarawan materialis seperti Arthur Eddington menyadari bahwa jawaban untuk pertanyaan ini akan mengarah pada keberadaan sang pencipta. Filsuf ateis, Anthony Flew, mengomentari masalah ini: bahwa teori itu (alam semesta tanpa batas) masih benar, tentu saja tidak mudah atau nyaman untuk mempertahankan posisi ini di hadapan kisah Dentuman Besar.

Banyak ilmuwan yang tidak mau memaksakan diri menjadi ateis menerima dan mendukung keberadaan pencipta yang mempunyai kekuatan tak terbatas. Misalnya, ahli astrofisika Amerika, Hugh Ross, menyatakan Pencipta jagat raya, yang berada di atas segala dimensi fisik, sebagai: Pencipta itu transenden, bekerja di luar batasan-batasan dimensi alam semesta. Ini berarti bahwa Tuhan bukan alam semesta itu sendiri, dan Tuhan juga tidak berada di dalam alam semesta.

Dentuman Besar sebagai Bukti Kehadiran Tuhan
Sangat jelas bahwa Dentuman Besar berarti penciptaan alam semesta dari ketiadaan dan ini pasti bukti keberadaan pencipta yang berkehendak. Meskipun banyak orientasli dan ahli kosmologis mencoba membantah fakta tersebut melalui berbagai dalil yang mereka bangun, penjelasan alternatif untuk membantah kenyataan ini.

Ada pula sejumlah model yang telah dikemukakan oleh materialis yang menerima teori Dentuman Besar tetapi tetap berusaha melepaskan diri dari kaitan dogma keagamaan dan penciptaan. Salah satunya adalah model alam semesta itu "berosilasi"; dan yang lainnya adalah "model alam semesta kuantum".

Model alam semesta berosilasi dikemukakan ahli astronomi yang tidak menyukai gagasan bahwa Dentuman Besar adalah permulaan semesta. Dinyatakan bahwa pengembangan alam semesta sekarang ini akhirnya akan membalik suatu waktu dan mulai mengerut. Pengerutan ini akan menyebabkan segala sesuatu runtuh ke dalam satu titik tunggal yang kemudian akan meledak lagi, memulai pengembangan baru. Proses ini, kata mereka, berulang dalam waktu tak terbatas.
Model inilah yang menyatakan akan ada perulangan tanpa batas suatu penciptaan dan akhir dari suatu siklus yang berkesinambungan, sehingga peran Pencipta menjadi transenden dan tidak hadir dalam perwujudan alam semesta.

Skenario tersebut tidak didukung oleh hasil-hasil riset ilmiah selama 20 tahun terakhir, yang menunjukkan bahwa alam semesta yang berosilasi seperti itu tidak mungkin terjadi. Lebih mendalam lagi, bahwa hukum fisika tidak bisa menerangkan mengapa alam semesta yang mengerut harus meledak lagi setelah runtuh ke dalam satu titik tunggal (black hole). Melainkan alam semesta harus tetap seperti apa adanya. Hukum-hukum fisika juga tidak bisa menerangkan apakah tujuan dari pengerutan dan pengembangan (peledakan) kembali sebagai siklus yangmerujuk pada harmoni semesta.

Sebuah versi terbaru yang dipublikasikan lebih luas dari model alam semesta kuantum diajukan oleh ahli fisika, Stephen Hawking. Dalam bukunya, A Brief History of Time, Hawking menyatakan bahwa Dentuman Besar tidak harus berarti keberadaan dari ketiadaan. Alih-alih "tiada waktu" sebelum Dentuman Besar, Hawking mengajukan konsep "waktu imajiner". Menurut Hawking, hanya ada selang waktu imajiner 1043 detik sebelum Dentuman Besar terjadi dan waktu "nyata" terbentuk setelah itu. Harapan Hawking hanyalah untuk mengabaikan kenyataan "ketiadaan waktu" (timelessness) sebelum Dentuman Besar dengan gagasan waktu "imajiner" ini.

Ia mencoba mengajukan penjelasan berbeda untuk Ledakan Besar selain Penciptaan dengan mengandalkan kontradiksi. Sebagai sebuah konsep, "waktu imajiner" sama saja dengan nol atau seperti "tidak ada" jumlah imajiner orang dalam ruangan atau jumlah imajiner mobil di jalan. Jelas, Hawking hanya bermain dengan kata-kata. Dia menyatakan bahwa persamaan itu benar kalau mereka dihubungkan dengan waktu imajiner, namun kenyataannya ini tidak ada artinya.
Kemungkinan ini ditentang keras oleh ahli matematika, Sir Herbert Dingle, yang menganggap Hawking kemungkinan memalsukan hal-hal imajiner sebagai hal nyata dalam matematika Singkatnya, solusi imajiner atau teoretis matematika tidak perlu mengandung konsekuensi benar atau nyata.

Hawking menghasilkan hipotesis yang tidak berkaitan dengan kenyataan. Namun apa alasan yang mendorongnya melakukan ini? Hawking mengakui bahwa dia lebih menyukai model alam semesta selain dari Dentuman Besar karena yang terakhir ini "mengisyaratkan penciptaan Ilahiah", dan model seperti itu dirancang untuk ditentang.

Semua ini menunjukkan bahwa model alternatif dari Dentuman Besar, seperti keadaan-stabil, model alam semesta berosilasi, dan model alam semesta kuantum, timbul dari prasangka filosofis materialis. Penemuan ilmiah telah menunjukkan realitas Dentuman Besar dan bahwa teori ini menunjukkan kehadiran Sang Pencipta nan Agung dari suatu "keberadaan" Allah SWT.

TANDA-TANDA AL QURAN


Satu hal yang saya kagumi dari tauhid yang saya pegang adalah, bahwa dalam Al Quran ternyata mampu menjelaskan banyak fenomena penciptaan, kosmologis dan saintisme dan dapat dinalarkan dengan pemikiran logis. Untuk saya, teori-teori yang dilemparkan oleh kaum materialis justru membantu saya untuk berlari menuju kesempurnaan penciptaan oleh Sang Khalik. Kembali berperannya dogma agama nan cemerlang.

Kebenaran yang dipertahankan oleh sumber-sumber agama adalah realitas penciptaan dari ketiadaan. Ini telah dinyatakan dalam kitab-kitab suci yang telah berfungsi sebagai penunjuk jalan bagi manusia selama ribuan tahun. Dalam semua kitab suci seperti Perjanjian Lama (Taurat), Perjanjian Baru (Injil), Zabur (Mazmur) dan Al Quran, dinyatakan bahwa alam semesta dan segala isinya diciptakan dari ketiadaan oleh Allah.

Dalam satu-satunya kitab yang diturunkan Allah yang telah bertahan sepenuhnya utuh, Al Quran, ada pernyataan tentang penciptaan alam semesta dari ketiadaan, di samping bagaimana kemunculannya sesuai dengan ilmu pengetahuan abad ke-21, meskipun diungkapkan 15 abad yang lalu.

Pertama, penciptaan alam semesta dari ketiadaan diungkapkan dalam Al Quran sebagai berikut: Dia pencipta langit dan bumi. Bagaimana Dia mempunyai anak padahal Dia tidak mempunyai istri. Dia menciptakan segala sesuatu dan Dia mengetahui segala sesuatu. (QS. Al An'aam, 6: 101).

Aspek penting lain yang diungkapkan dalam Al Quran lima belas abad sebelum penemuan modern Dentuman Besar dan temuan-temuan yang berkaitan dengannya adalah bahwa ketika diciptakan, alam semesta menempati volume yang sangat kecil: Dan apakah orang-orang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya. Dan daripada air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman? (QS. Al Anbiyaa', 21: 30).

Terjemahan ayat di atas mengandung pemilihan kata super penting dalam bahasa Arab. Kata ratk diterjemahkan sebagai "suatu yang padu" yang berarti "bercampur, bersatu" dalam kamus bahasa Arab. Kata itu digunakan untuk merujuk dua zat berbeda yang menjadi satu. Frasa Kami pisahkan diterjemahkan dari kata kerja bahasa Arab, fatk yang mengandung makna bahwa sesuatu terjadi dengan memisahkan atau menghancurkan struktur ratk. Tumbuhnya biji dari tanah adalah salah satu tindakan yang menggunakan kata kerja ini. Kemudian mereka dipisahkan (fatk) dengan satu muncul dari yang lainnya.

Kebenaran lain yang terungkap dalam Al Quran adalah pengembangan jagat raya yang ditemukan pada akhir tahun 1920-an. Penemuan Hubble tentang pergeseran merah dalam spektrum cahaya bintang diungkapkan dalam Al Quran sebagai berikut: Dan langit itu Kami bangun dengan kekuasaan (Kami) dan sesung-guhnya Kami benar-benar meluaskannya. (QS. Adz-Dzaariyat, 51: 47).

Singkatnya, temuan-temuan ilmu alam modern mendukung kebenaran yang dinyatakan dalam Al Quran dan bukan dogma materialis. Materialis boleh saja menyatakan bahwa semua itu "kebetulan", namun fakta yang jelas adalah bahwa alam semesta terjadi sebagai hasil penciptaan dari pihak Allah dan satu-satunya pengetahuan yang benar tentang asal mula alam semesta ditemukan dalam firman Allah yang diturunkan kepada kita.