(artikel ini tertuang setelah membaca tulisan dari Bpk. Soetarjo Sigit, Bpk Jogi T. Soedarjono, Bpk. Kosim Gandataruna dan Bpk. Achmad Zulkarnain. Terima kasih atas inspirasinya)
Industry mineral dan pertambangan di Indonesia pada dasarnya sudah berlangsung cukup lama, ratusan tahun lalu (bahkan ribuan tahun jika merunut pada zaman logam dan perundagian). Di pulau Bangka yang dahulu dikenal sebagai Vanka atau dalam bahasa Sansakerta berarti timah, telah mulai di tambang sejak abad 18. Orang Tionghoa didatangkan untuk menambang Timah oleh korporat Belanda. Sulawesi juga dikenal sebagai pulau logam, berasal dari kata Sula yang berarti pulau dan wesi yang berarti logam besi, keduanya juga dalam bahasa Sansakerta.
Indonesia mengadopsi Indische Mijn Wet atau yang dikenal sebagai undang-undang tambang dari negeri belanda pada awal abad 20. Undang-undang ini diterapkan hingga pertengahan 1960-an dan menjadi acuan bagi pelaksanaan aktivitas pertambangan termasuk kesejahteraan bangsa pada saat itu. Karena adopsi Belanda, maka tak lepas dari unsure kolonialisme sehingga terkesan kental dengan nuansa kapitalisme penjajahan.
Namun sejarah modern pertambangan Indonesia baru mulai dikenal pada pertengahan abad 20 melalui Undang-undang Pokok Pertambangan No. 11 tahun 1967. Sejarah di balik diterbitkannya undang-undang ini jarang diketahui banyak pihak. Ada baiknya kita tidak melupakan sejarah, dan mengenalnya ntuk menuju masa depan lebih cerah.
Tahun 1960 Mr. H.T.M.Hasan pada tahun 1951 yang kala itu menjabat Ketua Komisi A DPR RI waktu itu, mengajukan mosi kepada Presiden melalui suratnya No. Agd.1446/RM/DPR-RI/1951 tanggal 17 Juli 1951, yang berisi pokok- pokok pikiran antara lain :
1) “Bahwa Indische Mijn Wet (Stb.1899 No.214), sebagai Undang-undang Pertambangan Kolonial sudah tidak sesuai lagi dengan alam kemerdekaan yang berhajat kepada pembangunan dan kemakmuran rakyat”
2) “Bahwa bahan galian tambang bila diusahakan dengan sungguh-2, maka hasilnya tentu dapat menutup sebagian besar dari Anggaran Belanja Negara”. Hal ini berarti mengurangi dan meringankan beban rakyat dalam kewajiban untuk membayar pajak buat Negara1.
Namun karena maraknya pergolakan di tanah air yang berkepanjangan waktu itu, juga karena selisih faham dari banyak partai dan pemberontakan di berbagai daerah seperti PRRI, PERMESTA, dan RMS, maka baru pada tahun 1960 setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959 mosi M. Hasan tersebut baru dapat direalisasikan. Yaitu dengan diundangkan Undang-undang No.37 Prp.1960 tentang “Pertambangan” dan Undang - undang Nomor 44 Prp.1960 tentang “Minyak dan Gas Bumi”. Sebagai undang-undang yang mengatur tentang kebijakan Pertambangan dan Migas yang menggantikan Indische Mijn Wet Stb.1899 Nomor 214 yang merupakan landasan mineral policy produk kolonial dan sangat diskriminatif serta tidak sesuai dengan jiwa dan semangat Undang-Undang Dasar Tahun 1945.
Lalu selanjutnya pada tahun 1967 landasan perundangan pertambangan Indonesia mengacu pada UU Nomor 37 Prp. 1960 tersebut dan selanutnya diatur kembali dalam oleh Peraturan Presiden No.20 tahun 1963. Salah satu kebijakannya , adalah mengatur kerjasama pengusahaan pertambangan dengan pola “Production Sharing” dan sangat membatasi masuknya modal asing di sektor Pertambangan. Ternyata kebijakan mineral ini tidak pula berhasil menarik minat investor ataupun dapat mendatangkan modal dari luar negeri.
Mengingat kondisi ini dan Indonesia butuh investasi asing untuk mempercepat pembangunan nasional, maka MPRS pada waktu itu segera menetapkan TAP.No.XXIII/MPRS/1966 tentang Pembaruan Kebijaksanaan Landasan Ekonomi, Keuangan dan Pembangunan. Pembaruan kebijaksanaan sector pertambangan ini diharapkan dapat menarik investasi terutama sebagai awal transfer modal dan telnologi. Pembaruan ini juga dilakukan untuk menanggulangi kurangnya kas Negara akibat keremrosotan ekonomi dan lemahnya pembangunan pasca orde lama.
Pembaruan kebijakan ini ditujukan agar tercipta iklim yang lebih baik untuk penanaman modal asing yang ditandai dengan diterbitkannya UU No. 1 tahun 1967 tentang penanaman modal asing. Lalu lebih spesifik lagi untuk akivitas pertambangan dilanjuti dengan diterbitkannya Undang-undang No. 11 tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan.
Pokok kebijakan pemerintah yang memungkinkan ikut sertanya modal asing dalam usaha pertambangan di Indonesia diatur dalam pasal 8 ayat (1) Undang-undang nomor 1 tahun 1967 tentang PMA dan Pasal 10 ayat (1) Undang-undang nomor 11 tahun 1967 tentang Pokok Pertambangan. Pasal 8 ayat (1) UU No.1 tahun 1967 :
“Penanaman modal asing di bidang pertambangan didasarkan pada suatu kerjasama dengan Pemerintah atas dasar kontrak karya atau bentuk lain sesuai dengan peraturan yang berlaku”.
Pasal 10 ayat (1) Undang-undang Nomor 11 tahun 1967 :
“Menteri dapat menunjuk pihak lain sebagai kontraktor apabila diperlukan untuk melaksanakan pekerjaan yang belum atau tidak dapat dilaksanakan sendiri oleh instansi pemerintah atau perusahaan negara yang bersangkutan selaku pemegang kuasa pertambangan”.
Sejak diberlakukannya UU No. 11/1967 inilah, tak perlu waktu lama, masuk banyak investasi asing. PT. Freeport McMoran dari Amerika adalah yang pertama sekaligus perusahaan pertama yang mendapatkan Kontrak Karya (KK Generasi I). investasi awal ini diiming-imingi banyak kemudahan ekonomi sebagai insentif oleh pemerintah. Kemudian selanjutnya pada KK generasi II (1968-1972) masuklah investasi lain seperti INCO, ALCOA dan Billiton. Hingga medio 200o-an telah ada VII generasi Kontrak Karya yang tiap stratanya dibedakan dari perubahan pajak yang berlaku. Diakui ahw sejak dikeluarkannya UU No. 11/1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan ini telah menyuburkan iklim dan menjamurkan banyak investasi tambang di Indonesia.
Bersambung…
1 comment:
mas saya bisa kontak mas melalui gimana caranya ? alamat emailnya apa? sy lagi menulis tentang pertambangan
Post a Comment