Ada yang menarik saat berbicara mengenai transformasi manfaat dari barang tambang yang telah digali. Transformasi manfaat dijelaskan sebagai aktivitas perubahan kegunaan barang tambang dari proses penggalian hingga menjadi barang round selanjutnya. Transformasi manfaat akan sangat berarti jika di dalamnya terjadi peningkatan nilai tambah artinya jika mineral yang belum diambil (dormant) hanya memiliki nilai manfaat sebesar 1 rupiah, maka setelah diambil harus terjadi peningkatan nilai setinggi mungkin.
Nilai dari transformasi manfaat akan semakin meningkat seiring dengan makin banyaknya proses ekonomi hingga menjadi produk akhir. Untuk produk tambang misalnya, mineral akan menjadi bernilai jika setelah diambil berlanjut ke proses pengolahan sehingga menghasilkan barang jadi atau setengah jadi. Proses pengolahan ini yang akan memberikan nilai tambah dan manfaat ekonomi lanjutan karena akan dibutuhkan suatu pabrik pengolahan atau smelter dan tentunya aktivitas ini akan menyerap tenaga kerja dan menimbulkan perputaran ekonomi baru. Output produk juga akan bernilai jauh lebih tinggi dari sebelumnya.
Transformasi mineral menjadi emas akan meningkatkan nilai ekonomi
Ore nickel berkadar 1,8% misalnya, jika dijual dalam bentuk bahan mentah (ore) maka harga jualnya di pasaran hanya mencapai US$ 32/ton. Tentunya nilai ini sangat murah, hanya sedikit pemasukan yang diterima oleh negara. Tetapi bila melalui proses transformasi atau peleburan menjadi nickelmatte atau ferronickel maka harga jualnya akan menjadi US$ 9,48/pon. Jauh lebih tinggi daripada harga jual sebelumnya, ditambah lagi dengan manfaat ekonomi dari dibangunya smelter.
Yang terjadi saat ini, sebagian produksi mineral indonesia masih dijual atau diekspor dalam bentuk bahan mentah. Secara struktur, volume penjualan memang besar tetapi nilai manfaatnya yang masih kurang.
Selain itu, Indonesia justru mengimpor kembali mineral tadi dalam bentuk barang setengah jadi dengan harga lebih mahal. Meskipun semestinya barang konsumsi tersebut dapat diproduksi di dalam negeri. Indonesia menjual bijih bauksit yang selanjutnya diolah menjadi alumina di negara alain, lalu kembali mengimpornya dalam bentuk alumunium degan harga jauh lebih mahal. Tentunya akan jauh lebih baik jika kita tidak terlalu membanggakan volume ekspor mineral tetapi tidak mempertimbangkan peningkatan nilai tambahnya.
Produk Mentah Mineral Indonesia
Sudah mahfum di Indonesia bahwa beberapa jenis mineral diproduksi dan diekspor dalam bentuk bahan mentah sedari dulu. Pemeo yang mengatakan bahwa “jual mentah saja kita sudah untung, buat apa diolah..??” berkembang dari dulu hingga kini, ditambah dengan sistem perundangan primordial yang kurang memberikan ruang bagi industri pengolahan untuk berdiri di Indonesia. Jadi tak mengherankan jika bijih nickel di sekitaran Sorong, Papua Barat hanya diekspor oleh perusahaan tambang disana atau bauksit juga yang seperti ini, hanya di daerah lain. Akibatnya, industri pertambangan Indonesia hanya bergerak di sektor hilir.
Tambang nikel di kawasan Papua Barat yang menjual mineral dalam bentuk ore
Bagi sebagian orang yang peduli, keadaan ini layak disebut sebagai “menjual tanah air”. Bagaimana tidak, menjual mineral dalam bentuk bahan mentah artinya tentu saja menghilangkan kesempatan untuk terbentuknya manfaat ekonomi dan sosial tambahan dari tansformasi mineral ke produk jadi. Selain itu juga melenyapkan penerimaan negara dari pajak dan royalti produk jadinya dan pasti semakin mejauhkan prinsip pemanfaatan kekayaan alam untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Ada persepsi lain yang muncul di permukaan internasional sejak tahun 80-an yang menganggap industri konversi mineral adalah industri ekstraktif yang merusak lingkungan dan tidak berkontribusi terhadap masyarakat banyak. Persepi ini diwakili oleh pandangan Davis dan John Tilton. Tak pelak, persepsi ini juga muncul di Indonesia. Dan untuk meredusi persepsi ini diperlukan effort keras dan penyebaran informasi tentang nilal tambah dari hadirnya industri pemnfaatan mineral.
Pandangan diatas tak sepenuhnya keliru, karena era itu memang pernah dijalani oleh torehan industri tambang indonesia, namun itu telah bergeser. Paradigma industri tambang sekarang sudah menuju arah yang lebih baik dengan prinsip environtmenal awareness, peleburan nilai nilai Corporate Social Responsibility, pelaksanaan Good Mining Practice dan lainnya.
Salah satu pergeseran paradigma tersebut adalah di Nilai Tambah. Mineral tidak lagi dianggap sekedar produk, melainkan suatu “aset”. Aset bermakna memberikan nilai guna lebih dalam pemanfaatannya. Jadi dalam proses transformasi mineral, harus ada manfaat ganda atas hasil eksploitasi mineral yang mutlak diupayakan terutama bagi masyarakat lingkar tambang.
Harus ada pengembangan teknologi dan inovasi dalam proses ekploitasi dan pengolahan sumber daya mineral untuk meningkatkan nilai tambahnya. Mineral tidak lagi dijual dalam bentuk bahan mentah ataupun bijih melainan lebih dari itu harus dalam bentuk olahan dan produk jadi. Jangan ada lai ekspor bijih nikel, bijih auksit, konentrat timah dan tembaga, karena semuanya hanya memberi sedikit manfaat.
Dukungan dari pemerintah sebagai regulator tentunya sangat diperlukan untuk mengkokohkan tujuan ini. Dalam Undang-undang Minerba No. 4 tahun 2009 dijelaskan bahwa pelaku usaha (Pemegang Izin Usaha Pertambangan) operasi produksi wajib melakukan pengolahan dan pemurnian hasil tambang di dalam negeri (pasal 103-104). Ekspor minerla Indonesia tidak lagi dalam bentuk baha mentah. Tahun 2014 ekspor bahan mentah akan dilarang.
Pembangunan smelter, untuk menigkatkan nilai tambah produk pertambangan
Tentunya ini akan memberikan konsekuensi Indonesia harus membangun banyak industri pengolahan mineral (smelter) dalam negeri. Dan ini adalah tantangan bersama para banyak pihak, pemerintah, pihak swasta dan masyarakat untuk bersama-sama mendorong peningkatan nilai tambah tersebut. Nilai tambah dimulai dari pengolahan dan pemurnian, peningkatan tenaga kerja, mendorong peran barang dan jasa lokal, sampai dengan upaya pengembangan masyarakat.
Saat ini sudah menjelang tahun 2012 artinya tinggal tersisa 2 tahun lebih untuk dapat merealisasikan hal ini. Lalu bagaimana dengan perusahaan tambang yang telah melakukan kontrak penjualan jangka panjang dengan buyers untuk produk mineral setengah jadi atau masih mentah? Pastinya perusahaan tersebut harus tetap comply dengan peraturan perundangan yang berlaku. Tentunya dengan pertimbangan adanya keringanan khusus sampai selesainya masa kontrak jangka panjang tersebut.
Selain nilai tambah dari konversi manfaat sumber daya mineral tersebut, masih ada pula nilai tambah samping dari aktivitas pertambangan yang lebih mengarah ke soft science seperti:
a. Pengembangan inovasi dan pengembangan (baca transfer teknologi). Tambang identik dengan teknologi modern dan saintik, yang kebanyakan untuk memenuhi kebutuhan ini, awalnya mendatangkan tenaga ahli dari luar negeri. Dengan bergulirnya waktu, harus terjadi konversi ilmu dan transfer teknologi antara tenaga ahli asing kepada tenaga ahli Indonesia. Telah banyak transfer teknologi yang berhasil dilakukan di Indonesia, sehinga jumlah tenaga ahli asing dapat dikurangi. Perencanaan tambang bawah tanah, perencanaan open pit, penggunaan alat berat non konvensional atau bahkan konsultan tambang. Bahkan secara ekstrem, apabila tidak terjadi transfer teknologi di suau perusahaan, maka kita mampu untuk “mencuri” dan “mengadopsi” teknologi tersebut.
Masyarakat lokal mendapatkan ilmu hasil dari kerjasama dan coaching ilmu dari tenaga asing
b. Peningkatan penggunaan produk domestic. Dapat betapa besarnya pengeluaran tambang untuk menggunakan produk luar negeri. Untuk produk yang dapat dibuat dan disupply domestic, maka saat ini pemerintah telah menyusun kebijakan penggunaan produk domestic (local content) dalam indsutri tambang. Kebijakan ini juga untuk mensinkronisasikan arah industry hilir dengan industry hulu untuk peningkatan local content dan nilai tambah.
c. Pengembangan pertumbuhan ekonomi, khususnya ekonomi local. Hadirnya perusahaan tambang yang bersinggungan dengan masyarakat local tentunya akan memanfaatkan tenaga local, artinya perusahaan telah membangun system kerjasama untuk mengoptimalkan peran putra daerah. Selain itu, banyak aktivitas ekonomi local yang bsia dibangkitkan, misalnya supply makanan dan penyewaan akomodasi untuk tenaga kerjanya. Penyediaan sarana transportasi penunjang dan tvale agent. Supply daging dari peternak local maupun buah-buahan.
No comments:
Post a Comment