Pertambangan
adalah usaha yang karakteristik dan kompleks. Karakteristik karena letak
endapan mineralnya ditentukan oleh tuhan (given by nature). Dapat terletak
dekat permukaan sehingga memungkinkan untuk diambil dengan sistem tambang
terbuka, dapat terletak di kawasan hutan atau bahkan terletak jauh di bawah
tanah sehingga dimanfaatkan dengan sistem tambang dalam atau bahkan tidak dapat
dimanfaatkan sama sekali dengan teknologi saat ini.
Mineral
merupakan hasil dari aktivitas geologis yang terbentuk dari jutaan tahun lalu
yang dimulai dari aktivitas penghancuran (kataklastik) hingga pendinginan dan
membentuk mineral. Secara alami keterdapatan mineral umumnya ada di daerah
terpencil, dekat hutan atau di bawah laut. Tidak ada satu
manusiapun yang dapat menentukan lokasi keterdapatan tambang, begitupula dengan
jenis metode yang akan dipilih. Cadangan terbentuk secara alamiah sebagai
“given” dari yang Maha Kuasa.
Endapan Batubara Hampir Selalu ada di Rawa dan Hutan
Tambang bawah
tanah diperuntukan untuk mengambil cadangan yang relatif jauh di bawah Tidak ada
yang dapat memaksakan pemilihan metode penambangan selain kondisi alamnya.
Proses geologi yang menentukan bagaimana kondisi cadangan, dapat terletak dekat
permukaan (seperti nikel dan timah) sehingga dilakukan tambang terbuka ataupun
jauh di dalam bumi (endapan skarn emas dan tembaga atau vein emas) sehingga
diterapkan tambang bawah tanah.
Sebaliknya
endapan yang karena proses geologi pembentukannya sehingga berada jauh di bawah
permukaan, diatas 500 m, seperti emas di Pongkor, hanya tambang dalam yang
sesuai karena andai diterapkan tambang terbuka akan membutuhkan total biaya
operasi besar untuk menyingkirkan tanah penutup sebelum mencapai endapan.
Tambang bawah
tanah diperuntukan untuk mengambil cadangan yang relatif jauh di bawah permukaan.
Tambang bawah tanah ini hanya membuka sebagian kecil lahan di permukaan untuk
penyediaan akses, infrastruktur kantor dan fasilitas pengolahan. Karena
aktivitas eksploitasi dilakukan dibawah tanah, hampir tidak ada lahan permukaan
yang terganggu.
Endapan Mineral Bawah Tanah Sangat Spesifik
Lalu bagaimana
jika harus menambang di suatu lokasi dimana di permukaan terdapat wilayah yang
tidak boleh terganggu seperti hutan lindung atau taman nasional misalnya..?
inilah yang menjadi perbincangan menarik karena ada banyak pertimbangan disini.
Jika harus ditambang dengan tambang bawah tanah, harus dipastikan kekuatan
batuan dan kondisi geologi, jika rapuh justru sangat beresiko membahayakan
keselamatan pekerja. Pemilihan ini mesti dilakukan analisis mendalam. Ada
contoh menarik ketika tambang bawah tanah di Varengeville, Prancis, misalnya,
diterapkan untuk menambang endapan garam yang berada di bawah permukiman padat.
Tambang terbuka diterapkan jika lokasi
cadangan dekat dengan permukaan. Kemudian It is not easy untuk menyelaraskan
antara pertumbuhan dengan pemeratan, kemudian mana yang lebih banyak
diperdebatkan antara “azas penguasaan“ oleh negara dibandingkan dengan
“azas pemanfaatan“. Fenomena yang banyak terjadi saat ini adalah lahirnya
regulasi yang kurang berimbang dan cenderung lebih berpihak kepada aspek
konservasi daripada menyentuh aspek peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Tetapi disadari bahwa pemanfaatan sumber daya
alam terkadang menjadi tak terkendali dan terkadang juga tidak berkorelasi
positif dengan kesejahteraan masyarakat sekitar. Oleh karena itu, dibutuhkan
sebuah paradigma yang berimbang sebagai pedoman pelaksanaan pembangunan nasional,
yang mampu menyeimbangkan antara penguasaan dan pemanfaatan.
Salah satu korelasi negatif itu adalah
pencemaran lingkungan. Pencemaran lingkungan akan berdampak langsung atau tak
langsung baik pada manusia sebagai substansi esensial, substansi hidup maupun
nirhidup lainya. Pencemaran akan dapat dirasakan apabila konsentrasi pencemar
telah melewati Nilai Ambang Batas (NAB) atau Treshold Limit.
Pada pasal 145 UU No. 4 tahun 2009 tentang
Minerba disebutkan bahwa “Masyarakat yang terkena dampak negatif langsung dari
kegiatan usaha pertambangan berhak:
- Memperoleh ganti rugi yang layak akibat kesalahan dalam pengusahaan kegiatan pertambangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
- Mengajukan gugatan pada pihak pengadilan terhadap kerugian akibat pengusahaan pertambangan yang menyalahi ketentuan.
Tentu
satu hal yang sangat riskan jika mengatasi pencemaran lingkungan terlebih jika
memang sudah berdampak pada masyarakat sekitar. Bukan saja ganti rugi yang
harus dikeluarkan atau biaya rehabilitasi lingkungan, ada nama baik dan
corporate image yang dipertaruhkan di situ. Punishment public juga satu hal
yang berusaha dihindari oleh perusahaan kelas dunia.
Untuk
itu, sebelum eksploitasi dilaksanakan sudah harus ada usaha mitigasi seperti
yang tertuang dalam AMDAL (Analisa Mengenai Dampak Lingkungan) dan menjadi
syarat utama untuk perolehan Izin Usaha Pertambangan (IUP). Disini terangkum
secara rinci segala aktivitas yang akan dilakukan, dampak negatif yang mungkin
terjadi termasuk penanganan hingga prediksi pasca tambang.
Dalam
aktivitas pertambangan sendiri ada beberapa potensi pencemaran lingkungan yang
dapat terjadi dari aktivitas pertambangan. Beberapa potensi tersebut antara
lain:
a. Air asam
tambang (AAT) atau Acid Mine Drainage (AMD)
Merupakan air
yang terkontaminasi oleh mineral yang umumnya mengandung sulfur seperti pyrite,
chalcopyrite ataupun sulfida besi lainya. Beberapa bentuk adalah air yang
berwarna oranye, merah atau kuning dan mengendap di sediman. Umumnya memiliki
pH rendah sehingga sulit untuk didiami mahluk hidup atau dimanfaatkan manusia.
Hanya bakteri tertentu yang tahan pada kondisi ini. Beberapa reaksi pembentukan
air asam tambang seperti di bawah ini:
|
|
Reaksi air
asam tambang untuk
Ferrous Iron
|
Reaksi air
asam tambang untuk Hydrolysis Iron
Yellow Boy Salah Satu Dampak Air Asam Tambang
Air asam
tambang menyebabkan banyak masalah lingkungan di pertambangan karena
menyebabkan penurunan pH hingga 4 atau 3 sehingga tidak dapat didiami oleh ikan
maupun plankton, mengganggu reproduksi hewan air, penurunan dan inlitrasi ke
air tanah, korosi dan perusakan jalur pipa.
b. Tailing
Pada
dasarnya tailing adalah sisa ekstraksi mineral yang umumnya berbentuk pasir
sehingga sering disebut sebagai sirsat (pasir sisa tambang). Tailing biasanya
sudah didetoksifikasi atau dihilangkan konsentrasi bahan beracunya sehingga secara
teoritis dapat dilepaskan ke lingkungan.
Namun ada
berbagai pertimbangan yang menjadikan tailing ini berpotensi mencemari
lingkungan. Tailing umumnya dilepaskan dalam jumlah besar. Untuk ekstraksi
tembaga dan emas, 99% dari produksi bijih akan menjadi tailing. Jumlah yang
besar ini memerlukan penempatan yang akurat dan aman. Apabila ditempatkan di
sungai tentu akan merusak habitat substansi biotik. Ide untuk menempatkan di
palung laut juga beresiko jika tidak didasari penelitian dan perhitungan yang cermat
dan berkelanjutan.
Tailing
juga belum dapat dimanfaatkan optimal sebab regulasi untuk pemanfaatan material
yang digolongkan sebagai limbah B3 (Bahan Berbahaya Beracun) ini terkendala
banyak hal. Hanya ada beberapa aktivitas tambang seperti cut and fill yang
mengurangi volume tailing yang terbuang di permukaan secara cukup signifikan.
Timbunan Tailing
Fenomena tailing
yang menonjol belakangan ini adalah Pembuangan Tailing Bawah Laut (Submarine
Tailing Disposal) dimana tailing ditempatkan pada palung dengan kedalaman
tertentu di bawah laut. Penempatan tailing ini sudah diperhitungkan matang baik
dari segi kedalaman, jarak maupun flowa fauna biotik agar tidak mencemari
sekitar titik penumpahan selain karena memang telah didetoksifikasi terlebih
dahulu. Hanya karena jumlahnya yang kian besar dan potensi pencemaran masih
tetap ada, tetap menjadi perdebatan kalangan praktisi dan konservasionis.
Skema Submarine Tailing Placement di Salah Satu Tambang Kanada
c. Pertambangan
Tanpa Izin (PETI)
Pertambangan
tanpa izin menjadi masalah pelik yang dihadapi dunia pertambangan karena
kompleksitas econososioculturpolitik yang dimilikinya. Begitu rumit untuk jika
hanya melihat PETI dari satu sisi saja, lebih dari sudut pandang ekonomi dna
budaya,disitu juga terangkum permasalahan Corporate Social Responsibility dan lingkungan.
PETI tidak
sekedar urusan perut masyarakat miskin sekitar tambang, sudah ada urusan cukong
dan becking di belakangnya. Terlebih jika aparat keamanan juga turut bermain. Seperti
yang terlihat pada aktivitas PETI batubara di Kalimantan Selatan, PETI emas di Jawa
Barat dan Kalimantan Tengah. Semuanya didukung oleh pemilik modal dan tidak
lagi merupakan usaha penambangan tradisional. Kondisinya semakin sulit
diselesaikan selain karena minimnya good will dari pemerintah daerah dan pusat.
No comments:
Post a Comment