Indonesia
adalah salah satu negara yang dianugerahi banyak sumber daya alam oleh Yang
Maha Kuasa. Pemanfaatan SDA selama ini berhasil membawa ketergantungan
Indonesia sebagai modal pembangunan. Dalam UUD 1945 pasal 33 ayat 3 dinyatakan
bahwa: “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai
oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat“. Dan
dalam pemanfaatannya terkadang dihadapkan pada dua pilihan, menjadikan SDA itu
sebagai anugerah atau ustru sebagai kutukan. Anugerah maksudnya dapat
dimanfaatkan optimal untuk rakyat dengan mimimisasi kerugian lingkungan dan
sosial. Sebaliknya tentu menjadi kutukan.
It is not
easy untuk menyelaraskan antara pertumbuhan dengan pemeratan, kemudian mana
yang lebih banyak diperdebatkan antara “azas penguasaan“ oleh negara dibandingkan
dengan “azas pemanfaatan“. Fenomena yang banyak terjadi saat ini adalah
lahirnya regulasi yang kurang berimbang dan cenderung lebih berpihak kepada
aspek konservasi daripada menyentuh aspek peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Tetapi
disadari bahwa pemanfaatan sumber daya alam terkadang menjadi tak terkendali
dan terkadang juga tidak berkorelasi positif dengan kesejahteraan masyarakat
sekitar. Oleh karena itu, dibutuhkan sebuah paradigma yang berimbang sebagai
pedoman pelaksanaan pembangunan nasional, yang mampu menyeimbangkan antara penguasaan
dan pemanfaatan.
Paradigma
pembangunan nasional yang mesti duwujudkan saat ini adalah paradigma pembangunan
berkelanjutan (sustainable development). Intinya adalah pelaksanaan pembangunan
berkelanjutan yang mengacu kepada keseimbangan antara dimensi ekonomi, sosial
dan lingkungan hidup secara selaras dan berkesinambungan. Tiga dimensi ini
adalah bagian integral, jadi jangan dilihat secara terpisah. Kebijakan harus
mampu mengakomodir tiga dimensi ini. Pengambilan SDA harus mempertimbangkan
pertumbuhan ekonomi, keseimbangan lingkungan dan pengembangan masyarakat
sekitar. Paradigma ini menuntut ditempatkannya kepentingan nasional di atas
semua kepentingan sektor atau bidang tertentu.
Pembangunan
Berkelanjutan berusaha menyeimbangkan kebutuhan dan kemampuan generasi saat ini
dan mendatang
Untuk
pertambangan khususnya, mangingat keterdapatanya hampir selalu berada di
wilayah remote dan di hutan lindung, pemanfaatanya harus dilihat sebagai sumberdaya
yang tidak terbarukan baik jumlah dan waktunya. Eksploitasi tambang berlebihan
tanpa melakukan revegetasi ataupun reklamasi pastiya akan mneimbulkan kerusakan
lingkungan bahkan mampu memicu bencana lebih besar. Dan SDA tambang harus
dilihat sebagai SDA tak terbarukan (unrenewable resources) dalam waktu dekat.
Eksploitasi
sumberdaya alam haruslah difokuskan untuk membangun ”human capital”, ”build
capital” dan ”social capital” secara berimbang sehingga modal ini kemudian
dapat dikonversi kedalam bentuk penciptaan atau penguasaan teknologi. Hal ini
yang dapat menciptakan kekuatan ekonomi (economic capital) sehingga penghematan
eksploitasi sumberdaya tambang dapat dilakukan dan disesuaikan dengan kebutuhan
perlindungan lingkungan. Jadi pengelolaan tambang seiring dengan pengelolaan
sumberdaya ekosistem lingkungan sehingga pemanfaatanya optimal
Kesetimbangan
Ekologi, Ekonomi dan Sosial
Bukan
rahasia umum lagi jika selalu ada benturan antara pemanfaatan SDA tambang
dengan kehutanan (kalau dirunut bisa diprediksi bahwa ini adalah sejarah masa
lalu) yang membuktikan kuatnya ego sektoral. Buktinya adalah munculnya regulasi
yang tidak memberi ruang keadilan dalam pemanfaatan sumber daya alam tak
terbarukan ini.
As we
know, hampir seluruh kebutuhan manusia selama ini tak
lepas dari peran input hasil sumber daya alam terutama pertambangan, dan
pertambangan erat dengan peningkatan kesejahteraan manusia. Bola lampu, besi,
baja, perunggu, kuningan, gadget elektronik, mobil ,esawat, kereta api bahkan
jam tangan menjadi produk pertambangan. Bahkan pertambangan di daulat menjadi
“zaman” untuk membagi peradaban manusia seperti yang kita kenal zaman batu, zaman perunggu, zaman besi hingga
baja dan lainya.
Sarana
yang kita pergunakan, baik yang bersifat statis maupun dinamis, dari berukuran
mikro hingga giga, semuanya mengandung komponen logam ataupun non logam yang
dihasilkan dari bahan tambang. Karenanya tidak berlebihan jika dikatakan bahwa
perkembangan teknologi yang memberikan banyak kemudahan dalam kehidupan manusia
tidak dapat berjalan sendiri tanpa dukungan dari hasil pertambangan.
Semua
berawal dari mineral
Karena
demand yang besar dan supply yang
terbatas, ditambah sifatnya yang unrenewable maka saat ini daur ulang
(recycling) yang merupakan cara lain untuk memenuhi kebutuhan akan bahan
tambang tersebut, meskipun ternyata tak mampu untuk memenuhi tingkat kebutuhan
yang sangat tinggi.
Kemudian
dengan berbagai masalah yang timbul terkait dengan optimasi SDA tambang ini,
banyak yang melihat tidak secara jernih
bahwa tambang adalah kebutuhan integral untuk mencapai pembangunan
berkelanjutan. Tiap kelompok selalu melihat dengan refleksi yang berbeda yang
dipengaruhi oleh pengetahuan dan informasi pertambangan.
Pertama
adalah pandangan mereka yang kurang memiliki informasi cukup tentang industri
tambang. Praktis pandangan yang terbatas membuat mereka banya termakan oleh
opini umum. Kemudian masyarakat yang jelas-jelas menolak industri tambang
apapun alasanya dan terakhir masyarakat yang memahami pertambangan secara
menyeluruh.Kebanyakan dari mereka melihat orientasi tak seimbang antara
konservasi dengan benefit pertambangan lalu dampak lingkungan yang ditimbulkan
aktivitas ini. Beberapa lainya melihat lebih pada orientasi politik semata.
a.
Perubahan Lingkungan
Fisik.
Usaha
pertambangan memang bersifat destruktif secara alami karena mengubah bentangan
lahan, melakukan penggalian. Pembuakaan lahan hampir selalu di kawasan hutan
baik prasarana penambangan maupun lokasi pit itu sendiri. Perubahan fisik lahan
pasti terjadi, tetapi bukan berarti kerusakan lahan tersebut tidak dapat
dikontrol. Oleh karena itu kajian AMDAL menjadi dasar dikeluarkannya izin
penambangan.
Dalam
AMDAL ini terangkum hal penting seperti
·
Ekstraksi dan Pembuangan Tailing Batuan. Ekstraksi
mineral tailing dan produk samping dengan total limbah yang diproduksi
bervariasi 10 % sampai sekitar 99,99 % dari total bahan yang ditambang. Hal-hal
pokok yang perlu mendapatkan perhatian dalam menentukan besar dan pentingnya
dampak lingkungan pada kegiatan ekstraksi dan pembuangan tailing adalah luas
dan kedalaman zona mineralisasi, jumlah batuan yang akan ditambang dan dibuang,
toksisitas tailing, potensi terjadinya air asam tambang, dampak kesehatan dan
keselamatan terkait transportasi, penyimpanan dan penggunaan bahan peledak dan
bahan kimia racun, bahan radio aktif, sifat geoteknik batuan, pengelolaan
lumpur, kerusakan bentang lahan dan keruntuhan akibat penambangan bawah tanah
hingga terlepasnya gas berbahaya dari tambang batubara bawah tanah.
Tailing,
sisa penambangan yang membutuhkan lahan ekstra luas
·
Pengolahan Bijih dan Pabrik Pengolahan ini tergantung
pada jenis mineral yang diambil, proses menjadi konsentrat bijih- atau
selanjutnya diikuti dengan pengolahan metalurgi dan refining. Bahan kimia yang
digunakan di dalam proses pengolahan (sianida, merkuri, dan asam kuat) bersifat
hazard. Pengangkutan, penyimpanan, penggunaan dan pembuangannya diawasi ketat
untuk mencegah terjadinya gangguan terhadap kesehatan dan keselamatan serta
mencegah pencemaran ke lingkungan.
·
Penampungan Pengolahan dan Pembuangan Tailing. Pengelolaan
tailing merupakan salah satu aspek kegiatan pertambangan yang menimbulkan
dampak lingkungan sangat penting. Kegagalan desain dari sistem penampungan
tailing akan menimbulkan dampak yang sangat besar. Pengendalian pembuangan
tailing harus memperhatikan pencegahan timbulnya rembesan, pencegahan erosi
oleh angin, dan mencegah pengaruhnya terhadap fauna.
·
Pembangunan infrastruktur jalan akses dan pembangkit
energi
·
Pembangunan Pemukiman Karyawan Dan Base Camp Pekerja.
·
Decomisioning dan Mining Closure. Setelah
ditambang dan cadangan bijih dianggap tidak ekonomis lagi, tambang harus
ditutup. Penutupan tambang ini banyak yang tidak mempertimbangkan aspek
lingkungan sehingga tambang ditelantarkan dan tidak ada usaha untuk
rehabilitasi. Pada prinsipnya kawasan atau sumberdaya alam yang dipengaruhi
oleh kegiatan pertambangan harus dikembalikan ke kondisi yang aman dan
produktif melalui rehabilitasi. Kondisi akhir rehabilitasi dapat diarahkan
untuk mencapai kondisi seperti sebelum ditambang atau kondisi lain yang telah
disepakati. Reklamasi seharusnya merupakan kegiatan yang terus menerus dan
berlanjut sepanjang umur pertambangan.
Penutupan
tambang harusnya dapat menciptakan kondisi semacam ini
Meski
begitu kerap dipertanyakan bagaimana monitoring AMDAL itu sendiri dan dapat
ditebak kesan perubahan fisik tambang yang negatif makin kental. Apalagi
tambang dikenal memiliki banyak pit sehingga reklamasi dilakukan setelah
perpindahan pit.
Pradoks
bila kita menatap PETI (Penambang Tanpa Izin) yang kerap dipicu oleh
penyalahtafsiran otonomi daerah maupun lemahnya law enforcement yang menjadi
sumber kerusakan lingkungan extra parah. Hanya saja banyak NGO yang kerap
memperjuangkan isu lingkungan tidak memberikan perhatian besar atas aktivitas
PETI ini dengan dalih marginalitas dan menarik simpati masyarakat.
Aktvitas PETI Batubara, sarat dengan konflik
kepentingan dan merusak lingkungan
Pertambangan Sesuatu yang Merugikan
Kritisi
tambang menganggap entitas ini merugikan yang didasari kebijakan nasional yang
lemah. Deplesi SDA dikhawatirkan tidak menyisakan untuk generasi mendatang
sehingga banyak yg meminta hasil eksploitasi kembali ke daerah dalam bentuk
pembangunan. Dan bersama semangat euforia otonomi daerah, pengembalian ke
daerah ini banyak yang menjadikan radja-radja kecil dan justru memperburuk
iklim pertambangan itu sendiri. Good governance adalah salah satu kunci untuk
keberhasilam optimasi SDA tambang. Apabila belum dilakukan baik, maka belum memberikan
dampak positif yang signifikan kepada masyarakat lokal dan lingkungan.
Kemudian
hasil dari belum tergapainya industri pengolahan mineral domestik (baca
smelter) mengakibatkan produk Indonesia banyak dijual dalam bentuk barang
mentah dan hanya menghasilkan sedikit revenue. Lebih jauh lagi Indonesia
mengimpor produk jadi barang tambang dengan harga jauh lebih tinggi. Akan
berbeda ceritanya jika pengolahan tersebut sudah ada di dalam negeri.
Smelter,
memberikan nilai tambah bagi produk pertambangan
Ada pula
anggapan bahwa pengembangan sumberdaya alam lebih sedikit mendatangkan manfaat
daripada penambangan yang dipicu oleh korelasi penambangan versus ketersediaan
sumberdaya di ekosostem. Kemudian ada pula biaya eskternal yang diinteralkan
(internalisasi eksternal cost) dan kegagalan pasa di mata konservasionis.
Tumpang Tindih dengan
Hutan Lindung.
Jika
memang keterdapatan alami mineral itu ada di kawasan remote, di bawah tanah dan
terletak di hutan lindung, apakah kita bisa merubahnya..?? keterdapatan
cadangan itu adalah given by nature mengingat pembentukan mineral terkait
dengan aktivitas vuulkanisme dan proses geologi yang sangat lama.
Lantas
apabila ada yang meminta bahwa pertambangan dienyahkan dari hutan lindung,
apakah itu masuk akal? Lalu bagaimana dengan perizinan? Dalam sistem land
tenure di Indonesia diakui atau tidak masih lemah dalam perizinan. Sudah jelas
bahwa Undang-undang Agraria menjadi payung hukum untuk regulasi pertanahan,
tetapi timbul regulasi yang tumpang tindih. Contohnya adalah penetapan wilayah
hutan lindung setelah dikeluarkanya perizinan Kontrak Karya dan Kuasa
Pertambangan.
Lalu kriteria
penetapan hutan lindung yang terkadang tidak disepakati oleh banyak pihak
dimana hanya berdasar pada parameter kelerengan (menyebabkan kawasan gunung api
atau lahan dengan kemiringan lereng 40%> dianggap hutan lindung). Ada dilema
ketika ada keinginan konservasi hutan lindung yang menyangga sistem kehidupan
dengan usaha mengambil manfaat dari bahan tambang. Bisa ditebak opini publik
yang muncul adalah penambangan mengganggu hutan lindung. Pandangan lain dari
kaum konservasionic hutan lindung selain sebagai penyangga sistem adalah
kawasan dengan kekayaan biodiversity tinggi sehingga penggunaan kawasan ini
sebagai daerah pertambangan akan merugikan negara.
Penetapan
huan lindung atas dasar hewan endemik adalah perlu
Perlu
digarisbawahi bahwa batasan hutan lindung didefenisikan dalam UU No. 41/1999
lebih didasarkan pada aspek teknis morfologi daripada aspek fungsi hutan itu
sendiri dan tidak memuat unsur keragaman hayati tersebut. Akibatnya, sering
kawasan yang didefinisikan sebagai hutan lindung justru tak memiliki karakter
sebagai sebuah kawasan penyangga sistem kehidupan. Banyak ditemukan kawasan
yang sama sekali tidak memiliki keragaman hayati, hanya ditumbuhi ilalang,
dinyatakan sebagai hutan lindung karena memenuhi batasan teknis sebuah hutan
lindung. Karena itu, sering benturan antara sektor pertambangan dan lingkungan
ini terjadi tidak pada tataran pemahaman yang sama, dan sulit ditemukan
ujungnya.
Penambangan
Menimbulkan Konflik Sosekbud
Secara
alami, aktivitas pertambangan akan meberi dampak pada nilai budaya aktivitas
ekonomi dan dampak sosial yang kompleks. Mulai dari tahap ganti untung lahan,
perubahan tingkat kesejahteraan sebagian orang dan harapan untuk bekerja di
peruahaan yang high tech dan padat modal.
Masuknya
tenaga kerja non pribumi dan minimnya penerimaan untuk tenaga lokal, perubahan
pola hidup masyarakat tambang yag cenderung konsumtif bertemu dengan penduduk
lokal dengan tingkat kesejahteraan rendah. Teknologi maju bertemu dengan
masyarakat sekitar yang notabene tingkat pendidikan kurang, keseluruhan ini
tentunya akan menimbulkan kesenjangan.
Dapatlah
kita menyebut mereka yang datang dengan pertambangan sebagai the
have dan masyrakat sekitar sebagai the haven’t. Makin lebar kesenjangan
tentunya gesekan antara the have dengan the haven’t ini makin tinggi dan
potensi memicu konflik juga makin besar. Untuk meredam kondisi ini banyak
digulirkan program Community Development (CD)yang tidak jarang melahirkan hasil
yang kontra-produktif.
Masyarakat
Lingkar Tambang, harus sejahtera seiring perkembangan perusahaan tambang
Adanya
orientasi yang tidak proporsional terhadap kebutuhan keamanan perusahaan serta
tiadanya perencanaan yang memadai, membuat upaya untuk memandirikan masyarakat
cenderung melahirkan ketergantungan yang semi-permanen. Persoalan sosial lain
yang sering muncul adalah ketika kawasan pertambangan tersebut berada dalam
suatu wilayah adat suatu masyarakat, dimana masyarakat tersebut tidak
diikutsertakan dalam proses pengambilan keputusan pembukaan tambang tersebut
(prior informed consent).
Dampak Lingkungan
Kebanyakan
dampak ini dari hasil tailing aktivitas pertambangan, penggunaan bahan kimia
tak aman serta pasca tambangnya. Proses ekstraksi mineral akan menghasilkan
tailing padat dan cair yang akan semakin besar volumenya seiring penambahan
produksi. Untuk tambang terbuka, besarnya lahan untuk menempatkan tailing
terkadang menjadi problema besar terlebih bagi tambang di lokasi rawan gempa.
Adanya
kelalaian pihak pertambangan dalam memonitor atau memantau perubahan dampak
lingkungan yang terjadi akibat proses penambangan itu sendiri, juga merupakan
faktor pemicu. AMDAL terkadang tidak disosialisaikan bahkan dianggap sakral
sehingga tidak direvisi. Partisipasi publik diabaikan dan menyebabkan isu
lingkungan sangat mudah tersulut.
Pembuangan
tailing di sepanjang sungai Ajkwaa oleh PTFI, meskipun telah mendapat izin,
tetapi dengan volume tailing yang besar, dikhawatirkan menimbulkan masalah
lingkungan. Terlebih izin untuk pemanfaatan tailing sulit untuk diterbitkan
oleh pemerintah sehingga usaha minimasi limbah menjadi terhambat.
Lalu kasus
Teluk Buyat dimana Newmont Minahasa Raya membuang tailingnya (Sub-Marine
Tailing Placement) di palung di Teluk
Buyat. NMR telah mengantongi izin dan melakukan detoksifikasi tailing sehingga
secara fisika kimia tidak mencemari lingkungan, dan ini sudah dierhitungkan
dalam AMDAL. Sayangnya sosialisasi yang lemah membuat pembuangan tailing ini
rawan isu lingkungan yang mudah dipolitisasi.
Meskipun
secara scientific, konsentrasi logam berat di bawah baku mutu, persoalan ini meluas
pada kualitas air tanah pemukiman penduduk yang menunjukkan adanya kandungan
logam berat. Ditambah politisasi dan masuknya berbagai NGO dengan mengendarai
proses pendampingan dan penelitian yang membuat makin rumit dan membuat
pertambangan sebagai entitas yang disalahkan .
Skematik
Pembuangan Tailing Bawah Laut (Supangat, 2005)
Bukankah
situasi ini menunjukkan bahwa Indonesia mesti memperbaiki regulasi sektor
pertambangan terhadap masyarakat sekitar dan lingkungan. AMDAL cenderung
diangggap sebagai bagian formalitas untuk mendapatkan izin tahapan selanjutnya.
Apabila suatu saat AMDAL ini digugat, justru pertambanganlah yang akan merugi.
Diakui
atau tidak, sejak era otnomi daerah, pedelegasian kewenangan lebih banyak di
daerah dan menjadi trigger berbagai macam stigma buruk pertambangan. Perizinan
dikeluarkan oleh daerah mengalahkan regulasi yang dikeluarkan pusat atau lebih
tinggi lagi. Tumpang tindih regulasi terkadang menjadi hal yang lumrah dan
menimbulkan disharmonisasi antara perusahaan dengan pemerintah daerah. Euforia tonomi
yang cenderung berlebihan melahirkan anggapan bahwa perusahaan-perusahaan telah
“mengambil“ sumberdaya tambang yang menjadi hak daerah.
Pemerintah
daerah merasa lebih berhak untuk memanfaatkan SDA tambang sehingga terkesan
mengatur regulasi semau Pemda baik dengan peraturan yang ambigu maupun
pemaksaan. Ditelisik lebih jauh lagi, Pemda “menambang” mineral dengan nilai
tangibel yang lebih rendah. Bahkan di beberapa daerah, pemanfaatan mineral
berantakan mulai tumpang tindih KP, munculnya PETI dengan status legal,
kerusakan lingkungna yang memilukan hingga perebutan “kue” dari pajak dan royalti.
PETI,
menimbulkan konflik hukum dan terkesan menjadi legal oleh pemerintah daerah
Disamping
itu, transisi Otonomi Daerah masih banyak menimbulkan semangat primordialisme
yang kental, misalnya, isu putra daerah dan non-putra daerah. Hal itu cenderung
berdampak pada “kepemilikan“ daerah terhadap sumberdaya alam yang terdapat di
daerah tersebut. Kepentingan pusat dan daerah menjadi didikotomikan dan lepas
dari kerangka kepentingan nasional yang lebih luas.
No comments:
Post a Comment