Wednesday, December 12, 2007

Kebijakan Pengembangan Sumberdaya Mineral

Sektor pertambangan adalah sektor yang sangat kompleks karena melibatkan berbagai industri yang terintegrasi. Karakteristik industri mineral sangat berbeda dengan industri lain sehingga investasi di sektor ini memang membutuhkan iklim kondusif. Beberapa karakteristik sektor pertambangan adalah:

• Membutuhkan modal besar baik tahap eksplorasi maupun produksi,
• Resiko investasi yang tinggi dengan tingkat keberhasilan produksi hanya 5%,
• Penggunaan teknologi maju
• Industri jangka panjang yang tidak quick yielding
• Dampak yang besar terhadap lingkungan sosial dan masyarakat

Karena keterbatasan diatas, Indonesia perlu menyusun kebijakan pengembangan sektor pertambangan untuk mendorong perekonomian nasional. Kebijakan ini dapat dituangkan dalam bentuk mineral policy yang merupakan strategi dalam rangka pengelolaan bahan galian milik bangsa Indonesia, untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat dengan tetap memperhatikan berbagai kepentingan yang ada pada kurun waktunya”.

Berbagai kepentingan yang tercakup dalam mineral policy diatas antara lain kepentingan nasional, masyarakat setempat, pemerintah daerah, pengusahaan, konservasi bahan galian, kepentingan generasi mendatang dan kepentingan terhadap perlindungan lingkungan hidup dan fleksibel sesuai dengan kebijakan umum nasional dan perkembangan berbagai aspirasi masyarakat serta kepentingan nasional yang disepakati.

Kebijakan nasional pengembangan sumberdaya mineral ini ditujukan untuk dapat menggeser paradigma (mindset) Indonesia adalah negara yang ramah terhadap bisnis dan menghargai pertumbuhan ekonomi, keberlanjutan lingkungan dan peningkatan kehidupan sosial. Beberapa kondisi penting yang meliputi keadaan investasi pertambangan di Indonesia saat ini adalah sebagai berikut:

1. Indeks kepercayaan yang rendah (kepastian usaha)
Menurut laporan Bank Dunia, Indonesia relatif memiliki tingkat kepercayaan dari investor yang lebih rendah dari Thailand dan Vietnam. Rendahnya tingkat kepercayaan investor ini mengakibatkan munculnya disinsentif yang sangat besar bagi investor terutama sektor pertambangan yang relatif memakan waktu yang lama serta risiko yang besar.

2. Iklim usaha yang buruk menyusul krisis sejak pertengahan 1997
Walaupun potensi profit yang mungkin dihasilkan besar, investor tidak akan tertarik untuk berinvestasi pada suatu negara yang tidak memiliki iklim usaha yang kondusif. Banyak hal yang mempengaruhi iklim investasi ini, mulai dari aktivitas politik, keamanan, regulasi yang tidak endukung hingga konflik dengan masyarakat dan pemerintah.
Indonesia dikenal memiliki lingkungan bisnis yang relatif kurang menarik dibanding bisnis regional dan global. Rendahnya rangking Indonesia ini disebabkan ketidakstabilan kondisi politik dan keamanan, lemahnya penegakan hukum, dan inkonsistensi peraturan.

3. Entry cost relatif mahal

Salah satu penyebab rendahnya daya saing investasi di Indonesia adalah tingginya entry cost. Hal ini karena banyaknya pungutan bisnis melalui berbagai peraturan yang dibuat oleh pemerintah pusat dan daerah yang pada intinya adalah menambah beban biaya. RRT (Republik Rakyat Taiwan) telah menjalankan strategi menciptakan keunggulan kompetitif lewat upaya menciptakan biaya serendah mungkin sehingga harga jualnya pun akan menjadi kompetitif. Berbagai upaya dilakukan oleh RRT untuk memerangi korupsi dan berbagai pungutan yang menimbulkan ekonomi biaya tinggi.

Awalnya RRT unggul di sektor tenaga kerja dengan upahnya yang rendah. Namun belakangan ini upah buruh mereka jauh berada di atas upah buruh di Indonesia. Perusahaan RRT tidak masalah memberikan upah tinggi karena perusahaan tidak harus memberikan layanan sosial, kesehatan dan pendidikan karena biaya sosial buruh ditanggung oleh pemerintah termasuk pesangon. Biaya operasi juga rendah juga dikarenakan peningkatan produktifitas atau Cost Reduction Program (CRP) yang dilakukan konsisten.

Kondisi sebaliknya terjadi di Indonesia, upaya untuk meningkatkan daya saing menemui banyak kendala. Studi yang dilakukan oleh World Bank (2004) menyajikan perbandingan yang jelas tentang jumlah prosedur dan biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan untuk memulai usaha di beberapa negara Asia. Tabel ini memperlihatkan jumlah prosedur dan entry cost di beberapa negara Asia pada tahun 2004. Jika dibanding dengan negara-negara lain di Asia, Indonesia tidak begitu menarik dikarenakan durasi yang sangat lama dan biaya dalam persen PNB perkapita yang jauh lebih besar.

Tabel Jumlah Prosedur dan Entry Cost
Indonesia Malaysia Thailand Filipina China
Jumlah Prosedur 11 7 8 14 12
Durasi (Hari) 158 56 45 62 72
Biaya (US$) 160 921 134 150 111
Biaya (% PNB/kapita) 28 27 7 14 13

4. Angka Korupsi
Faktor pengembangan institusi berpengaruh besar terhadap pertumbuhan investasi sektor pertambangan seperti mengurangi korupsi pada sektor pemerintahan Indonesia. Tingkat korupsi di Indonesia jauh lebih tinggi dibanding negara lain. Persepsi korupsi di Indonesia jelas menimbulkan disinsentif sangat besar bagi investasi industri mineral, mengingat kuatnya regulasi yang mengatur sektor industri mineral ini. Indonesia adalah negara kedua terkorup di Asia atau peringkat 12 setelah Philipina sedang negara “terbersih” dari korupsi adalah Singapura.

5. Kerumitan birokrasi
Dibanding dengan negara-negara ASEAN seperti Malaysia, Filipina dan Thailand, perijinan untuk memulai usaha di Indonesia jauh lebih rumit dan mahal. Studi World Bank seperti disebutkan sebelumnya menunjukkan perijinan mulai usaha baik pusat maupun daerah di Indonesia harus melalui 12 prosedur dan membutuhkan waktu 158 hari (5 bulan) dengan biaya sebesar 28 persen dari per capita income. Jauh lebih rumit daripada perijinan di Malaysia, Filipina dan Thailand yang lebih cepat dan lebih murah.

6. Tumpang tindihnya kewenangan pengelolaan bahan galian
Ini terutama terkait dengan tmpang tindihnya regulasi sektor pertambangan dengan Kehutanan dan Lingkungan Hidup. Karena 90% dari ekspllorasi greenfields ternyata tercover di hutan lindung sehingga tidak dapat berjalan.