Saturday, December 25, 2010

Tentang Sub Marine Tailing Placement (STP).. ( I )

(Terima kasih untuk Achmad Zulkarnain atas inspirasi dan sharing ilmunya selama ini..)







Pendahuluan

Beberapa waktu lalu sering disebut istiah pembuangan taling bawah laut atau yang banyak diperhalus sebagai penempatan tailing bawah laut (sub marine tailing placement/STP) terkati pembuangan limbah tambang PT. Newmont Minahasa Raya (NMR). PT. NMR adalah perusahaan pertambangan di Sulawesi Utara tepatnya di kecamatan Ratatotok, Kabupaten Minahasa Selatan berdekatan dengan Teluk Buyat.

Kesepakatan penandatanganan Kontrak Karya (KK) antara Pemerintah Indonesia dengan Newmont Corp dilakukan pada tahun 1986 dilanjutkan kemudian dengan ditemukannya deposit emas Minahasa di Messel, Terusan Nibong dan beberapa tempat lainnya. Kerangaka Acuan ANDAL telah disetujui oleh pemerintah pada tahun 1993, sedangkan Dokumen AMDAL telah disetujui pada tahun 1994. Lokasi penambangan PTNMR seperti tertera pada gambar berikut:




Sumber: Laporan Penutupan Tambang PTNMR, 2004


NMR melakukan aktivitas penambangan bijih emas dengan system tambang terbuka (open pit) pada cadangan porfiri, yang kemudian diteruskan dengan pengolahan bijih emas menggunakan metode heap leach dan sianidasi (leaching). Limbah yang dihasilkan a.k.a tailing kemudian dibuang ke dasar laut teluk Buyat atau lebih tepatnya di tempatkan ke dasar palung yang terdapat di teluk Buyat tersebut.

Aktivitas penempatan tailing inilah yang kemudian menjadi perdebatan banyak pihak hingga sempat muncul isu pencemaran di Teluk Buyat oleh merkuri dan arsen akibat aktivitas pembuangan ini. Sampai saat ini telah dilakukan banyak penelitian baik oleh akademisi, praktisi maupun lembaga pemerintah dan luar negeri terkati isu tersebut. Beberepa penelitian bahkan menunjukkan paradoksitas hasil. Tetapi dari banyak penelitian itu dapat diambil satu koneksitas bahwa aktivitas manusa berdampak besar bagi kestabilan lingkungan.

Tulisan ini dibuat bukanlah untuk menjustifikasi isu tersebut melaikan hanya sebagai penambah wawasan. Meskipun begitu, tetap artikel ini mengedepankan sisi ilmiah, asumsi yang digunakan berlandaskan fakta dan diambil dari postulat science. Fakta dan argumentasi yang tertulis di sini berasal dari dua sumber, yaitu laporan dari PT. NMR dan laporan dari Tim Terpadu Kementerian Lingkungan Hidup (Timdu KLH).

Sebenarnya masih ada tiga laporan lain yang perlu dipertimbangkan karena memuat penelitian yang serupa dengan hasil sedikit berbeda yaitu dari CSIR Australia, Japan Institut of Minamata Desease dan Tim Forensik Puslabfor POLRI. Namun karena hanya dua dokumen ini yang saya punya, maka tidak ada salahnya comparing dilakukan dari dua sumber diatas. Namun tetap penilaian ada di tangan kita-kita sendiri.


Aktivitas Pre STP


Dalam aktivitas penempatan limbah atau tailing ini, NMR sbelumnya harus melakukan dulu beberapa aktivitas pre STP. Aktivitas tersebut adalah detoksifikasi. Detoksifikasi tailing ini adalah proses untuk menurunkan kadar kandungan zat berbahaya baik yang terdapat secara alami dari kondisi batuan awal maupun hasil dari proses pengolahan emas.

Pengolahan lumpur tailing diperlukan sebelum pembuangan tailing di bawah laut, ini dilakukan mengingat karakteristik bijih dan proses yang berlangsung dalam pabrik pengolahan, maka terjadi peningkatan kadar sianida, Arsen, tembaga, merkuri dan antimoni dalam lumpur tailing. Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa batuan bijih di sini memang telah mengandung merkuri dan arsen alami.

Sebelumnya, pengolahan emas dilakukan dengan proses sianidasi (dulu dikenal sebagai proses Merryl Crowe) dimana batuan bijih yang dihancur dan digeruskan dimasukkan ke dalam larutan sianida sehinga partikel emas dan perak terlarut dalam larutan. Larusan ini yang kembali diolah dengan karbon aktif dan selanjutnya elektrowinning sehingga membentuk bullion emas perak. Tailing adalah material yang tidak terikut dalam pembentukan emas dan perak sehingga menjadi bahan terbuang atau limbah.

Setelah dilakukan proses detoksifikasi in, maka konsentrasi atau kadar logam dan zat berbahaya di dalam tailing telah diturunkan di bawah Nilai Ambang Batas atau threshold limit. Secara logika jika telah di bawah NAB maka tailing ini dinyatakan aman untuk ditempatkan di palung laut.

Tailing sendiri memiliki karakteristik komposisi sekitar 50% lumpur batuan dan 50% air. Untuk tailing PTNMR, diketahui bahwa komposisinya adalah lempung silika, 45-50% padatan dengan densitas kurang lebih 1,336 kg/m3 pada suhu 40oC sampai 50oC. Padatan tailing terdiri atas partikel yang sangat halus, lebih dari 93 % partikel (93% partikel padat dalam tailing berukuran lebih kecil dari 74 mikron, sisanya lebih besar dari 74 mikron) tersebut akan berukuran lebih halus dari 74 mikron.

Tailing sebagai limbah, dalam istilah manajemen lingkungan, limbah diartikan sebagai suatu bahan yang terbuang atau dibuang dari sumber termasuk aktivitas manusia maupun proses alam yang belum memiliki nilai ekonomis (Satriargo, 1996). PP No. 85/1999 tentang Perubahan Atas PP No. 18/1999 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun, menyebutkan bahwa Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun, disingkat Limbah B3, adalah sisa suatu usaha dan/atau kegiatan yang mengandung bahan berbahaya dan/atau beracun yang karena sifat dan/atau konsentrasinya dan/atau jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung, dapat mencemarkan dan/atau merusakkan lingkungan hidup, dan/atau dapat membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, kelangsungan hidup manusia serta makhluk hidup lain.

Environmental Protection Law 1979 menyatakan bahwa yang menjadi prioritas utama konservasi lingkungan adalah usaha preventif. Prinsip ini didasarkan pada urgensi bahwa lingkungan itu mudah untuk dicemari tetapi sulit untuk dikontrol. Oleh karena itu pengendalian dampak operasi pelindihan dan penempatan tailing bawah laut PTNMR ini harus terencana secara menyeluruh.

Dayadukung lingkungan (carrying capacity) adalah kapasitas atau kemampuan ekosistem untuk mendukung kehidupan organisme secara sehat sekaligus mempertahankan produktivitas, kemampuan adaptasi dan kemampuan memperbaharui diri (Satriago, 1996). Jadi menurut pengertian ini, dayadukung akan membiarkan mahluk hidup di bisofer untuk bisa memperbanyak katurunan dan mempertahankan kemampuan adaptasinya.

Proses pembuangan tailing bawah laut PTNMR diperkirakan telah menimbulkan penurunan dayadukung lingkungan sehingga kemampuan ekosistem untuk mempertahankan produktivitas dan mendukung kehidupan organisme mengalami penurunan.

Proses pembuangan tailing ini dilakukan dengan teknik piping under water, dimana tailing tersebut dibuang di bawah suatu lapisan yang dinamakan lapisan termoklin (Adalah zona horizontal di suatu dalam lapisan tubuh air yang suhunya menurun secara drastis seiring bertambahnya posisi di bawah permukaan air. Pada lapisan termoklin, massa air dibawah tidak bercampur dengan massa air di atasnya karena adanya perbedaan kerapatan jenis air). Lapisan thermoklin ini dapat memiliki tebal hingga puluhan meter (Supangat, 2005). NMR menyatakan metode ini aman karena adanya lapisan termoklin yang dapat menahan tailing agar tetap mengendap dan tidak naik ke permukaan dan mengkontaminasi organisme diatasnya.



 
Sumber: Supangat, 2005



Gambar Skematik Pembuangan Tailing Bawah Laut

Mulut pipa pembuangan tailing ini ditempatkan pada lokasi  82 m dibawah permukaan laut dan diyakini telah ada di bawah batas zona termoklin sehingga tidak akan terjadi upwelling (gerakan massa air secara vertikal dari lapisan dalam ke permukaan yang membawa material bawah bergerak ke lapisan atas. Daerah upwelling harus dihindari sebagai sebagai daerah pembuangan tailing). Hal ini telah telah disetujui oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Departemen Pertambangan dan Energi (waktu itu).







The Effects

Khusus bagi masyarakat di sekitar Teluk Buyat, dampak ini mesti mendapat perhatian khusus. Mengingat ada dugaan telah terjadi penurunan kualitas lingkungan dalam bentuk pencemaran tailing, dan terjangkitnya masyarakat setempat oleh “penyakit aneh”. Asumsi seperti ini yang mesti diuji kebenarannya oleh suatu kajian ilmiah, bagaimana hubungan suatu aktivitas dapat berpengaruh pada kejadian yang ditimbulkan.

Sebelum lebih jauh, mari kita lihat deskripsi Teluk Buyat dan sekitarnya. Teluk Buyat sebenarnya adalah bagian dari Laut Maluku yang ada pada daerah laut dalam (200 m>). Dinamakan Teluk Buyat karena teluk ini terletak di dekat desa Buyat Pante dan bermuara pula Sungai Buyat. Teluk Buyat ini terletak di perbatasan Kabupaten Minahasa Selatan dengan Bolaang Mongondow.

Teluk ini memiliki panjang 1,3 km dan lebar 0,45 km dengan luas perairan kira-kira 57,5 Ha. Di bagian kanan Teluk Buyat bermuara sungai Buyat yang memisahkan Kabupaten Minahasa Selatan dengan Bolaang Mongondow. Di kiri dan kanan bagian dalam teluk sampai ke arah Tanjung terdapat fringing reef.

Di Teluk Buyat inilah didapati Pantai Buyat dan dusun Buyat Pante. Tanjung Totok yaitu semenanjung yang letaknya bersisian dengan Teluk Buyat dan memiliki panjang kira-kira 3,4 km mengarah ke Timur. Sepanjang sisi Tanjung Totok ini juga ditemui fringing reef.

 

 
 
Gambar Perairan Teluk Buyat


Dalamnya Teluk Buyat berkisar antara 40–70 m dan letak dalamnya ini meningkat tajam dari garis pantai sampai sekitar 1 km lepas pantai (pada kedalaman 90 m), kemudian mendatar sesudahnya. Bentuk topografi bawah laut yang sangat berbeda adalah tonjolan bukit yang memanjang dengan arah Timur Laut-Barat Daya, di sebelah Timur Teluk Buyat, yang adalah perpanjangan dari semenanjung Ratatotok Bentuk ini menyebabkan dalamnya dasar laut yang relatif lebih dangkal di batas Timur Teluk Buyat. Sudut miring dasar Teluk Buyat berkisar dari kurang 5% di tengah Teluk, sampai lebih besar dari 70% di wilayah sempit berjarak 200 m dari garis pantai.

Sumber: Laporan Penutupan Tambang PTNMR, 2004



Gambar Penampang Kontur Kedalaman di Teluk Buyat (kontur 10 m)




Organisme yang terdapat di zona pembuangan tailing adalah phytoplankton, zooplankton (plankton ini memiliki kecepatan reproduksi tinggi, menjadi dua kali jumlah awal hanya beberapa jam atau beberapa hari), bentos (crustacean, ikan kecil, moluska cangkang dan cacing polichaeta) dan beberapa jenis ikan karang.

Bila dirunut, organisme yang paling sensitif terhadap pembuangan tailing bawah laut ini adalah organisme yang mengalami kontak langsung dengan sedimen, hewan yang mencari makan dan hidup di atas sedimen tailing (Organisme bentos seperti cacing, kerang-kerangan dan ikan bintang yang hidup dan mencari makan di dasar laut), serta ketiga adalah koral dan organisme yang hidup di batu-batu karang seperti Feather Stars, Juvenile, Dardanus sp dan lainnya.

Bersambung