Friday, August 12, 2011

Good Mining Practice (Bagian I)

Peradaban manusia sekarang ini tak lepas dari peran input hasil sumber daya alam terutama pertambangan, dan pertambangan erat dengan peningkatan kesejahteraan manusia. Tambang dan sumberdaya mineral tidak dapat dilepaskan dari lingkungan pembentukannya di bumi. Daerah dengan tatanan geologis tertentu akan menghasilkan cadangan mineral yang ekonomis. Dan bagi daerah yang kaya, kehadiran cadangan ini dapat menjadi tulang punggung pendapatan asli daerah.

Pertambangan memang berpotensi menjadi agen perubahan (development agent) karena umumnya tambang berlokasi di daerah remote yang akhirnya dapat membuka akses dan meningkatkan infrastruktur. Lebih jauh pertambangan haruslah dijalankan secara berkelanjutan karena sifatnya yang temporary dan mengambil sumber daya yang tak pulih (un renewable resources). Oleh karenanya pemulihan lahan yang terganggu harus dioptimalkan sehingga menjadi lahan yang produktif. Selain itu, manfaat dari aktivitas pertambangan perlu di konversi ke dalam bentuk lain (transformasi manfaat) agar pembangunan tetap dapat berlanjut dan tetap memberikan kesejahteraan di daerah sekitarnya.



PT. Freeport Indonesia, salah satu tambang di daerah remote

Lantas apa maksud dari keberlanjutan pemanfaatan sumber daya alam pertambangan? Pemanfaatan yang berkelanjutan adalah memanfaatkan seefisien mungkin sumber daya mineral melalui peningkatan dan konversi nilal tambah dengan mengedepankan nilai lingkungan dan keadilan sosial dan tetap memberikan kesempatan pada generasi mendatang untuk menikmati sumber daya mineral tersebut.

Kemudian konsep pemanfaatan mineral berkelanjutan ini akan berlandaskan pada isu demokrasi, keadilan dan pemerataan yang sifatnya lintas generasi. Suatu konsep yang melibatkan seluruh stake holders. Ini juga konsep yang menekankan pentingnya pengelolaan keteknikan, sosial kemasyarakatan, pendekatan lingkungan yang terpadu dan kesemua hal ini dapat dilebur untuk diterapkan dalam praktek pengelolaan tambang yang benar (Good Mining Practice).

 
Pembuatan jenjang dan reklamasi lahan eks tambang, implementasi good mining practice

Good Mining Practice dapat dijelaskan secara gamblang sebagai aktivitas pertambangan yang memenuhi kriteria, kaidah maupun norma-norma menambang yang tepat sehingga pemanfaatan mineral memberikan hasil optimal dan mengurangi dampak negatif yang terjadi. Beberapa ciri Good Mining Practice antara lain:

1. Penerapan prinsip konservasi dan nilai lindung lingkungan

2. Kepedulian terhadap K3 (Kesehatan dan Keselamatan Kerja) terutama bagi pekerjanya

3. Meciptakan nilai tambah bagi pengembangan wilayah dan masyarakat sekitar

4. Kepatuhan terhadap hukum dan perundangan yang berlaku

5. Menggunakan standarisasi keteknikan dan teknologi pertambangan yang tepat dalam aktivitasnya

6. Pengembangan potensi dan kesejahteraan masyarakat setempat terutama dari optimalisasn dan konversi pemanfaatan mineral

7. Menjamin keberlanjutan kegiatan pembangunan setelah periode pasca tambang (mine closure)

8. Memberikan benefit yang memadai bagi investor

 
 
Keselamatan dan Kesehatan Kerja, menjadi penting dalam aktivitas tambang

Kemudian siapa yang harus melaksanakan Good Mining Practice ini..? Seharusnya seluruh perusahaan tambang wajib melakukan Good Mining Practice sebagai inisiatif global. Karena ini akan menjadi parameter kepatuhan  dan integritas perusahaan sebagai operator pertambangan. Implementasi Good Mining Practice ini juga merupakan repectivitas tehadap lingkungan, masyarakat serta Negara.

Penghargaan Lingkungan dan Pasca Tambang

Tak ada yang menolak anggapan bahwa aktivitas dasar pertambangan itu sifatnya destruktif, merubah lanskap lahan, memotong vegetasi di permukaan, pembuangan tailing, melakukan countouring hingga penggalian jenjang. Tekanan aktivitas pertambangan yang begitu besar terhadap lingkungan untuk beberapa hal dan kondisi memang patut dikoreksi terlebih mengingat masih adanya persepsi kuno tentang tambang terkait dengan sifat eksploitatifnya (baca kolonialisme) yang diturunkan oleh pemerintah Hindia Belanda. Masyarakat juga awam terhadap aktivitas pertambangan secara keseluruhan.

 
Penambangan timah zaman Belanda

Persepsi yang keliru inilah yang menimbulkan penolakan atau ketidaksukaan publik. Diakui atau tidak, kesalahanpersepsian ini turut mempengaruhi kebijakan di sektor lain. Padahal sebagai aktivitas utama manusia, pertambangan justru mampu menjadi pengerak ekonomi masyarakat di daerah terpencil mengingat karakteristik usaha pertambangan yang memang berada di lokasi remote dan sifatnya membuka akses infrastruktur. Pertambangan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat berperan sebagai agen penggerak utama (prime mover) pembangunan local.

Terkait dengan hal ini, segala aktivitas pertambangan yang dapat menyebabkan keresahan, termasuk kerusakan lingkungan yang mungkin terjadi bahkan potensi masyarakat tergantung pada aktivitas tambang setelah tambang berakhir harus dicegahdan ditanggulangi. Penghargaan terhadap lingkungan dan masyarakat atas aktivitas tambang sudah bergulir dan harus menjadi trend terbaru dalam mewujudkan sustainable development.

Permasalahan lingkungan di pertambangan sebenarnya sdah diantisipasi dengan sangat baik melalui kewajiban perusahaan untuk melakukan AMDAL sebelum aktivitas eksploitasi berjalan. AMDAL adalah dokumen perencanaan lingkungan yang terdiri dari dokumen Studi Amdal, Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL), Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL), Dokumen ANDAL yang kesemuanya itu harus mendapat legitimasi dari pemerintah pusat, daerah, perusahaan dan instansi terkait langsung. Sebenarnya tujuan utama dari penyusunan dokumen AMDAL ini adalah untuk membuat keputusan operasional bagaimana aktivitas tambang saat disusun, saat beroperasi dan saat pasca tambangnya. Dan AMDAL bukanlah kitab suci yang sacral dan tak dapat diubah. AMDAL seharusnya bersifat open source sehingga publik berhak tahu bagaimana dan apa yang akan terjadi di aktivitas tambangnya.

Selain itu, perusahaan diwajibkan membuat Rencana Tahunan Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan (RTPKL) yang harus mendapat persetujuan dari pemerintah. Dan terkait dengan reklamasi, perusahan menyerahkan dana jaminan reklamasi sebagai kepastian akan perbaikan atas perubahan lanskap yang terjadi sehingga dampak negatif dapat dieliminasi bahkan peningkatan kualitas lingkungan. Komitmen ini merupakan bentuk integrasi tambang dengan lingkungan.

Proses reklamasi juga dapat dikawal oleh public. Banyak perusahaan sekarang ini yang justru memunculkan reklamasi mereka untuk dikonsumsi umum. Selain bentuk kepatuhan terhadap aturan lingkungan ini dapat juga berperan untuk pencitraan. Lingkungan sudah menjadi isu global sekarang ini, sehingga perusahan yang peduli terhadap lingkungan adalah perusahaan yang memiliki visi kedepan dan etika bisnis yang baik.

 
 
Reklamasi, penghargaan lingkungan oleh tambang

Gencar-gencarnya isu sustainable development belakangan ini juga turut memacu menaiknya kebijakan pasca tambang, yaitu kebijakan untuk memastikan setiap kegiatan pertambangan memiliki konsep penutupan tambang sejak awal dimulainya aktivitas tambang. Konsep ini memastikan penataan lahan eks tambang tetap aman dan memiliki fungsi lingkungan. Konsep pasca tambang ini adalah hasil kesepakatan tiga stakeholders, pemerintah masyarakat dan operator tambang dan harus memenuhi criteria konservasi mineral, prinsip K3 dan prinsip lingkungan.

Ada satu hal yang juga sangat perlu dicermati dalam rencana penutupan tambang, yaitu sosial kemasyarakatan. Perlu dipastikan dalam dokumen rencana pasca tambang tentang status dan kesejahteraan masyarakat. Masyarakat harus dipastikan tidak tergantung pada aktivitas perusahaan setelah penutupan tambang.

 
 
 Nilai Tambah

Kekayaan alam khususnya sumber daya mineral sesungguhnya adalah anugerah Tuhan yang menjadi keuntungan bagi bangsa ini. Keuntungan dalam konteks pemanfaatan aset strategis secara optimal . Bagaimana bangsa ini dapat mentransformasi kekayaan alam yang belum termanfaatkan menjadi kekayaan alam yang dapat memberikan kesejateraan dalam konversi peningkatan infrastruktur, pendidikan, kontribusi ekonomi dan pemerataan keadilan.

Ada pula pandangan yang menyatakan bahwa kekayaan alam justru menjadi kutukan (curse) karena ketidakmampuan pengelolaan sehinga menimbulkan kerusakan dan bencana. John Tilton (2002) menyatakan bahwa muncul persepsi global dalam 4 dasawarsa terakhir yang menyatakan industry pertambangan adalah industry ekstraktif yang merusak lingkungan serta minim kontribusi terhadap kesejahteraan amsyarakat alias hanya memikirkan profit (bukan benefit). Pandangan ini juga muncul di Indonesia terlebih masih adanya persepsi tambang dekat dengan system kolonialisme.

Ada banyak nilai tambah yang sebenarnya dihasilkan dari hadirnya industry tambang. Nilai tambah ini bergulis layaknya bola salju, dapat makin besar ke arah hulunya. Multiplier effect atau efek berganda adalah istilah yang cocok untuk mengisyaratkan hal ini. Multiplier effect ini mutlak untuk diusahakan terlebih bila mengacu pada masyarakat di sekitar tambang.

Nilai tambah yang dihasilkan seperti:

a. Pengembangan inovasi dan pengembangan teknologi (baca transfer teknologi). Tambang identik dengan teknoloig modern dan saintik, yang kebanyakan untuk memenuhi kebutuhan ini, awalnya mendatangkan tenaga ahli dari luar negeri. Dengan bergulirnya waktu, harus terjadi konversi ilmu dan transfer teknologi antara tenaga ahli asing kepada tenaga ahli Indonesia. Telah banyak transfer teknologi yang berhasil dilakukan di Indonesia, sehinga jumlah tenaga ahli asing dapat dikurangi. Perencanaan tambang bawah tanah, perencanaan open pit, penggunaan alat berat non konvensional atau bahkan konsultan tambang. Bahkan secara ekstrem, apabila tidak terjadi transfer teknologi di suau perusahaan, maka kita mampu untuk “mencuri” dan “mengadopsi” teknologi tersebut.

b. Peningkatan penggunaan produk domestic. Dapat betapa besarnya pengeluaran tambang untuk menggunakan produk luar negeri. Untuk produk yang dapat dibuat dan disupply domestic, maka saat ini pemerintah telah menyusun kebijakan penggunaan produk domestic (local content) dalam indsutri tambang. Kebijakan ini juga untuk mensinkronisasikan arah industry hilir dengan industry hulu untuk peningkatan local content dan nilai tambah.

c. Upaya untuk mengptimalkan pengolahan mineral dan batubara di dalam negeri. Selama ini Indonesia mengekspor beberapa jenis mineral dalam bentuk bahan mentah atau setengah jadi. Tentunya produk ini kurang memiliki nilai tambah, untuk meningkatkan peran maka mineral dan batubara tersebut harus diolah di dalam negeri karena akan menciptakan perputaran ekonomi dari industry pengolahannya.

Smelter, memberikan nilai tambah pengolahan mineral

Contoh, jika bijih bauksit hanya diekspor, maka nilai jualnya rendah. Namun jika diolah di dalam negeri menjadi alumina bahkan alumunium dan produk ikutannya, akan ada efek ekonomi dari pembangunan pabrik pengolahan, penyerapan tenaga kerja atau nilai jual produk lanjutan yang lebih tinggi. Begitu pula untuk mineral lainnya. Dengan good mining practice, Indonesia harus mampu menghapuskan penjualan bahan tambang mentah, jangan sampai kita menjual “tanah air” saja. Kita harapkan sesuai yang diamanatkan UU Mineral No. 4 than 2009, di akhir tahun 2014, Indonesia mampu menghapuskan penjualan produk mentah pertambangan.

d. Pengembangan pertumbuhan ekonomi, khususnya ekonomi local. Hadirnya perusahaan tambang yang bersinggungan dengan masyarakat local tentunya akan memanfaatkan tenaga local, artinya perusahaan telah membangun system kerjasama untuk mengoptimalkan peran putra daerah. Selain itu, banyak aktivitas ekonomi local yang bsia dibangkitkan, misalnya supply makanan dan penyewaan akomodasi untuk tenaga kerjanya. Penyediaan sarana transportasi penunjang dan tvale agent. Supply daging dari peternak local maupun buah-buahan.



Masih banyak nilai tambah yang dapat dihasilkan dari hadirnya aktivitas pertambangan di suatu daerah. Optimalkanlah peran pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk mampu mensinergiskan peran dan merangkul industry pertambangan untuk melaksanakan peningkatan nilai tambah seperti yang diamanatkan dalam UU Minerba No. 4/99 ini.


Konservasi

Keseluruhan sumberdaya mineral maupun batubara adalah renewable resources atau sumber daya alam yang tak terbarukan dan habis sekali pakai. Artinya tidak akan ada sumber daya yang terbentuk kembali setelah sumberdaya ini digunakan. Kalaupun terbentuk akan memakan wakt jutaan tahun lagi. Karena sifatnya yang tak terabarukan, maka penambangan, pengolahan dan pengusahaannya mau tak mau harus optimal dengan memberi benefit bagi perusahaan, Negara, masyarakat maupun lingkungannya.

Jadi mau tak mau dalam pengelolaan sumber daya mineral harus mengutamakan prinsip konservasi. segala bentuk pemborosan sumberdaya mineral harus dihindari. Dengan mengedepankan prinsip konservasi artinya menghindari terbuangnya mineral secara percuma (rudenden) dan memberikan jaminan usia pemanfaatan sumberdaya yang lebih lama.

Tentunya dapat dibayangkan, Indonesia adalah Negara yang menjadi peringkat 15 dalam cadangan batubara (6,7 milyar ton cadangan dan 61,3 milyar ton sumberdaya), No 7 dalam cadangan emas dunia (6.981 ton),cadangan tembaga terbesar ke 7 (41.473 juta ton)no 5 dan 8 masing-masing untuk cadangan logam timah (482.402 ton) dan nickel (627,8 juta ton) (sumber: DESDM, 2009) adalah Negara yang sangat kaya akan sumberdaya mineral. Sedikit sekali Negara yang dianugerahi kekayan seperti Indonesia. Memang terkesan lama dalam pemanfaatannya, namun tanpa konservasi, nilai diatas hanya akan menjadi angka apabila pemanfaatannya tidak mengacu pada azas konservasi.



 
 
Cadangan Mineral dan Batubara Indonesia

Penerapan prinsip konservasi mineral dapat dilakukan dengan banyak metode, mulai dari penggunaan teknologi untuk menambang cadangan yang marjinal, optimalisasi mineral ikutan (accessories mineral), proses mixing dan blending mineral berkadar rendah dengan kadar tinggi, penerapan cut off grade dan stripping ratio yang lebih efisien dan banyak metode lainnya.

Dulu hanya cadangan yang berkadar tinggi saja yang diusahakan sehingga cadangan yang berkadar marjinal didiamkan saja (dormant). Dengan peningkatan teknologi, kadar yang marjinal pun dapat diusahakan secara lebih ekonomis. Contohnya, saat ini telah banyak teknlogi pengolahan untuk emas berkadar rendah sehingga dapat diusahakan (heap leach method, cyanide leaching method), hydrometalurgi untuk mengoptimasi nickel kadar rendah juga telah berhasil dilaksanakan.

Pemanfaatan kembali tailing juga merupakan bentuk konservasi cadangan. Umumnya tailing masih memiliki kandungan mineral berharga meskipun dalam konsentrasi rendah. tailing yang dihasilkan 20 tahun lalu memiliki konsentrasi logam sebesar x gram/ton. Namun tailing saat ini seharusnya memiliki konsentrasi di bawah X gram/ton sehingga tailing masa lalu dapat dioptimasi dengan teknologi tertentu untuk mendapatkan logamnya secara ekonomis.

Nilai dan harga jual produk pertambangan saat ini menunjukkan trend yang fluktuatif karena dipengaruhi oleh permintaan dan pasokan (supply and demand) pasar dunia. Kondisi ini menyebabkan tingkat kelayakan pengusahaan menjadi bervariasi sesuai harga jual dan mempengaruhi nilai dari cut off grade (COG) dan stripping ratio (SR) proses penambangan. Peningkatan nilai tersebut dapat membuat nilai SR dan COG menjadi lebih kecil dan optimasi sumberdaya dapat lebih diterapkan.

Dalam rangka konservasi mineral dan batubara, maka seluruh cadangan yang telah diketahui kuantitas dan kualitasnya harus terdata dengan sangat baik sehingga apabila terjadi perubahan harga di pasar dunia, antisipasi dapat dilakukan terencana dan tetap menghasilkan output yang efisien.