Saturday, October 6, 2012

PERMASALAHAN LINGKUNGAN DI PERTAMBANGAN ( I )


Pertambangan adalah usaha yang karakteristik dan kompleks. Karakteristik karena letak endapan mineralnya ditentukan oleh tuhan (given by nature). Dapat terletak dekat permukaan sehingga memungkinkan untuk diambil dengan sistem tambang terbuka, dapat terletak di kawasan hutan atau bahkan terletak jauh di bawah tanah sehingga dimanfaatkan dengan sistem tambang dalam atau bahkan tidak dapat dimanfaatkan sama sekali dengan teknologi saat ini.

Mineral merupakan hasil dari aktivitas geologis yang terbentuk dari jutaan tahun lalu yang dimulai dari aktivitas penghancuran (kataklastik) hingga pendinginan dan membentuk mineral. Secara alami keterdapatan mineral umumnya ada di daerah terpencil, dekat hutan atau di bawah laut.  Tidak ada satu manusiapun yang dapat menentukan lokasi keterdapatan tambang, begitupula dengan jenis metode yang akan dipilih. Cadangan terbentuk secara alamiah sebagai “given” dari yang Maha Kuasa.




Endapan Batubara Hampir Selalu ada di Rawa dan Hutan

Tambang bawah tanah diperuntukan untuk mengambil cadangan yang relatif jauh di bawah Tidak ada yang dapat memaksakan pemilihan metode penambangan selain kondisi alamnya. Proses geologi yang menentukan bagaimana kondisi cadangan, dapat terletak dekat permukaan (seperti nikel dan timah) sehingga dilakukan tambang terbuka ataupun jauh di dalam bumi (endapan skarn emas dan tembaga atau vein emas) sehingga diterapkan tambang bawah tanah.
Sebaliknya endapan yang karena proses geologi pembentukannya sehingga berada jauh di bawah permukaan, diatas 500 m, seperti emas di Pongkor, hanya tambang dalam yang sesuai karena andai diterapkan tambang terbuka akan membutuhkan total biaya operasi besar untuk menyingkirkan tanah penutup sebelum mencapai endapan.
Tambang bawah tanah diperuntukan untuk mengambil cadangan yang relatif jauh di bawah permukaan. Tambang bawah tanah ini hanya membuka sebagian kecil lahan di permukaan untuk penyediaan akses, infrastruktur kantor dan fasilitas pengolahan. Karena aktivitas eksploitasi dilakukan dibawah tanah, hampir tidak ada lahan permukaan yang terganggu.

Endapan Mineral Bawah Tanah Sangat Spesifik

Lalu bagaimana jika harus menambang di suatu lokasi dimana di permukaan terdapat wilayah yang tidak boleh terganggu seperti hutan lindung atau taman nasional misalnya..? inilah yang menjadi perbincangan menarik karena ada banyak pertimbangan disini. Jika harus ditambang dengan tambang bawah tanah, harus dipastikan kekuatan batuan dan kondisi geologi, jika rapuh justru sangat beresiko membahayakan keselamatan pekerja. Pemilihan ini mesti dilakukan analisis mendalam. Ada contoh menarik ketika tambang bawah tanah di Varengeville, Prancis, misalnya, diterapkan untuk menambang endapan garam yang berada di bawah permukiman padat.
Tambang terbuka diterapkan jika lokasi cadangan dekat dengan permukaan. Kemudian It is not easy untuk menyelaraskan antara pertumbuhan dengan pemeratan, kemudian mana yang lebih banyak diperdebatkan antara “azas penguasaan“ oleh negara dibandingkan dengan “azas pemanfaatan“. Fenomena yang banyak terjadi saat ini adalah lahirnya regulasi yang kurang berimbang dan cenderung lebih berpihak kepada aspek konservasi daripada menyentuh aspek peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Tetapi disadari bahwa pemanfaatan sumber daya alam terkadang menjadi tak terkendali dan terkadang juga tidak berkorelasi positif dengan kesejahteraan masyarakat sekitar. Oleh karena itu, dibutuhkan sebuah paradigma yang berimbang sebagai pedoman pelaksanaan pembangunan nasional, yang mampu menyeimbangkan antara penguasaan dan pemanfaatan.
Salah satu korelasi negatif itu adalah pencemaran lingkungan. Pencemaran lingkungan akan berdampak langsung atau tak langsung baik pada manusia sebagai substansi esensial, substansi hidup maupun nirhidup lainya. Pencemaran akan dapat dirasakan apabila konsentrasi pencemar telah melewati Nilai Ambang Batas (NAB) atau Treshold Limit.
Pada pasal 145 UU No. 4 tahun 2009 tentang Minerba disebutkan bahwa “Masyarakat yang terkena dampak negatif langsung dari kegiatan usaha pertambangan berhak:
  • Memperoleh ganti rugi yang layak akibat kesalahan dalam pengusahaan kegiatan pertambangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  •  Mengajukan gugatan pada pihak pengadilan terhadap kerugian akibat pengusahaan pertambangan yang menyalahi ketentuan.


Tentu satu hal yang sangat riskan jika mengatasi pencemaran lingkungan terlebih jika memang sudah berdampak pada masyarakat sekitar. Bukan saja ganti rugi yang harus dikeluarkan atau biaya rehabilitasi lingkungan, ada nama baik dan corporate image yang dipertaruhkan di situ. Punishment public juga satu hal yang berusaha dihindari oleh perusahaan kelas dunia.
Untuk itu, sebelum eksploitasi dilaksanakan sudah harus ada usaha mitigasi seperti yang tertuang dalam AMDAL (Analisa Mengenai Dampak Lingkungan) dan menjadi syarat utama untuk perolehan Izin Usaha Pertambangan (IUP). Disini terangkum secara rinci segala aktivitas yang akan dilakukan, dampak negatif yang mungkin terjadi termasuk penanganan hingga prediksi pasca tambang.
Dalam aktivitas pertambangan sendiri ada beberapa potensi pencemaran lingkungan yang dapat terjadi dari aktivitas pertambangan. Beberapa potensi tersebut antara lain: 

a.       Air asam tambang (AAT) atau Acid Mine Drainage (AMD)
Merupakan air yang terkontaminasi oleh mineral yang umumnya mengandung sulfur seperti pyrite, chalcopyrite ataupun sulfida besi lainya. Beberapa bentuk adalah air yang berwarna oranye, merah atau kuning dan mengendap di sediman. Umumnya memiliki pH rendah sehingga sulit untuk didiami mahluk hidup atau dimanfaatkan manusia. Hanya bakteri tertentu yang tahan pada kondisi ini. Beberapa reaksi pembentukan air asam tambang seperti di bawah ini:

  

4FeS2 + 15O2 + 14H2O è 4Fe(OH)3 + 8 H2O
 
 




4Fe2+ + O2 + 4H+ è 4Fe3+ + 2H2O
 
Reaksi air asam tambang untuk Pyrite


Reaksi air asam tambang untuk

4Fe3+ + 12H2O  è 4Fe(OH)3 + 12H+
 
Ferrous Iron


Reaksi air asam tambang untuk Hydrolysis Iron 

Yellow Boy Salah Satu Dampak Air Asam Tambang

Air asam tambang menyebabkan banyak masalah lingkungan di pertambangan karena menyebabkan penurunan pH hingga 4 atau 3 sehingga tidak dapat didiami oleh ikan maupun plankton, mengganggu reproduksi hewan air, penurunan dan inlitrasi ke air tanah, korosi dan perusakan jalur pipa. 

b.  Tailing
Pada dasarnya tailing adalah sisa ekstraksi mineral yang umumnya berbentuk pasir sehingga sering disebut sebagai sirsat (pasir sisa tambang). Tailing biasanya sudah didetoksifikasi atau dihilangkan konsentrasi bahan beracunya sehingga secara teoritis dapat dilepaskan ke lingkungan.
Namun ada berbagai pertimbangan yang menjadikan tailing ini berpotensi mencemari lingkungan. Tailing umumnya dilepaskan dalam jumlah besar. Untuk ekstraksi tembaga dan emas, 99% dari produksi bijih akan menjadi tailing. Jumlah yang besar ini memerlukan penempatan yang akurat dan aman. Apabila ditempatkan di sungai tentu akan merusak habitat substansi biotik. Ide untuk menempatkan di palung laut juga beresiko jika tidak didasari penelitian dan perhitungan yang cermat dan berkelanjutan.
Tailing juga belum dapat dimanfaatkan optimal sebab regulasi untuk pemanfaatan material yang digolongkan sebagai limbah B3 (Bahan Berbahaya Beracun) ini terkendala banyak hal. Hanya ada beberapa aktivitas tambang seperti cut and fill yang mengurangi volume tailing yang terbuang di permukaan secara cukup signifikan.


Timbunan Tailing 


Fenomena tailing yang menonjol belakangan ini adalah Pembuangan Tailing Bawah Laut (Submarine Tailing Disposal) dimana tailing ditempatkan pada palung dengan kedalaman tertentu di bawah laut. Penempatan tailing ini sudah diperhitungkan matang baik dari segi kedalaman, jarak maupun flowa fauna biotik agar tidak mencemari sekitar titik penumpahan selain karena memang telah didetoksifikasi terlebih dahulu. Hanya karena jumlahnya yang kian besar dan potensi pencemaran masih tetap ada, tetap menjadi perdebatan kalangan praktisi dan konservasionis.

Skema Submarine Tailing Placement di Salah Satu Tambang  Kanada


c.   Pertambangan Tanpa Izin (PETI)
Pertambangan tanpa izin menjadi masalah pelik yang dihadapi dunia pertambangan karena kompleksitas econososioculturpolitik yang dimilikinya. Begitu rumit untuk jika hanya melihat PETI dari satu sisi saja, lebih dari sudut pandang ekonomi dna budaya,disitu juga terangkum permasalahan Corporate Social Responsibility dan lingkungan.
PETI tidak sekedar urusan perut masyarakat miskin sekitar tambang, sudah ada urusan cukong dan becking di belakangnya. Terlebih jika aparat keamanan juga turut bermain. Seperti yang terlihat pada aktivitas PETI batubara di Kalimantan Selatan, PETI emas di Jawa Barat dan Kalimantan Tengah. Semuanya didukung oleh pemilik modal dan tidak lagi merupakan usaha penambangan tradisional. Kondisinya semakin sulit diselesaikan selain karena minimnya good will dari pemerintah daerah dan pusat. 



Wednesday, July 11, 2012

KONFLIK DI KAWASAN PERTAMBANGAN



Pertambangan, suatu aktivitas penggalian mineral dari perut bumi yang telah diusahakan oleh manusia sejak mulainya peradaban. Zaman batu, zaman perunggu, zaman besi hingga baja menjadi acuan penentuan era peradaban manusia, perambangan menjadi penanda yang penting. Begitu vitalnya aktivitas pertambangan hingga kita kerap mendengar “everything begin with mineral”. Begitulah kira-kira pemeo yang bekumandang dan seperti yang kita lihat bahwa komputer, jam tangan mobil, pesawat kereta, jalan, gedung dan bangunan dan hampir tak ada sekeliling kita yang tidak berasal dari mineral dan aktivitas tambang.





Manusia tak bisa lepas dari mineral (www.mii.org)


Pertambangan pada dasarnya adalah aktivitas untuk mensejahterakan manusia. Dengan teknologi yang makin berkembang, main beragam jenis bahan tambang yang dapat diusahakan. Lambat laun perkembangan pertambangan sebagai industri sangat terkait dengan banyak pihak dan kegiatan. Tidak lagi hanya kebutuhan primer, kapitalisme yang membumbung telah membawa pertambangan di ranah yang kian sulit dimengerti. Pertambangan begitu dinamis hingga tidak dapat diajarkan di sekolah secara detail.

Kapitalisme ini mengarahkan pertambangan pada beragam konflik mulai dari konflik politis, sosial, budaya hingga ekonomi global. Konflik di kawasan pertambangan khususnya di Indonesia banyak berkembang dipicu oleh dua perubahan dasar yakni kondisi ekonomi dan hukum. Kondisi ekonomi dipicu oleh merosotnya kesejahteraan sebagian masyarakat Indonesia paca krisis moneter. Kemudian kondisi hukum yang tiada menentu menyebabkan banyaknya celah pemegang modal memanfaatkan rakyat untuk mendapatkan akses ke sumber daya mineral. 

Contoh konflik pertambangan di Afrika yang melibatkan aparat


Seperti konflik PT. NMR (Newmont Minahasa Raya) dengan “mereka” yang mewakili masyarakat sekitar Teluk Buyat, Indumuro Kencana dengan Penambang Tanpa Izin (PETI), konflik pemanfaatan mineral timah dengan masyarakat Tambang Ilegal (TI) hingga PETI batubara di Kalimantan Selatan. Konflik ini berkembang sangat cepat dan meluas ke berbagai pihak. Dapat dikatakan bahwa konflik di lahan tambang melibatkan banyak aktor intelektual dan juga pemegang modal.

Apabila di ditelaah maka dapat dikatakan bahwa akar pemasalahan konflik pertambangan ini terjadi pada dua tataran. Pertama adalah pada tataran mikro dimana konflik ini terjadi antara perusahaan dengan masyarakat setempat, pemerintah atau dengan oknum spekulan dan aparat. Konflik ini umumnya terjadi pada tataran lokal dan melibatkan internal perusahaan dengan penambang tanpa izin seperti terjadi di tambang batubara di Kalsel, TI timah di Babel maupun di Sulawesi Utara. DI beberapa tempat bahkan ada indikasi aparat menjadi katalis atas meruncingnya konflik di wilayah itu sendiri.


Konflik pertambangan di tataran mikro (Dzulkarnain, 2006)


Kemudian yang kedua terjadi pada tataran makro dimana pada lingkup horizontal lebih luas mencakup konflik antar departemen pemerintah, lembaga kehutanan dan NGO, dengan pemerintah pusat dan daerah. Contohnya adalah ketika diterbitkan Undang-undang No. 41 tentang Kehutanan yang menyebabkan tehentinya laju eksplorasi dan eksploitasi beberapa perusahaan yang telah mendapat KP atau KK di wilayah Hutan Lindung, kemudian definisi hutan lindung yang tidak jelas. Tumpang tindihnya wilayah tambang dengan hutan lindung ini bagi sebagian orang terlihat karena adanya ego sektoral dan lemahnya law enforcement.


Konflik pertambangan di tataran makro (Duzlkarnain, 2006)


Konflik pertambangan ini menjadi bengitu kompleks dan rumit karena konflik tataran makro dan mikro ini menjadikan konflik meyatukan berbagai variabel dengan lainya yang saling mempengaruhi. Seperti yang terjadi di Freeport Papua, publik awalnya berpendapat bahwa permasalahan disana adalah marginalnya pemerataan kesejahteraan sebagai dampak dari hadirnya PT. Freeport Indonesia. Kemudian berkembang menjadi isu sosial ke arah masyarakat suku pribumi (Amungme, Komoro dan lainya) terkait dengan wilayah. Itu baru masuk ke tataran mikro.


Ketidakterimaan masyarakat dapat berujung pada konflik eksternal perusahaan





Lalu selanjutnya berkembang ke tataran makro dimana PTFI dianggap bertanggung jawab terhadap kerusakan lingkungan akibat pembuangan tailing sepanjang Sungai Ajkwa, dimana tuntutan ini dikeluarkan mulai dari NGO lokal dan internasional hingga Kementerian Lingkungan Hidup. Lalu belakangan ini merambah ke isu keamanan yang melibatkan aparat keamanan negara. Jadi konflik pertambangan ini menjadi begitu luas dan makin sulit untuk dibenahi tanpa adanya good will dari tiap-tiap institusi.


Freeport, kompleksitas konflik pertambangan indonesia



Di bawah ini adalah beberapa isu konflik pertambangan yang kerap terjadi pada tataran mikro seperti:
  • Isu pelaksanaan CSR, CSR saat ini sudah mulai dimasukan sebagai integrasi aktivitas tambang dan bukan lagi bersifat charity semata. CSr lebih menekankan peran dan tanggung jawab sosial perusahaan terhadap kesejahteraan masyarakat sekitarnya. Program CSR yang berhasil haruslah diintegrasikan ke dalam strategi menyeluruh dari perusahaan.  CSR harus disadari oleh perusahaan sebagai upaya membangun hubungan yang baik dengan salah satu pemangku kepentingan perusahaan, yaitu masyarakat luas yang terkena dampak operasi perusahaan. Sebagai konsekuensi kesadaran bahwa perusahaan haruslah tampil sebaik mungkin di hadapan seluruh pemangku kepentingannya, CSR untuk masyarakat haruslah menjadi bagian integral dari strategi perusahaan. 


CSR menjadi salah satu kunci keberhasilan dan keberlanjutan pertambangan


  • ·         Akses terhadap kepemilikan sumberdaya mineral, Kesempatan untuk mendayagunakan sumberdaya mineral atau dapat dikatakan perlombaan eksploitasi ini umumnya menimbulkan rasa ketidakadilan. Perusahaan dianggap memiliki akses yang luar biasa besar, sementara masyarakat tidak diberikan akses yang sama. Meskipun pemerintah melalui UU Minerba NO. 4 tahun 2009 telah menetapkan wilayah pencadangan mineral dan wilayah pertambangan rakyat. Ketimpangan akses ini juga umumnya memicu timbulnya PETI yang “merasa” juga berhak mendapatkan akses yang sama, meskipun secara legalitas tidak dimiliki.
  • ·         Kesempatan dan persaingan kerja, Umumnya konflik ini dipicu oleh kesempatan kerja antara masyarakat pendatang di perusahaan dengan putra daerah. Seperti diketahui, industri tambang sangat spesifik, high risk, high capacity dan high technology sehingga pekerja datang dengan kemampuan tinggi dan renumerasi yang sesuai. Kemudian masyarakat sekitar umumnya adalah mereka dengan kemampuan skill terbatas bahkan tingkat pendidikan juga tidak tinggi sehingga kesempatan berusaha mereka lebih kecil dari para pendatang. Gap yang terjadi inilah yang memicu timbulnya konflik akibat persaingan kerja dengan putra daerah.
  • ·         Hak ulayat dan hak individu, Tentunya konflik ini berakar dari ketidakpenerimaan masyarakat terhadap perusahaan akibat terambilnya tanah warisan dan ulayat masyarakat setempat. Tanah ulayat di klaim sebagai kewenangan, yang menurut hukum adat, dimiliki oleh masyarakat hukum adat atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan warganya, dimana kewenangan ini memperbolehkan masyarakat untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah, dalam wilayah tersebut bagi kelangsungan hidupnya. Masyarakat dan sumber daya yang dimaksud memiliki hubungan secara lahiriah dan batiniah turun temurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan. Jadi mengambil tanah dna hak ulayat tentunya akan memutuskan hubungan mekanis antara masyarakat denga leluhurnya


Hak ulayat, tidak hanya terjadi di pertambangan



·         Kerusakan lingkungan, Pastinya ini adalah konflik menerus yang dihadapi oleh pertambangan. Kerusakan lingkungan adalah ancaman serius mengingat aktivitas tambang pada dasarnya bersifat destruktif karena merubah bentang alam, sifat fisik dan kimia tanah, bahkan perubahan ekosistem lingkungan secara total. Selain aktivitas tambang, aktivitas turunan juga turut menyisakan kerusakan lingkungan seperti terjadinya air asam tambang (acid mine drainage) akibat teroksidasinya mineral yang mengandung sulfida. Dampak ini tentunya memprihatinkan karena kerusakanya tidak dapat ditanggulangi dalam waktu cepat.
·         Dampak PETI, PETI atau pertambangan tanpa izin adalah salah satu konflik multi kompleks yang terjadi di pertambangan indonesia. Dikatakan multi kompleks karena meliatkan banyak stakeholder makro maupun mikro. Banyak yang berkepentingan atas hadirnya PETI di wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) perusahaan.

PETI sendiri bermakna usaha pertambangan yang dilakukan oleh perseorangan, sekelompok orang, atau perusahaan yayasan berbadan hukum yang dalam operasinya tidak memiliki Izin dan instansi pemerintah sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. PETI umumnya diawali oleh keberadaan para penambang tradisional, yang kemudian berkembang karena adanya faktor kemiskinan, keterbatasan lapangan kerja dan kesempatan usaha, keterlibatan pihak lain yang bertindak sebagai cukong dan backing, ketidakharmonisan hubungan antara perusahaan dengan masyarakat setempat, serta krisis ekonomi ber­kepanjangan yang diikuti oleh penafsiran keliru tentang reformasi. Di sisi lain, kelemahan dalam penegakan hukum dan peraturan perundang-undangan yang menomorsekiankan pertam­bangan (oleh) rakyat, juga ikut mendorong maraknya PETI.

Kegiatan PETI yang tidak mengikuti kaidah-kaidah pertam­bangan yang benar, telah mengakibatkan kerusakan lingkungan, pemborosan sumber daya mineral, dan kecelakaan tambang. Disamping itu, PETI bukan saja menyebabkan potensi penerimaan negara berkurang, tetapi juga Negara/Pemerintah harus mengeluarkan dana yang sangat besar untuk memperbaiki kerusakan lingkungan. Hal lain yang perlu dicermati adalah PETI umumnya identik dengan budaya kekerasan dan premanisme, prostitusi, perjudian, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan pengingkaran terhadap norma-norma agama. Budaya pencurian' termasuk menjarah, semakin berkembang, sehingga memberikan pengaruh buruk bagi mereka yang ingin berusaha sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. 



Kerusakan lingkungan akibat PETI


Lalu apa sajakah yang dapat menjadi trigger terjadinya konflik di pertambangan..? salah satu faktor terbesar adalah persoalan ekonomi dimana terjadi kekurangpahaman hukum di tataran masyarakat lokal. Masyarakat tidak ikut serta dalam pemanfaatan SDA minerl oleh perusahaan sehingga kesejahteraan mereka sendiri tidak terangkat. Padahal sebagai agen of development, kehadiran perusahaan seharusnya mampu membawa perubahan positif dan menjadi penggerak di berbagai bidang ekonomi lanjutan (multiplier effect).

Kemudian ada pemicu berganda lain seperti penggunaan lahan milik masyarakat oleh perusahaan tanpa diwujduanya legalitas yang menguntungkan kedua pihak. Akibanya menyebabkan terputusnya hubungan mekanistik antara masyarakat dengan habitat asal dan lingkungan sosialnya dan merubah ritme kehidupan mereka. Sebagai pemilik awal, ini juga kerap memicu adanya sikap”menuntut” ini dan itu terhadap perusahaan.

Lalu bagaimana dengan konsep pemberdayaan (empowerment) masyarakat sekitar tambang yang saat ini digadang-gadangkan sebagai konsep membangun tambang yang berkelanjutan..? Meski diakui bahwa konsep ini yang diselaraskan dengan Corporate Social Responsibility (CSR) baru berada pada milestone awal dan terkdang di perusahaan bukan menjadi prioritas. CSR dianggap sebagai terobosan baru di dunia perusahaan terlebh untuk perusahaan ekstraktif, karena menggabungkan prinsip “people and planet” dalam aktivitas pencarian “profit” perusahaan.

Diakui atau tidak, CSR di Indonesia khususnya di industri ekstraktif seperti pertambangan merangkak menuju pendewasaan pola pikir dan kemampuan membangun diri masyarakat. Perusahaan sebagai stake holder utama harus mampu menganggap hubungan masyarakat dengan perusahaan adalah mitra yang sejajar. Jangan menganggap program Comdev sebagai charity semata atau hanya memberi kail tetapi tidak mampu mengajarkan bagaimana cara memancing yang tepat.

Secara garis besar bahwa konflik pertambangan dapat terjadi karena belum tersusunnya kebijakan pemanfaatan SDA secara optimal oleh Pemerintah pusat dan daerah sebagai suatu kepentingan nasional. Juga oleh belum didukungnya optimasi national resources sustainability antara pertambangan, kehutanan, lingkungan hidup yang seharusnya dibentuk dalam management yang integral

Monday, June 18, 2012

Reklamasi Lahan Tambang

Tidak dapat dipungkiri bahwa kegiatan penambangan dapat menimbulkan kerusakan dan pencemaran yang bersifat tidak dapat balik (irreversible damages), karena sekali suatu daerah dibuka untuk operasi pertambangan, maka daerah tersebut akan berpotensi menjadi rusak selamanya. Dalam rangka mengembalikan kondisi tanah sedemikian rupa sehingga dapat berfungsi dan berdaya guna sesuai peruntukannya, maka terhadap lahan bekas pertambangan, selain dilakukan penutupan tambang, juga harus dilakukan pemulihan kawasan bekas pertambangan.
Reklamasi tambang pada dasarnya adalah usaha untuk memperbaiki kondisi lahan setelah aktivitas penambangan selesai. Seperti yang sudah dimahfumi bahwa sifat dasar dari industri tambang adalah destruktif karena aktivitasnya yang melakukan penggalian dan merubah bentang lahan, perubahan iklim mikro hingga ke kondisi fisik lingkungan. Selain itu, industri pertambangan juga menimbulkan dampak positif sebagai sumber devisa negara, pendapatan asli daerah, penciptaan lahan kerja, perubahan ekonomi hingga bertindak sebagai development agen bagi daerahnya. 


Bekas Tambang Seperti Ini Harus Dikembalikan Menuju Fungsi Aslinya


Setelah aktivitas penambangan selesai, lahan harus segera direklamasi. Tujuanya untuk menghindari kemungkinan timbulnya potensi kerusakan lain. Potensi tersebut seperti timbulnya air asam tambang, penurunan daya dukung tanah bahkan terjadinya kerusakan lahan lebih luas.
Tujuan kegiatan reklamasi lahan tambang bertujuan untuk memperbaiki ekosistem lahan eks tambang melalui perbaikan kesuburan tanah dan penanaman lahan di permukaan. Tujuan lainya adalah agar mampu menjaga agar lahan tidak labil, lebih produktif dan meningkatkan produktivitas lahan eks tambang tersebut. Akhirnya reklamasi dapat menghasilkan nilai tambah bagi lingkungan dan menciptakan keadaan yang jauh lebih baik dibandingkan dengan keadaan sebelumnya pertambangan, kerusakan lingkungan hidup, dan sebagainya.

Reklamasi Memberikan Perbaikan Fisik dan Non Fisik serta Menjaga Fungsi Hidroorologis



Untuk meningkatkan kemampuan daya dukung tanah atau lebih baik lagi jika mampu menjadikan seperti kondisi awal, ada teknologi sederhana pemberian nutrisi tanah. Nutrisi in berupa bahan organik, serasah, amelioran, penanaman tumbuhan keras seperti jengjeng, sengon, rasamala dan lainya.
Kemudian untuk minimisasi dampak negatif dari aktivitas pertambangan, pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan Pasal 30 dituliskan bahwa setiap pemegang kuasa pertambangan diwajibkan untuk mengembalikan tanah sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan bahaya penyakit atau bahaya lainnya, antara lain melalui kegiatan ‘reklamasi’.


Hydroseeding, salah satu metode menaikan kesuburan tanah untuk reklamasi


Perusahaan pertambangan wajib untuk melakukan pemulihan kawasan bekas pertambangan dan telah diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan, yaitu:
1.      Pasal 30 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok Pertambangan:
Apabila selesai melakukan penambangan bahan galian pada suatu tempat pekerjaan, pemegang Kuasa Pertambangan diwajibkan mengembalikan tanah sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan bahaya bagi masyarakat sekitarnya.
2.      Pasal 46 ayat (4) dan (5) Peraturan Pemerintah Nomor 75 Tahun 2001 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1969t:
Sebelum meninggalkan bekas wilayah Kuasa Pertambangannya, baik karena pembatalan maupun karena hal yang lain, pemegang Kuasa Pertambangan harus terlebih dahulu melakukan usaha-usaha pengamanan terhadap benda-benda maupun bangunan-bangunan dan keadaan tanah di sekitarnya yang dapat membahayakan keamanan umum.

Regulasi diatas menjadi pijakan untuk melakukan perbaikan lingkungan pasca tambang  sehingga dampak kerusakan lingkungan bahkan sosial dapat diminimisasi. Prosedur teknis reklamasi tambang hingga penutupan tambang juga telah disiapkan secara jernih oleh pemerintah. Ketentuan reklamasi diatur dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 18 Tahun 2008 tentang Reklamasi dan Penutupan Tambang.
Hal-hal yang mesti diperhatikan selama pengerjaan reklamasi adalah sebagai berikut:
1.      Reklamasi wajib dilakukan paling lambat 1 (satu) bulan setelah tidak ada kegiatan usaha pertambangan pada lahan terganggu, yang meliputi:
a.      Lahan bekas tambang
b.      Lahan di luar bekas tambang. Lahan bekas tambang seperti timbunan tanah penutup (overburden), timbunan bahan baku/produksi, jalur transportasi, pabrik/instalasi pengolahan/pemurnian, kantor dan perumahan, pelabuhan/dermaga.
Reporting pelaksanaan reklamasi itu dilaporkan ada Menteri, Gubernur hingga Walikota atau Bupati. Penilaian keberhasilan ditentukan oleh pemerintah. Apabila dari hasil penilaian menunjukkan fakta terbalik maka pemerintah dapat menunjuk pihak ketigas untuk melaksanakan reklamasi. Pelaksanaan reklamasi oleh pihak lain ini dilakukan dengan memanfaatkan Jaminan Reklamasi.

PETI, Apakah mereka turut mereklamasi lahan eks tambangnya..??

2. Reklamasi dilakukan oleh perusahaan pertambangan sesuai dengan Rencana Reklamasi, termasuk perubahan Rencana Reklamasi, yang telah disetujui oleh Menteri, Gubernur, atau Bupati/Walikota, sesuai dengan kewenangannya.

Reklamasi yang akan dilasanakan harus sudah tersusun dari tahap awal hingga akhir. Untuk itu diperlukan Rencana Reklamasi yang dibuat selama 5 (lima) tahunan. Dalam laporan rencana reklamasi ini akan tertulis tata guna lahan sebelum dan sesudah ditambang, rencana pembukaan lahan, program reklamasi, dan rencana biaya reklamasi. Apabila lifetime tambang ternyata kurang dari 5 (lima) tahun, maka Rencana Reklamasi wajib disusun disesuaikan sesuai dengan umur tambang tersebut. Rencana reklamasi ini harus sudah tersusun sebelum dilakukanya kegiatan produksi.

Reklamasi sebagai bentuk keberlanjutan



Secara eksplisit, dapat disimpulkan bahwa upaya reklamasi yang telah tersusun secara detail melalui Rencana Reklamasi bahkan tertuang dalam Kajian AMDAL dan Studi Kelayakan adalah tanggung jawab banyak pihak, bukan semata perusahaan tambang saja. Pemerintah sebagai regulator juga berperan vital, begitupun Pemda melalui Pejabat Tingkat I dan II yang melakukan penilaian rencana reklamasi tersebut termasuk juga monitoringnya. 

Sendyakala Di Pertambangan