Friday, May 23, 2008

Jakarta Bertambah Padat....


Jakarta akan menjadi super padat, padat oleh penduduk yang mencari peruntungan disini maupun padat oleh aktvitas pembangunan properties. Tetapi kepadatan ini tetap saja tidak menjadi pertimbangan mendasar bagi pengambil keputusan untuk membuat kebijakan yang memperhatikan tata ruang, lingkungan dan kesejahteraan masyarakat banya. Yang memuakkan lagi, dalam dua tahun ke depan, telah direncanakan akan ada 13 proyek pusat belanja baru lagi. Hal itu terungkap dari hasil riset Procon Indah yang dipublikasikan pada 28 April 2008. Menurut riset tersebut, 40 persen penambahan pusat belanja akan berada di Jakarta Utara, 20 persen berada di Jakarta Selatan, dan 18 persen di Central Business District Jakarta. Luas pusat belanja di Jakarta pun diperkirakan akan mencapai 3,33 juta meter persegi.(One-World Indonesia).

Beberapa pusat belanja yang direncanakan akan beroperasi pada tahun ini antara lain Sudirman Place, Grand Paragon, Mall of Indonesia, Plaza Indonesia Extension, Emporium Pluit Mall, Epicentrum Walk, Pluit Village, dan Pulo Mas Ex-Venture. Dampak nyata dari meningkatnya jumlah dan luasan pusat belanja di Jakarta adalah makin hilangnya daerah resapan air di kota ini.

Hutan kota di kawasan Senayan, misalnya, rencana Induk Jakarta 1965-1985 memperuntukkan kawasan 279 hektare ini sebagai ruang terbuka hijau. Hanya boleh berdiri bangunan publik dengan luas maksimal 16 persen. Namun, di kawasan itu kini telah muncul Senayan City (pusat belanja yang dibuka pada 23 Juni 2006), Plaza Senayan (pusat belanja dan perkantoran, dibuka 1996), Senayan Trade Center, Ratu Plaza (apartemen 54 unit dan pusat belanja, dibangun pada 1974), serta bangunan megah lainnya.

Hal yang sama terjadi pada hutan kota Tomang. Rencana Induk 1965 dan 1985 memperuntukkan lahan di Simpang Tomang ini sebagai sabuk hijau Jakarta. Kini hutan itu berubah menjadi Mediterranean Garden Residence I (apartemen, dibangun pada 2002 dan selesai 2004), Mediterranean Garden Residence II (apartemen, dijual pada 2005), serta Mal Taman Anggrek (apartemen dan pusat belanja, dibuka pada 2006).

Sebagai informasi tambahan, kawasan ini dulunya juga sebagai daerah tempat tingga kaum marginal. Adapula yang telah tinggal di kawasan tomang ini hingga 2 generasi. Sempat rebut-ribut dulu mengenai relokasi masyarakat disana sebagian menerima tetapi banyak pula yang menolak karena berbagai hal. Setelah itu, kebakaran besar melanda daerah ini, dan selanjutnya tidak ada lagi masyarakat yang tinggal disana.

Pengalihfungsian RTH secara besar-besaran menjadi kawasan komersial oleh para pemilik modal besar juga terjadi di kawasan Pantai Kapuk, Kelapa Gading, dan Sunter. Tapi sejauh ini Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tidak mengambil tindakan terhadap para pemilik modal besar tersebut. Celakanya, “de javu” pembangunan Kota Jakarta terus-menerus diulang hingga kini oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.

Padahal tanpa ada penambahan bangunan baru, Jakarta sudah megap-megap. Tanah permukaan di Jakarta saja telah mengalami penurunan hingga rata-rata 0,8 cm/tahunnya. Di beberapa daerah bahkan lebih cepat. Tak heran Jakarta selalu kebanjiran, karena daerah resapan hilang dan permukaan tanahnya juga amblas.

Yang tidak diperhatikan oleh pembuat kebijakan juga mengenai polusi. Bertambahnya aktiv itas dan pembangunan properties, bertambah pula tingkat polusi karena mayoritas pembeli di mal dan plaza yang akan berdiri ini menggunakan mobil pribadi. Jakarta adalah kota dengan tingkat polusi terburuk ketia setelah Mexico dan Bangkok. Kemacetan tidak lagi bias dihindari, padahal kemcetan adalah tindakan pemborosan mescal.

Terkait dengan kemacetan lalu lintas di Jakarta, sebuah studi menyebutkan bahwa kemacetan lalu lintas di Jakarta telah menimbulkan kerugian ekonomi sebesar Rp 5,5 triliun (SITRAMP, 2004). Bahkan, dengan metode yang berbeda, hasil penelitian Yayasan Pelangi pada 2003 menyebutkan bahwa kemacetan lalu lintas di DKI telah menyebabkan kerugian akibat kehilangan waktu produktif yang jika dinominalkan akan mencapai Rp 7,1 triliun. Adapun polusi udara yang diakibatkan oleh meningkatnya kemacetan lalu lintas juga telah menimbulkan peningkatan biaya kesehatan yang sangat tinggi. Hasil kajian Bank Dunia menemukan dampak ekonomi akibat polusi udara di Jakarta sebesar Rp 1,8 triliun.

Jadi sekarang ini Jakarta makin bad bad bad…. Jakarta goes mad…

Amdal dalam Pertambangan (..I)


Apa itu AMDAL?

AMDAL adalah kajian mengenai dampak besar dan penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan.

AMDAL adalah proses pengkajian terpadu yang mempertimbangkan aspek ekologi, sosial-ekonomi, dan sosial-budaya sebagai pelengkap studi kelayakan suatu rencana usaha dan/atau kegiatan.


Apa guna AMDAL?

Guna AMDAL adalah untuk menjamin suatu usaha atau kegiatan pembangunan layak lingkungan.

Lewat pengkajian AMDAL, sebuah rencana usaha atau kegiatan pembangunan diharapkan telah secara optimal meminimalkan kemungkinan dampak lingkungan hidup yang negatif, serta dapat memanfaatkan dan mengelola sumber daya alam secara efisien.

Agar pelaksanaan AMDAL berjalan efektif dan dapat mencapai sasaran yang diharapkan, pengawasannya dikaitkan dengan mekanisme perijinan. Peraturan pemerintah tentang AMDAL secara jelas menegaskan bahwa AMDAL adalah salah satu syarat perijinan, dimana para pengambil keputusan wajib mempertimbangkan hasil studi AMDAL sebelum memberikan ijin usaha/kegiatan.


Apa dokumen AMDAL?

Dokumen AMDAL terdiri dari :
· Dokumen Kerangka Acuan Analisis Dampak Lingkungan Hidup (KA-ANDAL)
· Dokumen Analisis Dampak Lingkungan Hidup (ANDAL)
· Dokumen Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup (RKL)
· Dokumen Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup (RPL)

Dokumen KA-ANDAL disusun terlebih dahulu untuk menentukan lingkup studi dan mengidentifikasi isu-isu pokok yang harus diperhatikan dalam penyusunan ANDAL. Dokumen ini dinilai di hadapan Komisi Penilai AMDAL. Setelah disetujui isinya, kegiatan penyusunan ANDAL, RKL, dan RPL barulah dapat dilaksanakan.

Dokumen ANDAL mengkaji seluruh dampak lingkungan hidup yang diperkirakan akan terjadi, sesuai dengan lingkup yang telah ditetapkan dalam KA-ANDAL.

Rekomendasi pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup untuk mengantisipasi dampak-dampak yang telah dievaluasi dalam dokumen ANDAL disusun dalam dokumen RKL dan RPL.

Ketiga dokumen ini diajukan bersama-sama untuk dinilai oleh Komisi Penilai AMDAL. Hasil penilaian inilah yang menentukan apakah rencana usaha dan/atau kegiatan tersebut layak secara lingkungan atau tidak, dan apakah perlu direkomendasikan untuk diberi ijin atau tidak.


Siapa yang harus menyusun AMDAL? Bagaimana menyusunnya?

Dokumen AMDAL harus disusun oleh pemrakarsa suatu rencana usaha dan/atau kegiatan yang berpotensi menimbulkan dampak penting dan belum memiliki kepastian pengelolaan lingkungannya. Ketentuan apakah suatu rencana kegiatan perlu menyusun dokumen AMDAL atau tidak dapat dilihat dalam bagian Prosedur dan Mekanisme AMDAL.

Dalam penyusunan studi AMDAL, pemrakarsa dapat meminta jasa konsultan untuk menyusunkan AMDAL. Penyusun dokumen AMDAL diharapkan telah memiliki sertifikat Penyusun AMDAL (lulus kursus AMDAL B) dan ahli di bidangnya. Ketentuan standar minimal cakupan materi penyusunan AMDAL diatur dalam
Keputusan Kepala Bapedal Nomor 09/2000.


Siapa saja pihak yang terlibat dalam AMDAL?

Komisi Penilai AMDAL; Komisi Penilai AMDAL adalah komisi yang bertugas menilai dokumen AMDAL. Bapedal, Bapedalda/Instansi pengelola lingkungan hidup Propinsi. Unsur pemerintah lainnya yang berkepentingan dan warga masyarakat yang terkena dampak diusahakan terwakili di dalam Komisi Penilai ini.

Pemrakarsa; pemrakarsa adalah orang atau badan hukum yang bertanggungjawab atas suatu rencana usaha dan/atau kegiatan yang akan dilaksanakan.

Warga Masyarakat yang terkena dampak; yaitu seorang atau kelompok warga masyarakat yang akibat akan dibangunnya suatu rencana usaha dan/atau kegiatan tersebut akan menjadi kelompok yang banyak diuntungkan (beneficiary groups), dan kelompok yang banyak dirugikan (at-risk groups). Lingkup warga masyarakat yang terkena dampak ini dibatasi sebagai berada dalam ruang dampak rencana usaha dan atau kegiatan tersebut.

Pemberi Ijin; cukup jelas.
Apa itu UKL dan UPL ?

Upaya pengelolaan lingkungan dan upaya pemantauan lingkungan; serangkaian kegiatan pengelolaan dan pemantauan lingkungan yang dilakukan oleh pemrakarsa suatu rencana usaha/kegiatan yang tidak diwajibkan menyusun AMDAL; yaitu kegiatan yang diperkirakan tidak akan menimbulkan dampak

Ada beberapa kegiatan yang walaupun tidak akan menimbulkan dampak penting tetap membutuhkan identifikasi dampak terlebih dulu sebelum dapat dipastikan upaya pengelolaan lingkungan dan upaya pemantauan lingkungannya. Identifikasi dampak ini dibutuhkan karena ada kombinasi antara frekuensi kegiatan yang tinggi dengan intensitas dampak yang tinggi sehingga menyebabkan munculnya ketidakpastian pengelolaan dampak yang perlu dikomunikasikan kepada pihak terkait lainnya.

Kajian lingkungan yang dibutuhkan dikenal dengan nama Dokumen Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL). Dokumen ini berisi uraian singkat dari proses identifikasi dampak yang dilakukan secara sistematis, dan program pengelolaan dan pemantauan lingkungan yang akan dilaksanakan.

Kegiatan-kegiatan tidak berdampak penting yang frekuensi kegiatan dan intensitas dampaknya relatif rendah sehingga tidak ada lagi ketidakpastian masalah pengelolaan dampaknya tidak perlu menyusun Dokumen UKL - UPL, dan dapat langsung melakukan berbagai upaya pengelolaan dan upaya pemantauan lingkungan yang sesuai dengan standar dan norma yang berlaku.


Bersambung .....