Wednesday, July 11, 2012

KONFLIK DI KAWASAN PERTAMBANGAN



Pertambangan, suatu aktivitas penggalian mineral dari perut bumi yang telah diusahakan oleh manusia sejak mulainya peradaban. Zaman batu, zaman perunggu, zaman besi hingga baja menjadi acuan penentuan era peradaban manusia, perambangan menjadi penanda yang penting. Begitu vitalnya aktivitas pertambangan hingga kita kerap mendengar “everything begin with mineral”. Begitulah kira-kira pemeo yang bekumandang dan seperti yang kita lihat bahwa komputer, jam tangan mobil, pesawat kereta, jalan, gedung dan bangunan dan hampir tak ada sekeliling kita yang tidak berasal dari mineral dan aktivitas tambang.





Manusia tak bisa lepas dari mineral (www.mii.org)


Pertambangan pada dasarnya adalah aktivitas untuk mensejahterakan manusia. Dengan teknologi yang makin berkembang, main beragam jenis bahan tambang yang dapat diusahakan. Lambat laun perkembangan pertambangan sebagai industri sangat terkait dengan banyak pihak dan kegiatan. Tidak lagi hanya kebutuhan primer, kapitalisme yang membumbung telah membawa pertambangan di ranah yang kian sulit dimengerti. Pertambangan begitu dinamis hingga tidak dapat diajarkan di sekolah secara detail.

Kapitalisme ini mengarahkan pertambangan pada beragam konflik mulai dari konflik politis, sosial, budaya hingga ekonomi global. Konflik di kawasan pertambangan khususnya di Indonesia banyak berkembang dipicu oleh dua perubahan dasar yakni kondisi ekonomi dan hukum. Kondisi ekonomi dipicu oleh merosotnya kesejahteraan sebagian masyarakat Indonesia paca krisis moneter. Kemudian kondisi hukum yang tiada menentu menyebabkan banyaknya celah pemegang modal memanfaatkan rakyat untuk mendapatkan akses ke sumber daya mineral. 

Contoh konflik pertambangan di Afrika yang melibatkan aparat


Seperti konflik PT. NMR (Newmont Minahasa Raya) dengan “mereka” yang mewakili masyarakat sekitar Teluk Buyat, Indumuro Kencana dengan Penambang Tanpa Izin (PETI), konflik pemanfaatan mineral timah dengan masyarakat Tambang Ilegal (TI) hingga PETI batubara di Kalimantan Selatan. Konflik ini berkembang sangat cepat dan meluas ke berbagai pihak. Dapat dikatakan bahwa konflik di lahan tambang melibatkan banyak aktor intelektual dan juga pemegang modal.

Apabila di ditelaah maka dapat dikatakan bahwa akar pemasalahan konflik pertambangan ini terjadi pada dua tataran. Pertama adalah pada tataran mikro dimana konflik ini terjadi antara perusahaan dengan masyarakat setempat, pemerintah atau dengan oknum spekulan dan aparat. Konflik ini umumnya terjadi pada tataran lokal dan melibatkan internal perusahaan dengan penambang tanpa izin seperti terjadi di tambang batubara di Kalsel, TI timah di Babel maupun di Sulawesi Utara. DI beberapa tempat bahkan ada indikasi aparat menjadi katalis atas meruncingnya konflik di wilayah itu sendiri.


Konflik pertambangan di tataran mikro (Dzulkarnain, 2006)


Kemudian yang kedua terjadi pada tataran makro dimana pada lingkup horizontal lebih luas mencakup konflik antar departemen pemerintah, lembaga kehutanan dan NGO, dengan pemerintah pusat dan daerah. Contohnya adalah ketika diterbitkan Undang-undang No. 41 tentang Kehutanan yang menyebabkan tehentinya laju eksplorasi dan eksploitasi beberapa perusahaan yang telah mendapat KP atau KK di wilayah Hutan Lindung, kemudian definisi hutan lindung yang tidak jelas. Tumpang tindihnya wilayah tambang dengan hutan lindung ini bagi sebagian orang terlihat karena adanya ego sektoral dan lemahnya law enforcement.


Konflik pertambangan di tataran makro (Duzlkarnain, 2006)


Konflik pertambangan ini menjadi bengitu kompleks dan rumit karena konflik tataran makro dan mikro ini menjadikan konflik meyatukan berbagai variabel dengan lainya yang saling mempengaruhi. Seperti yang terjadi di Freeport Papua, publik awalnya berpendapat bahwa permasalahan disana adalah marginalnya pemerataan kesejahteraan sebagai dampak dari hadirnya PT. Freeport Indonesia. Kemudian berkembang menjadi isu sosial ke arah masyarakat suku pribumi (Amungme, Komoro dan lainya) terkait dengan wilayah. Itu baru masuk ke tataran mikro.


Ketidakterimaan masyarakat dapat berujung pada konflik eksternal perusahaan





Lalu selanjutnya berkembang ke tataran makro dimana PTFI dianggap bertanggung jawab terhadap kerusakan lingkungan akibat pembuangan tailing sepanjang Sungai Ajkwa, dimana tuntutan ini dikeluarkan mulai dari NGO lokal dan internasional hingga Kementerian Lingkungan Hidup. Lalu belakangan ini merambah ke isu keamanan yang melibatkan aparat keamanan negara. Jadi konflik pertambangan ini menjadi begitu luas dan makin sulit untuk dibenahi tanpa adanya good will dari tiap-tiap institusi.


Freeport, kompleksitas konflik pertambangan indonesia



Di bawah ini adalah beberapa isu konflik pertambangan yang kerap terjadi pada tataran mikro seperti:
  • Isu pelaksanaan CSR, CSR saat ini sudah mulai dimasukan sebagai integrasi aktivitas tambang dan bukan lagi bersifat charity semata. CSr lebih menekankan peran dan tanggung jawab sosial perusahaan terhadap kesejahteraan masyarakat sekitarnya. Program CSR yang berhasil haruslah diintegrasikan ke dalam strategi menyeluruh dari perusahaan.  CSR harus disadari oleh perusahaan sebagai upaya membangun hubungan yang baik dengan salah satu pemangku kepentingan perusahaan, yaitu masyarakat luas yang terkena dampak operasi perusahaan. Sebagai konsekuensi kesadaran bahwa perusahaan haruslah tampil sebaik mungkin di hadapan seluruh pemangku kepentingannya, CSR untuk masyarakat haruslah menjadi bagian integral dari strategi perusahaan. 


CSR menjadi salah satu kunci keberhasilan dan keberlanjutan pertambangan


  • ·         Akses terhadap kepemilikan sumberdaya mineral, Kesempatan untuk mendayagunakan sumberdaya mineral atau dapat dikatakan perlombaan eksploitasi ini umumnya menimbulkan rasa ketidakadilan. Perusahaan dianggap memiliki akses yang luar biasa besar, sementara masyarakat tidak diberikan akses yang sama. Meskipun pemerintah melalui UU Minerba NO. 4 tahun 2009 telah menetapkan wilayah pencadangan mineral dan wilayah pertambangan rakyat. Ketimpangan akses ini juga umumnya memicu timbulnya PETI yang “merasa” juga berhak mendapatkan akses yang sama, meskipun secara legalitas tidak dimiliki.
  • ·         Kesempatan dan persaingan kerja, Umumnya konflik ini dipicu oleh kesempatan kerja antara masyarakat pendatang di perusahaan dengan putra daerah. Seperti diketahui, industri tambang sangat spesifik, high risk, high capacity dan high technology sehingga pekerja datang dengan kemampuan tinggi dan renumerasi yang sesuai. Kemudian masyarakat sekitar umumnya adalah mereka dengan kemampuan skill terbatas bahkan tingkat pendidikan juga tidak tinggi sehingga kesempatan berusaha mereka lebih kecil dari para pendatang. Gap yang terjadi inilah yang memicu timbulnya konflik akibat persaingan kerja dengan putra daerah.
  • ·         Hak ulayat dan hak individu, Tentunya konflik ini berakar dari ketidakpenerimaan masyarakat terhadap perusahaan akibat terambilnya tanah warisan dan ulayat masyarakat setempat. Tanah ulayat di klaim sebagai kewenangan, yang menurut hukum adat, dimiliki oleh masyarakat hukum adat atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan warganya, dimana kewenangan ini memperbolehkan masyarakat untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah, dalam wilayah tersebut bagi kelangsungan hidupnya. Masyarakat dan sumber daya yang dimaksud memiliki hubungan secara lahiriah dan batiniah turun temurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan. Jadi mengambil tanah dna hak ulayat tentunya akan memutuskan hubungan mekanis antara masyarakat denga leluhurnya


Hak ulayat, tidak hanya terjadi di pertambangan



·         Kerusakan lingkungan, Pastinya ini adalah konflik menerus yang dihadapi oleh pertambangan. Kerusakan lingkungan adalah ancaman serius mengingat aktivitas tambang pada dasarnya bersifat destruktif karena merubah bentang alam, sifat fisik dan kimia tanah, bahkan perubahan ekosistem lingkungan secara total. Selain aktivitas tambang, aktivitas turunan juga turut menyisakan kerusakan lingkungan seperti terjadinya air asam tambang (acid mine drainage) akibat teroksidasinya mineral yang mengandung sulfida. Dampak ini tentunya memprihatinkan karena kerusakanya tidak dapat ditanggulangi dalam waktu cepat.
·         Dampak PETI, PETI atau pertambangan tanpa izin adalah salah satu konflik multi kompleks yang terjadi di pertambangan indonesia. Dikatakan multi kompleks karena meliatkan banyak stakeholder makro maupun mikro. Banyak yang berkepentingan atas hadirnya PETI di wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) perusahaan.

PETI sendiri bermakna usaha pertambangan yang dilakukan oleh perseorangan, sekelompok orang, atau perusahaan yayasan berbadan hukum yang dalam operasinya tidak memiliki Izin dan instansi pemerintah sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. PETI umumnya diawali oleh keberadaan para penambang tradisional, yang kemudian berkembang karena adanya faktor kemiskinan, keterbatasan lapangan kerja dan kesempatan usaha, keterlibatan pihak lain yang bertindak sebagai cukong dan backing, ketidakharmonisan hubungan antara perusahaan dengan masyarakat setempat, serta krisis ekonomi ber­kepanjangan yang diikuti oleh penafsiran keliru tentang reformasi. Di sisi lain, kelemahan dalam penegakan hukum dan peraturan perundang-undangan yang menomorsekiankan pertam­bangan (oleh) rakyat, juga ikut mendorong maraknya PETI.

Kegiatan PETI yang tidak mengikuti kaidah-kaidah pertam­bangan yang benar, telah mengakibatkan kerusakan lingkungan, pemborosan sumber daya mineral, dan kecelakaan tambang. Disamping itu, PETI bukan saja menyebabkan potensi penerimaan negara berkurang, tetapi juga Negara/Pemerintah harus mengeluarkan dana yang sangat besar untuk memperbaiki kerusakan lingkungan. Hal lain yang perlu dicermati adalah PETI umumnya identik dengan budaya kekerasan dan premanisme, prostitusi, perjudian, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan pengingkaran terhadap norma-norma agama. Budaya pencurian' termasuk menjarah, semakin berkembang, sehingga memberikan pengaruh buruk bagi mereka yang ingin berusaha sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. 



Kerusakan lingkungan akibat PETI


Lalu apa sajakah yang dapat menjadi trigger terjadinya konflik di pertambangan..? salah satu faktor terbesar adalah persoalan ekonomi dimana terjadi kekurangpahaman hukum di tataran masyarakat lokal. Masyarakat tidak ikut serta dalam pemanfaatan SDA minerl oleh perusahaan sehingga kesejahteraan mereka sendiri tidak terangkat. Padahal sebagai agen of development, kehadiran perusahaan seharusnya mampu membawa perubahan positif dan menjadi penggerak di berbagai bidang ekonomi lanjutan (multiplier effect).

Kemudian ada pemicu berganda lain seperti penggunaan lahan milik masyarakat oleh perusahaan tanpa diwujduanya legalitas yang menguntungkan kedua pihak. Akibanya menyebabkan terputusnya hubungan mekanistik antara masyarakat dengan habitat asal dan lingkungan sosialnya dan merubah ritme kehidupan mereka. Sebagai pemilik awal, ini juga kerap memicu adanya sikap”menuntut” ini dan itu terhadap perusahaan.

Lalu bagaimana dengan konsep pemberdayaan (empowerment) masyarakat sekitar tambang yang saat ini digadang-gadangkan sebagai konsep membangun tambang yang berkelanjutan..? Meski diakui bahwa konsep ini yang diselaraskan dengan Corporate Social Responsibility (CSR) baru berada pada milestone awal dan terkdang di perusahaan bukan menjadi prioritas. CSR dianggap sebagai terobosan baru di dunia perusahaan terlebh untuk perusahaan ekstraktif, karena menggabungkan prinsip “people and planet” dalam aktivitas pencarian “profit” perusahaan.

Diakui atau tidak, CSR di Indonesia khususnya di industri ekstraktif seperti pertambangan merangkak menuju pendewasaan pola pikir dan kemampuan membangun diri masyarakat. Perusahaan sebagai stake holder utama harus mampu menganggap hubungan masyarakat dengan perusahaan adalah mitra yang sejajar. Jangan menganggap program Comdev sebagai charity semata atau hanya memberi kail tetapi tidak mampu mengajarkan bagaimana cara memancing yang tepat.

Secara garis besar bahwa konflik pertambangan dapat terjadi karena belum tersusunnya kebijakan pemanfaatan SDA secara optimal oleh Pemerintah pusat dan daerah sebagai suatu kepentingan nasional. Juga oleh belum didukungnya optimasi national resources sustainability antara pertambangan, kehutanan, lingkungan hidup yang seharusnya dibentuk dalam management yang integral