Tuesday, May 3, 2011

Merekontruksi Pemikiran Terhadap Pertambangan (Bagian II)


3. Eksploitasi Tanpa Reklamasi

Pernyataan ini terlalu sederhana karena tidak menampilkan fakta selain eksploitasi tersebut. Hasil dari pernyataan ini adalah pemikiran di masyarakat bahwa pertambangan adalah aktivitas eksploitasi tanpa memikirkan recovery lingkungan. Beberapa organisasi dan lembaga swadaya masyarakat bahkan gencar mempromosikan gagasan menolak dan ingin menutup aktivitas pertambangan dengan dalih merusak lingkungan dan tak pernah melakukan perbaikan lingkungan, mari kita cek.

Sejak berhasil dan dilakukannya studi kelayakan detail, maka aktivitas penambangan khususnya tambang terbuka akan mengeksploitasi suatu lokasi di wilayah Kontrak Karya Eksploitasinya. Apabila eksploitasi di lokasi tersebut sudah selesai dan akan berpindah ke lokasi lainnya (dalam wilayah KK Eksploitasi yang sama tentunya), maka lokasi yang telah dieksploitasi (lahan eks tambang) ini haruslah di reklamasi. Jadi relamasi dapat dilakukan bahkan ketika perusahaan masih beroperasi.


Countouring, melakukan perataan tanah untuk reklamasi

Dengan diterbitkannya UU No. 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Pasal 101 tentang reklamasi dan pasca tambang) dan Peraturan Pemerintah tentang Reklamasi dan Pasca Tambang telah dituliskan ketentuan umum dan langkah-langkah yang harus dilakukan perusahaan dalam melakukan aktivitas reklamasi lahan eks tambangnya. Peraturan ini menjadi pijakan utama dalam mengedepankan recovery lingkungan di lahan eks tambang.

Melakukan reklamasi adalah suatu investasi, investasi keamanan lingkungan, investasi penyediaan sumberdaya terbaharui di masa depan bahkan juga investasi modal bagi perusahaan itu sendiri. Lahan reklamasi bukan tidak mungkin dikembangkan menjadi lahan yang menghasilkan untuk ditanami dengan tanaman pangan atau tanaman produksi. Di jepang ada areal eks tambang yang direklamasi menjadi tanaman jati dan berhasil menjadi produsen kayu terbesar. Ini hanya salah satu investasi real dari reklamasi.

 
Lahan esks tambang yang telah di reklamasi (PT.NNT)

Bayangkan bagaimana sulitnya apabila perusahaan tambang melakukan melakukan reklamasi lahan eks tambang menunggu seluruh lokasi dieksploitasi, tentunya akan timbul begitu banyak kesulitan. Begitu besar biaya yang ditimbulkan, waktu dan tenaga yang tersita.

4. Seluruh Aktivitas Pertambangan Merusak Lingkungan.

Pemikiran ini bila dimaknai rasanya menyesatkan, karena menilai secara buta dan menghakimi dari ruang tamu saja. Pandangan ini tidak melihat secara proporsional, menafikan usaha untuk mengimplemantasikan good mining practice sebagai guideline aktivitasnya dan meminimisasi dampak lingkungan. Masih banyak yg perlu dilihat untuk dapat membenarkan pemikiran diatas.

Pemikiran ini mungkin hanya berdasar pada persepsi visual saja. Pelu diketahui bahwa kondisi factual aktivitas pertambangan Indonesia dilakukan oleh dua kelompok besar, pertambangan yang memiliki izin dan yang tanpa izin (PETI). Pertambangan yang memiliki izin bekerja atas dasar legitimasi dari pemerintah melalui Kontrak Karya (KK), Kuasa Pertambangan (KP) atau Perjanjian Karya Pengusahaan Batubara (PKP2B) jika mengacu pada UU No. 11/1967 dan Izin Usaha Pertambangan (IUP) jika mengacu pada UU No. 4/2009 tentang Mineral dan Batubara.

Mereka yang mendapat legitimasi berusaha melakuan aktivitas penambangan yang sistematis, terencana dalam usaha meningkatkan nilai tambah usaha pertambangan sekaligus minimisasi dampak negate terhadap lingkungan. Ini juga merupakan tuntutan dari shareholders (pemerintah dan pemilik modal) sehingga aktivitas diatas merupakan keharusan.

Minimisasi dampak negatif terhadap lingkungan juga dilakukan saat aktivitas penambangan dengan memantau dampak secara rutin dan di akhir penambangan dilakukan perbaikan fungsi lahan yang telah digunakan atau reklamasi.

 
Pemantauan check point secara berkala oleh perusahaan tambang

Saat ini industri tambang telah memiliki panduan dalam melakukan aktivitas pertambangan yang tepat dan sesuai aturan, yaitu Good Mining Practice. Metode ini akan mengarahan perusahaan pertambangan beraktivitas mengikuti kaidah pertambangan yang baik dan mengedepankan fungsi lindung lingkungan secara berkelanjutan. Meski begitu, biarpun telah direncanakan menurut kaidah pertambangan yang baik dan benar, tetap saja industri ini berpotensi menurunkan fungsi lingkungan.

Good Mining Practice ini juga sejalan dengan agenda internasional untuk mengutamakan pembangunan berkelanjutan. Terbukti dengan gerakan seperti Mining, Mineral and Sustainable Development (MMSD) atau Global Mining Initiatives (GMI) yang telah melalukan berbagai riset, konsultasi dan analisis sehingga industir pertambangan dapat meminimisasi dampak negatif aktivitasnya. Di Indonesia juga telah hadir Forum Reklamasi Tambang dan Hutan Lindung dan kerjasama tambang lingkungan lainnya.

MMSD bahkan telah menerbitkan laporan Breaking New Ground di tahun 2002 yang bersisikan standard dan pedoman serta rekomendasi untuk industri tambang dalam rangka minimisasi dampak negatif lingkungan dan juga bagi masyarakat lingkar tambang sebagai mitra untuk pembangunan yang berkelanjutan.

Lalu juga di level nasional telah diterbitkan berbagai peraturan dan standar pedoman tata cara penambangan yang benar. UU No. 23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, mewajibkan perusahaan melakukan analisis dampak lingkungan dan sosial sebelum kegiatan dimulai. Hal ini bertujuan untuk meminimalisasi dampak negatif, memantau dan melakukan penegakan hukum andai perusahaan melanggar. Lebih jauh lagi, penilaian PROPER juga mensyaratkan perusahaan tambang harus mengedepankan nilai lindung lingkungan dan masyarakat.

Penilaian ini dapat menjadi image perusahaan. Dapat dibayangkan bagaimana citra perusahaan akan jatuh jika masuk dalam kategori PROPER HITAM. Begitu banyak ketidakpercayaan dan persepsi negatif untuk mereka, bahkan pemerintah berhak menghentikan aktivitasnya. Demikian pula jika masuk dalam kategori PROPER HIJAU dan EMAS. Adalah penghargaan dan kebanggaan serta nilai tambah bagi perusahaan itu.

 
 
PROPER, penghargaan terhadap lingkungan dan keberlanjutan

Lalu ada kelompok lain yaitu aktivitas pertambangan yang tidak mengantongi legitimasi dari pemerintah dikenal sebagai Penambang Tanpa Izin (PETI). Mereka tidak memiliki lokasi maupun izin resmi bahkan melakukan penggalian di areal perusahaan berizin dan sudah eksplorasi. Wilayah kerja pertambangan ini sudah mencakup ribuan hektar dan tersebar di beberapa wilayah pertambangan Indonesia.

Aktivitas penambangan juga dilakukan dengan banyak keterbatasan, keterbatasan teknik penambangan, modal, ekosisioekonomik dan juga keberlanjutan lingkungan. Namun perlu diketahui bahwa eksistensi mereka juga didukung oleh pemodal besar dan oknum keamanan. Aktivitas hanya dilakukan untuk memaksimalkan keuntungan jangka pendek tanpa mengutamakan kaidah penambangan, keselamatan kerja dan nilai lindung lingkungan.

 
 
Pengolahan emas tradisional dengan gelundung dan merkuri yang mencemari lingkungan dan merusak kesehatan



Aktivitas yang merambah hutan, beroperasi diatas lahan KP lain, menggunakan bahan berbahaya dan beracun, penanganan limbah yang minim, tak melakukan reklamasi dan perbaikan lingkungan yang signifikan adalah ciri khas kegiatan tambang jenis ini.


 
Penambang liar yang beroperasi di wilayah PT. Arutmin

Nah pertambangan seperti inilah yang banyak disorot dan dijadikan headline untuk dieksploitasi besar-besaran sehingga kritikus hanya menonjolkan sisi negative pertambangan. Kritik tidak proporsional ini lebih menuju upaya untuk menghentikan aktivitas pertambangan di Indonesia.

Disadari atau tidak, bahwa sejarah peradaban manusia dinilai dan selalu membutuhkan bahan tambang, bahkan zaman perunggu dinyatakan sebagai salah satu era moderenisme sejarah manusia. Batubara, minyak bumi, gas adalah sumber energy yang menggerakan pembangunan. Pasir, batuan dan agregat lainnya selalu digali untuk memenuhi kebutuhan primer “papan” manusia.

Bukanlah solusi terbaik dengan menghentikan usaha pertambangan. Ini jelas tidak menyelesaikan persoalan karena kebutuhan selalu akan bahan tambang. Jika saja seluruh tambang yang menerapkan tata cara penambangan yang baik dan benar ini ditutup, akan muncul penambangna tanpa izin yang justru menimbulkan dampak kerusakan lingkungan dan sosioekonomi jauh lebih besar.

 
5. Setelah Tambang Selesai Akan Menjadi Kota Mati (Ghost Town)



Setelah cadangan habis dan operasi tambang selesai, maka lokasi tambang akan ditinggalkan sehingga menjadi kota mati. Ini adalah ungkapan yang menjadi phobia pertambangan bagi sebagian orang. Ini adalah persepsi lama yang tercermin dari era penjajahan, dimana pertambangan identik dengan tindakan eksploitatif, termasuk meninggalkan area apabila cadangan telah habis. Ketakutan yang saat ini tidak lagi beralasan karena era Bonanza telah lewat.

Secara etimologis, penutupan tambang memiliki makna suatu keadaan penghentian operasi pertambangan untuk jangka waktu lama. Penyebab penghentian operasi ini sangat bervariasi, seperti habisnya cadangan bijih, perubahan-perubahan kondisi pasar yang menyebabkan operasi menjadi tidak ekonomis, habisnya masa kontrak karya dan juga timbulnya dampak negatif yang sangat besar terhadap lingkungan. Di Indonesia, pada umumnya, penutupan tambang diakibatkan oleh habisnya cadangan bijih yang ekonomi di suatu lokasi pertambangan.

Penutupan tambang ini tentunya akan berdampak besar bagi aktivitas development di suatu wilayah khususnya ekonomi social budaya. Mengacu pada peraturan di Indonesia, maka perusahaan diwajibkan untuk menyusun dan menyampaikan rencana atau dokumen penutupan tambang yang menuliskan terperinci tentang penutupan tambang beserta komponen yang mesti dikelola, sosialisasi kegiatan penutupan dan prediksi biayanya.

Dan selama proses penutupan tambang itu berjalan, perusahaan memiliki kewajiban untuk mengembalikan wilayah KP dan KK kepada pemerintah dan berhak mengemas segala peralatan dan perlengkapan produksi kecuali segala sesuatu yang dihibahkan untuk kepentingan umum. Perusahaan harus pula menetapkan guaranty money sebagai dana jaminan untuk reklamasi lahan serta melakukan audit lingkungan hingga tahapan ini benar-benar selesai termasuk menyusun aktivitas monitoring penutupan tambang.

 
 
Perubahan morfologi daratan yang ditimbulkan akibat aktivitas penambangan terbuka

Untuk itu perusahaan tambang harus comply terhadap ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia dalam melakukan penutupan tambang. Dalam PP No. 32 Tahun 1969 tentang pelaksanaan UU No. 11 Tahun 1967 mengenai ketentuan-ketentuan pokok pertambangan, pasal 46 (4) menyatakan bahwa sebelum meninggalkan bekas wilayah KP, baik karena pembatalan maupun hal yang lain, pemegang usaha KP harus terlebih dahulu melakukan usaha-usaha pengamanan terhadap benda-benda maupun bangunan-bangunan dan keadaan tanah sekitarnya yang dapat membahayakan keamanan umum.

Kemudian juga dengan comply terhadap Undang-undang Mineral dan Batubara o. 4 tahun 2009 khususnya Pasal 101, tentang Reklamasi dan Pascatambang. Menurut aturan ini Kegiatan pascatambang, yang selanjutnya disebut pascatambang, adalah kegiatan terencana, sistematis, dan berlanjut setelah sebagian atau seluruh kegiatan usaha pertambangan untuk memulihkan fungsi lingkungan alam dan fungsi sosial menurut kondisi lokal di seluruh wilayah penambangan berakhir. Kemudian juga disebutkan tentang dana jaminan reklamasi yaitu dana yang disediakan oleh perusahaan sebagai jaminan untuk melakukan reklamasi. Selain itu ada pula Jaminan Pascatambang adalah dana yang disediakan oleh perusahaan untuk melaksanakan pascatambang.

Pelaksanaan penutupan tambang ini harus comply terhadap prinsip-prinsip lingkungan hidup seperti


  • perlindungan terhadap kualitas air permukaan, air tanah, air laut, dan tanah serta udara sesuai dengan standar baku mutu lingkungan
  • Perlindungan keanekaragaman hayati
  • Stabilitas keamanan timbunan overburden, kolam tailing, lahan eks tambang serta struktur buatan lainnya
  • Pemanfaatan lahan eks tambang sesuai peruntukannay serta
  • Menghormati terhadap nilai-nilai social dan budaya setempat

 
UU No. 4 ahun 2009 tentang Mineral dan Batubara, mengharuskan tambang untuk menyusun rencana reklamasi dan pasca tambangnya saat mengajukan permohonan Izin Usaha Pertambangan (IUP) produksi. Pelaporan pasca tambang dilaksanakan secara serius dan termonitoring dengan baik. Selain itu ada pula sanksi yang diterapkan pada perusahan yang tidak mematuhi system pelaksanaan penutupan tambang, mulai dari teguran tertulis hingga penutuan paksa perusahaan tambang.
 
Cekungan tambang terbuka, perlu perencanaan matang dan konsisten untuk mengembalikan ke rona awal atau rona baru yang disesuaikan

Yang perlu diingat, hasil yang dicapai dari aktvitas penutupan tambang ini terhadap masyarakat adalah menciptakan masyarakat yang mandiri dan sejahtera. Jika perusahaan tersebut telah memasuki masa tambang, maka masyarakat dapat hidup dari swadaya mereka sendiri, tidak lagi tergantung padaperusahaan pertambangan. Bukan justru menciptakan kesenjangan apalagi ghost town paca penutupan tambang.

Kelian Equatorial Mining (PT.KEM) adalah salah satu contoh penutupan tambang yang tergolong berhasil. Kegiatan pertambangan emas yang dilakukan menggunakan metode tambang terbuka (open pit) dihentikan pada pertengahan Mei 2003 karena habisnya deposit yang ekonomis. Hingga Februari 2007, luasan lahan eks tambang yang telah direklamasi mencapai 91,5% dari total 1.192 Ha termasuk lahan pengganti di luar eks tambang. Lahan pengganti ini diberikan karena adanya lahan bekas penambangan yang tidak dapat direhabilitasi karena digenangi air seperti di bekas Pit dan Dam Namuk. Rehabilitasi ini dilakukan di tiga daerah yaitu Dataran Lingau, Bukit Suharto dan Nakan Spillway. Dam Namuk adalah lokasi open pit yang tidak dapat dikembalikan fungsinya sehingga diubah menjadi fungsi lain yaitu sebagai danau penampung air tawar (Dam).

 
Dam Namuk di Lahan Eks Tambang PT KEM

Prediksi Hasil Penutupan Tambang PT. KEM Tahun 2013
 
Alasan lain dijadikannya Dam Namuk ini sebagai danau adalah upaya menghindari masyarakat untuk mencari emas dalam tailing yang berpotensi menimbulkan bahaya lingkungan dan keselamatan yang serius.

Lantas bagaimana kita dalam menyikapi kegiatan pertambangan..? Sikap bijaksana adalah sikap terbaik yang dapat kita tunjukkan. Arif menilai secara holistic dan bukan parsial. Meski aktivitas pertambangan tetap berpotensi menimbulakn dampak negative, akan kita memandang bahwa “memilih tambang yang lebih sedikit memberi kerugian daripada yang lebih banyak”.































Sunday, May 1, 2011

Merekontruksi Pemikiran Terhadap Pertambangan (Bagian I)

Pertambangan pada dasarnya merupakan industri yang mengambil mineral dari dalam bumi lalu memprosesnya sebagai bahan tambang untuk menghasilkan berbagai produk yang dibutuhkan umat manusia. Pada dasarnya, ada tiga klasifikasi bahan tambang yang dimanfaatkan manusia, yaitu logam seperti emas, timah, perak maupun tembaga. Kemudian kedua mineral industri atau bahan galian golongan C seperti andesit, granit, sirtu, batu kapur, bentonit kemudian terakhir adalah bahan tambang untuk energy seperti batubara, coal bed methane, minyak bumi dan gas alam.

Produk yang dihasilkan dari industri pertambangan mineral umumnya masih berupa produk setengah jadi atau hanya di kategori round I. tetapi produk inilah yang menjadi input utama bagi banyak industri hilir. Disadari atau tidak, hampir seluruh barang yang di sekeliling kita terkait dengan hasil produk pertambangan muai dari kebutuhan primer hingga tersier. Rumah, energy, minyak tanah, bensin atau lihatlah mobil, motor, pesawat, kereta api dan banyak kendaraan lainnya. Kemudian juga dengan laptop, lampu neon, perhiasan, serat optic dan kabel bawah laut. Hampir tidak ada kebutuhan kita yang tidak didukung dari hasil pertambangan.



Tembaga, salah satu produk pertambangan yang digunakan di banyak kebutuhan manusia

Sekarang rasanya tak adil jika kita menafikan peran penting dari industri pertambangan sehingga perlu perhatian proposional dalam memandang seperti apakah industri pertambangan itu sesungguhnya. Mengapa perlu memandang secara proporsional…??

Computer yang hampir seluruh bagian adalah produk tambang

Meski begitu, sejak digulirkannya reformasi beberapa waktu lalu, industri pertambangan terus mendapat sorotan dan banyak elemen masyarakat. Bnyak isu yang digulirkan untuk menyorot industri pertambangan. Isu moratorium hutan dan pelarangan aktivitas penambangan di wilayah hutan lindung menurut UU No. 41/1999 (yang kini telah dikeluarkan Perppu No. 1/2004 tentang Perubahan atas UU No. 41/1999 tentang Kehutanan yang telah mengizinkan beberapa perusahaan tambang untuk melanjutkan aktivitas penambangan akibat pelarangan aktivitas penambangan terbuka di kawasan hutan lindung), penyerobotan wilayah dan hak ulayat, pelanggaran HAM, pencemaran dan perusakan lingkungan, pemiskinan di masyarakat lingkar tambang.

Kembali ke pertanyaan diatas, kenapa harus memandang dengan proporsional..? karena dari berbagai isu yang dilontarkan banyak pengkritik seperti Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Organisasi Non Pemerintah (Ornop), aktivis lingkungan dan kelompok masyarakat tertentu selalu menonjolkan sisi negatif dan menghilangkan sisi positif sehingga cenderung mendiskreditkan aktivitas pertambangan. Bahkan banyak yang mengkritik pertambangan secara buta. Ujung-ujungnya dapat diterka yaitu untuk menghentikan aktivitas pertambangan di Indonesia. Secara ekstremnya dapat kita sebut Moratorium Pertambangan.

 
Moratorium untuk menghentikan aktivitas penambangan

Apabila kita telaah mendalam lagi, maka ada dua kategori argument yang dilontarkan oleh mereka yaitu mereka yang mengerti dan tidak mengerti sama sekali tentang pertambangan. Mereka yang mengerti tentunya akan mampu memberikan argument yang berdasarkan fakta dan dapat didiskusikan secara ilmiah. Namun bagi mereka yang tak mengerti –yang jumlahnya justru mayoritas- telah menimbulkan persepsi yang keliru dan menegatifkan pertambangan sehingga yang terjadi justru penyesatan informasi public.  

Telah banyak ditulis, ditayangkan di media mengenai cara pandang yang keliru dan menyesatkan. Besarnya gelombang kritikan ini menghujam pertambangan di satu sisi namun juga dapat menjadi celah untuk memposisikan diri sebagai industri yang memberikan manfaat.

Artikel ini hanya berusaha untuk meluruskan pernyataan dan persepsi yang keliru sehingga mampu untuk memberikan refleksi yang objektif dan proporsional. Lebih gamblangnya, untuk merekrontuksi pemikiran terhadap industri pertambangan itu sendiri.


Mari Merekrontuksi…!!!

Kekeliruan Persepsi Kelompok Pengkritik

Setidaknya ada 5 hal yang menjadi kekeliruan yang menonjol bagi kelompok pengkritik dalam memandang industri pertambangan yaitu pembukaan lahan secara ektensif, eksploitasi tanpa reklamasi, metode penambangan, kerusakan lingkungan dan post mining closure.



1. Pertambangan Membuka Lahan Secara Ekstensif

Pertama adalah pertambangan selalu dikaitkan dengan aktivitas membuka dan merubah lahan secara ektensif sehingga menghancurkan hutan dan ekosistem pendukungnya. Ada kekeliruan disini karena tidak karakteristik aktivitas pertambangan memandang secara holistic.

Begini gamblangnya, aktivitas pertambangan merupakan rangkaian dari beberapa rantai kegiatan utama yaitu ekplorasi (pencarian dan penilaian cadangan), eksploitasi (pengambilan mineral), pengolahan dan pemurnian mineral serta reklamasi dan pasca tambang. Eksplorasi merupakan aktivitas untuk menentukan keberadaan, karakteristik, kuantitas dan kualitas serta nilaikeekonomian cadangan tambang. Ini adalah aktivitas awal yang penuh resiko dan waktu lama. Penuh resiko karena hanya mengelurakan cost tanpa ada pemasukan dengan resiko tidak ditemukannya cadangan mineral dengan kualitas dan kuantitas yang diharapkan. Kemudian waktu yang dibutuhkan juga relative lama berkisar lima hingga belasan tahun.

Jadi dari resiko dan lamanya waktu eksplorasi tersebut, rupanya banyak memaksa ratusan perusahaan tambang untuk “gagal” masuk ke tahap eksploitasi, hanya terminasi atau penundaan. Data tahun 2004 dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral hanya 36 perusahaan yang mampu melaju ke tahap selanjutnya dibanding ratusan yang tertunda.

Untuk wilayah eksplorasi, pemerintah melalui PP No. 32/1969 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Pokok Pertambangan No. 11/1967 memberikan izin eksplorasi seluas 25.000 hektar. Sepintas wilayah ini cukup luas. Namun tunggu dulu, ternyata tidak seluruh wilayah tersebut menjadi aktivitas eksplorasi. Hanya pada lokasi-lokasi tertentu yang mengindikasikan cadangan ekonomis. Aktivitas eksplorasi pun difokuskan pada aktivitas pengeboran untuk mendapatkan data kualitas dan kuantitas cadangan sehingga dapat dikatakan hampir tidak ada wilayah hutan yang terganggu.

Bukaan selama proses eksplorasi hanya diperlukan untuk akses masuk dan sekitar lokasi peralatan eksplorasi. Jadi tidak ada pembukaan lahan secara ekstensif. Bahkan dengan teknoloig terkini seperti penginderaan jauh, remote sensing, ground and airborne geophysics mampu mengurangi secara signifikan luasan pembukaan lahan mengingat teknologi geofisik ini mampu mendeteksi dan menganalisis cadangan tanpa harus membuka lahan.

 
Pengeboran eksplorasi hanya menggunakan sangat sedikit lahan terbuka

Selain itu, sebagian wilayah akan dikembalikan kepada pemerintah sebagai relinquishment secara bertahap kalau tidak perusahaan akan terus terbebani oleh pajak sewa tanahnya. Pengembalian wilayah ini selain akan menjadi cost juga karena wilayah tersebut diketahui tidak memiliki cadangan ekonomis.

Apabila cadangan yang ditemui diyakini memiliki kualitas dan kuanttas ekonomik, maka aktivitas berlanjut ke tahapan eksploitasi yaitu untuk menggali dan memproses mineral lebih lanjut. Metode yang digunakan dalam eksploitasi secara umum ada dua yaitu dengan tambang terbuka dan tambang bawah tanah. Perlu diketahui bahwa sebelum eksploitasi dilakukan, harus dilaksanakan dhahulu studi kelayakan secara detail dan pembangunan kontruksi serta infrastruktur. Waktu persiapan eksploitasi ini sekitar 2-5 tahun dengan perkiraan dana mencapai US$ 10 juta-US$ 500 juta.

Dan dari wilayah yang digunakan dalam tahap eksploitasi ini, bukaan lahan hanya mencapai rata-rata 25% dari luasan eksplorasi atau sekitar 5.000 Ha. Dan inipun tidak seluruhnya dibuka. Hanya pada lahan yang dianggap ekonomis. Laporan dari Clive Aspinal pada tahun 2000 menunjukkan untuk luasan seluruh aktivitas eksplorasi tambang di Indonesia hanya membuka lahan seluas 135 ribu Ha atau hanya 0,1% dari luas seluruh wilayah hutan Indonesia.


2. Metode Penambangan

Yang kedua adalah bagaimana memilih metode penambangan yang tepat. Pemilihan metode penambangan bukan semata didasarkan pada pertimbangan biaya operasional. Criteria biaya ni hanyalah satu dari empat criteria lain sebagai dasar pemilihan metode penambangan. Criteria tersebut adalah lokasi cadangan, kondisi lingkungan, factor keamanan serta factor biaya.

Tidak ada satu manusiapun yang dapat menentukan lokasi keterdapatan tambang, begitupula dengan jenis metode yang akan dipilih. Cadangan terbentuk secara alamiah sebagai “given” dari yang Maha Kuasa. Apabila ia ada dalam di bawah tanah, hampir dapat dipastikan metode underground yang cocok, apabila terletak dekat permukaan maka tambang terbukalah yang akan digunakan.

Tambang terbuka diterapkan jika lokasi cadangan dekat dengan permukaan. Kemudian harus melakukan pembukaan lahan permukaan (land clearing) dan menyingkirkan tanah penutup (over burden). Metode ini memang memiliki tingkat produktivitas tinggi, biaya operasional rendah dan factor keselamatan kerja yang cukup tinggi.




Tambang nikel dilakukan dengan open pit karena letak cadangannya dekat permukaan

Tambang bawah tanah diperuntukan untk mengambil cadangan yang relatif jauh di bawah permukaan. Tambang bawah tanah ini hanya membuka sebagian kecil lahan di permukaan untuk penyediaan akses, infrastruktur kantor dan fasilitas pengolahan. Karena aktivitas eksploitasi dilakukan dibawah tanah, hampir tidak ada lahan permukaan yang tergangu.

Tidak ada yang dapat memaksakan pemilihan metode penambangan selain kondisi alamnya. Proses geologi yang menentukan bagaimana kondisi cadangan, dapat terletak dekat permukaan (seperti nikel dan timah) sehingga dilakukan tambang terbuka ataupun jauh di dalam bumi (endapan skarn emas dan tembaga atau vein emas) sehingga diterapkan tambang bawah tanah.

Sebaliknya endapan yang karena proses geologi pembentukannya sehingga berada jauh di bawah permukaan, diatas 500 m, seperti emas di Pongkor, hanya tambang dalam yang sesuai karena andai diterapkan tambang terbuka akan membutuhkan total biaya operasi besar untuk menyingkirkan tanah penutup sebelum mencapai endapan.

 
Tambang bawah tanah dan alat mekanisnya

Lalu bagaimana jika harus menambang di suatu lokasi dimana di permukaan terdapat wilayah yang tidak boleh terganggu seperti hutan lindung atau taman nasional misalnya..? inilah yang menjadi perbincangan menarik karena ada banyak pertimbangan disini. Jika harus ditambang dengan tambang bawah tanah, harus dipastikan kekuatan batuan dan kondisi geologi, jika rapuh justru sangat beresiko membahayakan keselamatan pekerja. Pemilihan ini mesti dilakukan analisis mendalam. Ada contoh menarik ketika tambang bawah tanah di Varengeville, Prancis, misalnya, diterapkan untuk menambang endapan garam yang berada di bawah permukiman padat.

Khusus untuk tambang batubara, endapan batubara Indonesia umumnya relative datar dan berlapis, terletak dekat dengan permukaan dan kekuatan batuan batubara dan samping yang lemah akibat besarnya pelapukan. Oleh karenanya, dengan konsideran karakteristik endapan dan keselamatan kerja, aktivitas penambangan batubara Indonesia umumnya dilakukan dengan metode tambang terbuka.

(bersambung...)