Tuesday, June 21, 2011

Pertambangan dalam perkembangan peradaban manusia (bagian III, a snapshoot)

Ada penelitian yang menarik dari Zulkarnain et all, seorang peneliti dari LIPI pada tahun 2004 yang menyatakan ada tiga hal utama yang menyebabkan terjadinya konflik kepentingan sector pertambangan pada tataran makro yang menyebabkan tidak sinergisnya performa dan arah kebijakan pertambangan Indonesia. Konflik tersebut mencakup konflik antar pemerintah pusatkhususnya Kemenerian Energi dan Sumber Daya Mineral dengan Kementerian Kehutanan dan Kementerian Lingkungan Hidup, konflik antar Pemerintah Daerah dengan Pusat dan konflik pemerintah daerah dengan pemerintah daerah. Kesemuanya ini menunjukkan munculnya ego sektoral antar lembaga.


Forum Reklamasi Tambang dan Hutan Lindung untuk menjembatani Kemenhutbun dengan KESDM

Selain itu, ada pula konflik di tataran masyarakat atau mikro yang sangat terkait dengan operasional dan potensi penurunan fungsi lingkungan. Pertama adalah konflik kiltural dimana setelah Reformasi, kebebasan yang brutal justru banyak memacu kisruh pada  pemakaian symbol symbol entnik. Kemudian ketidakpuasan terhadap pengelolaan sumber daya mineral pra reformasi dimana sentralisasi pemanfaatan ini hanya dinikmati oleh kalangan tertentu. Kemudian adanya konflik pemanfaatan sumberdaya mineral oleh Penambang Tanpa Izin yang semakin menggurita.

Penambang Tanpa Izin, konflik multi kepentingan
Itu adalah sebagian kendala yang dihadapi oleh industry pertambangan di Indonesia dan polanya hampir serupa di seluruh wilayah. Terlebih lagi pada industry tambang berskala besar, kondisi ini dapat makin parah. Operasional cost dapat saja membengkak bukan karena peningkatan cost production, melainkan social cost dan permitted cost.

Memang mebutuhkan kepekaan lebih dari seorang manager atau CEO perusahaan tambang untuk dapat mengendalikan dan mensinergiskan arah progesifitas industry tambang khususnya di Indonesia. Perusahaan sebagai operator pertambangan harus sadar untuk menyusun kebijakan perusahaan yang dapat menjalankan operasional perusahaan yaitu dengan mendapatkan profit tetapi juga mampu menghindari konflik baik tataran mikro mapun makro.

Satu hal yang terkadang sering dilupakan para operator tambang, pemerintah dan bahkan pemegang saham adalah diperlukannya Local Permitted atau Local Licenses dari institusi di lingkar tambang. SIM atau “Surat Ijin Mengoptimalkansumberdaya” ini merupakan perkenaan yang diberikan oleh masyarakat lingkar tambang atas hadirnya industry ekstraktif ini.

 
Seluruh stakeholders perlu dilibatkan dalam pengambilan keputusan

Pemberian licenses ini tentunya menunjukkan adanya itikad baik dari seluruh stakeholder untuk dapat menerima hadirnya industry tambang. Yang dikedepankan dari licenses ini adalah itikad baik, saling percaya dan mitra sejajar antara operator dan masyarakat sekitar. Ini merupakan awal yang bagus dari rangkaian panjang aktivitas perusahaan yang akhirnya dapat member benefit berkurangnya potensi konflik.

Tetapi ceritanya akan berbeda jika yang mucul adalah penolakan masyarakat. Pastinya konflik kepentingan yang banyak terjadi. Penolakan ini merupakan unjuk sikap tidak bersedianya masyarakat (dan stak holder lainnya) untuk menerima industry tambang. Bermacam-macam alas an yang melatarbelakangi penolakan ini, ancaman penurunan lindung lingkungan, penurunan kesejahteraan, permasalahan tenaga kerja atau bahkan justru politic of interest dari pemerintah daerah. Akibatnya, operasional cost khususnya variable social cost dapat membengkak. Nilai ekonomi cadangan dapat menurun bahkan menjadi tak ekonomis lagi. Dapat dipastikan bila hal ini terjadi perusahaan harus angkat kaki atau postponed aktivitas dan perijinannya.

 
Penolakan masyarakat atas hadirnya industry tambang







Mengapa perusahaan juga membutuhkan local permitted..? Industry tambang berbeda dengan industry lainnya, menginat investasi tinggi, teknoloi maju, resiko tinggi dan jangka panjang. Pertambangan bukanlah industry yang hanya hidup tiga atau empat tahun, melainkan belasan atau puluhan tahun. Dapat dibayangkan bagaimana rasanya hidup berdampingan dalam kurun watu lama jika tidak dihiasi oleh hubungan yang harmonis..?

Lagipula bukankah salah satu tujuan dibangunnya industry tambang adalah untuk menggerakkan ekonomi di daerah terpencil dan memberikan efek ganda di berbagai sector..? tambang dibagun untuk memberikan kemandirian bagi masyarakat sekitarnya sehingga mampu membangun ekonomi dan kesejahterannya tanpa tergantung pada perusahaan tambang apabila suatu saat tambang itu tutup. Untuk era baru tambang saat ini, tidak ada istilah “ghost town” pasca operasional tambang.