Friday, December 19, 2008

Saya telah kembali..

Begitu banyak kesibukan yang saya jalani belakangan ini. Mulai dari menyelesaikan tesis di Ilmu Lingkungan UI, pekerjaan kajian sanpai jadi Program Koordinator untuk pelaksanaan Sosialisasi Penghematan Energi dan Air. Semuanya melelahkan dan tentu mengeluarkan banyak tenaga dan pikiran. Tapi ada banyak hal yang dapat saya ambil dari berbagai kesibukan itu dan salah satunya adalah penyadaran diri sendiri dan lingkungan sekitar.


Jujr kalau boleh saya menilai, masyarakat kita di Indonesia relatif masih boros dalam konsumsi energi dan air. Sifat boros ini sepertinya sudah menjadi banyak kebiasaan terutama di kota besar. Kalau dilihat dari intensitas energi saja, Indonesia sangat boros dalam konsumsi energi, Intensitas energi Indonesia adalah 482 TOE per juta US$ artinya pengeluaran energi kita sangat besar. Tapi jika dilihat dari konsumsi energi per kapita hanya 0,499 TOE/kapita (Japan Energy Outlook) artinya tingkat kesejahteraan kita masih kurang. Jika tingkat kesejahteraan masih rendah (jangan dibaca miskin) tetapi gaya hidup kita boros energi, apakah itu namanya bukan sombong dan mubazir???


Demikian pula dengan konsumsi air di Indonesia. Danau di Indonesia sudah banyak yang megalami sedimentasi dan pendangkalan. Sungai banyak yang tercemar dan waduk sudah mulai berkurang debitnya. Contohlah sungai Citarum yang masuk di waduk Cirata, Saguling dan berakhir di Jatiluhur, di hulu sungai di sekitar daerah Soreang banyak perusahaan tekstil yang membuang limbahnya ke sungai sehingga sungai tercemar.


Selain itu, karena kesuitan mendapatkan akses air bersih, banyak warga Indonesia yang memanfaatkan air pikulan dengan harga yang mahal. Di daerah Tangerang saja, harga air bersih satu pikul (dua jerigen) atau sekitar 50 liter sebesar 4000 perak, padahal harga air PDAM 1 m3 atau 1000 liter. Artinya orang miskin justru membayar lebih mahal untuk dapat air bersih daripada orang yang mampu.


Tentu bukan hanya alasan diatas maka saya bersemangat nimbrung di keigatan ini. Nah belajar dari kondisi inilah maka saya sangat bersemangat untuk menjadi program manajer (bisa disebut kampanye mungkin yaaaa) Sosialisasi penghematan energi dan air yang kegiatannya mencakup seluruh Indonesia. Bertemu dengan banyak lapisan masyarakat dan berbicara dengan bahasa yang gamblang. Semuanya untuk satu tujuan, merubah perilaku masyarakat kita untuk bisa lebih menghargai air dan energi. Tanpa ada embel-embel apapu, entah itu ego departemen atauun menjelang pemilu 2009.... ;P.

Saturday, August 30, 2008

Pemanfaatan Tailing III


Tentang Tailing

Pertambangan adalah industri ekstraktif yang mengambil mineral berharga dari batuan bijih kemudian diolah untuk menghasilkan produk konsentrat, suatu produk yang ekonomis dan tailing, sebagai sisa yang tidak ekonomis. Tailing merupakan limbah yang dihasilkan dari proses penggerusan bijih (ore) untuk diambil mineral berharganya (Satriago, 1996). Tailing pertambangan umumnya berkomposisi sekitar 50% lumpur batuan dan 50% air sehingga berwujud slurry.

Tailing yang dihasilkan dari industri pertambangan menjadi perdebatan karena volume yang dihasilkan sangat besar dan masih mengandung logam dalam konsentrasi tertentu. Volume tailing ini besar karena di dalam bijih tembaga misalnya, hanya terkandung 0,5%-2% logam tembaga dan sisanya adalah batuan waste yang akan menjadi tailing. Perbedaan pengotor dan mineral berharga inil yang membuat tailing pertambangan volumenya sangat besar.

Karena volume yang besar ini pula, maka tailing harus ditempatkan di lokasi khusus dan dengan maintenance yang cermat pula. Pemilihan sistem penempatan tailing dan pemanfaatan tailing bukan saja memikirkan faktor biaya tetapi juga dampaknya bagi lingkungan hidup. Perkembangan industri pertambangan saat ini membuat produksi harus diiringi dengan pelaksanaan penambangan yang bertaggung jawab.

Volume tailing yang sangat besar ini dapat berpotensi menurunkan fungsi lingkungan karena sebaran tailing dapat menutupi permukaan sehingga vegetasi yang ada di permukaan menjadi tidak dapat hidup. Selain itu tailing membutuhkan area khusus yang besar dan steril untuk lokasi penampungan. Penanganan tailing harus dilakukan dengan good mining practice karena jika tidak dikelola akan menimbulkan dampak yang besar.

Semakin tinggi volume tailing yang akan dibuang, semakin besar luas pula area yang diperlukan untuk menampung tailing (tailing dam). Semakin luasnya penggunaan tanah ini berarti akan menambah beban limbah ke lingkungan. Para ahli tambang dan lingkungan merekomendasikan pemanfaatan kembali tailing ini untuk berbagai keperluan aktivitas penambangan karena praktik terbaik pengelolaan lingkungan di pertambangan menuntut proses yang terus menerus dan terpadu, mulai kegiatan eksplorasi awal hingga konstruksi, pengoperasian dan penutupannya (Arief, 2007).

Pemanfaatan kembali tailing dapat dilakukan dengan berbagai cara seperti penggunaan agregat (bahan bangunan), sebagai media tanam, pembuatan jalan, reklamasi lahan pantai maupun pengisi lubang bukaan tambang (backfilling). Pemanfaatan tailing sejalan dengan prinsip 3 R (reduce, reuse dan recycle) akan mengurangi volume tailing sehingga beban lingkungan berkurang.

Karakteristik tambang bawah tanah sangat khas karena disesuaikan dengan jenis dan kondisi cadangan. Meskipun begitu, baik tambang bawah tanah maupun open pit, keduanya selalu menghasilkan tailing. Tabel ini menunjukkan produksi dan tailing di tambang terbuka dan bawah tanah serta pemanfaatannya di tambang Indonesia:

Tabel 1 Pemanfaatan Tailing di Tambang Emas Indonesia

No

Tambang

Kadar (gr/ton)

Produksi/

Thn

Volume/thn

Jenis Pemanfaatan

1

PT. Freeport Indonesia

(tambang terbuka)

0,85 gr/ton Au

3,8 gr/ton Ag

0,85% Cu

45,73 ton Au 151 ton Ag

81 juta ton

· Pembuatan bahan bangunan

· Media Reklamasi

· Pembuatan jembatan

2

PT. Newmont Nusa Tenggara (tambang terbuka)

0,47 gr/ton Au

1,47 gr/ton Ag

0,54% Cu

22,46 ton Au 45,2 ton Ag

41,6 juta ton

· Pembuatan rumpon di pantai Senunu

3

PT. Antam UBPE Pongkor (bawah tanah)

9 gr/ton Au

96 gr/ton Ag

4,5 ton Au

27 ton Ag

350 ribu ton

Pembuatan bahan bangunan

Media tanam dan reklamasi

Backfilling

4

PT. Nusa Halmahera Minerals (bawah tanah)

35 gr/ton Au

5 ton Au

280 ribu ton

Backfilling

Sumber: Laporan tahunan PTFI, PTNNT, UBPEP, PTNHM

Tailing Sebagai Limbah B3

Pengertian limbah adalah suatu bahan yang terbuang atau dibuang dari sumber hasil aktivitas manusia maupun proses alam (Satriago, 1996). Sebagai hasil sampingan dari proses pengolahan tailing juga masuk dalam kategori limbah. Selain itu ada pengertian limbah B3 berdasarkan pasal 1 PP No. 19 tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah B3 pengertian Limbah B3, adalah “sisa suatu usaha dan/atau kegiatan yang mengandung bahan berbahaya dan/atau beracun yang karena sifat dan/atau konsentrasinya dan/atau jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung, dapat mencemarkan dan/atau merusakkan lingkungan hidup, dan/atau dapat membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, kelangsungan hidup manusia serta makhluk hidup lain”. Berdasar ketentuan ini, KLH menyatakan tailing sebagai limbah B3. Pengertian ini, tailing tidak bernilai karena hanya sebagai produk sisa dari pengambilan emas dan perak dan berpotensi sebagai pencemar lingkungan apabila tidak dikelola.

Tailing Sebagai Sumber Daya

Dilain pihak terdapat pengertian bahwa tailing merupakan potensi sumberdaya yang dapat dimanfaatkan sehingga mempunyai nilai tambah sebagai produk yang dapat dimanfaatkan kembali menjadi produk lain. Dengan demikian diharapkan menghasilkan nilai tambah dari sekedar limbah yang tidak termanfaatkan. Pemanfaatan tailing ini menjadi salah satu tantangan besar dunia pertambangan karena menjadi isu yang sensitif. Pandangan memanfaatkan tailing hasil pertambangan ini sebenarnya telah lama muncul agar tailing ini memiliki nilai ekonomis.

Tailing telah mulai dimanfaatkan di beberapa perusahaan pertambangan baik di dalam maupun luar negeri. Komposisi tailing ditambah dengan ukuran yang halus membuat banyak tailing dimanfaatan sebagai media tanam, pengurukan lahan reklamasi sistem cutt and fill serta pembuatan bahan bangunan atau agregat. Pada pembuatan agregat ini, tailing digunakan sebagai bahan utama yang ditambah aditif.

Bagaimana Memanfaatkan Tailing?

Untuk dapat memanfaatkan tailing harus ada beberapa parameter yang diketahui terlebih dahulu terkait dengan tingkat keamanan penggunaan karena ini terkait dengan sifat toksisitas tailing. Variabel tersebut antara lain konsentrasi logam berat yang tersisa, LD50 (Lethal Dose 50) dan TCLP (Toxisity Characteristic Leachate Procedure). Tiga parameter ini yang dapat dianalisis untuk mengetahui tingkat keamanan pemanfaatan tailing.

a. LD50 atau lethal dose 50 adalah konsentrasi dari bahan kimia atau radiasi yang pada satu kali pemberian akan menyebabkan kematian pada 50% dari populasi hewan percobaan. LD50 ini sering dijadikan sebagai indikator toksistas terhadap suatu zat. LD50 merupakan perhitungan untuk menghitung potensi terkena racun relatif terhadap bahan kimia. Jadi semakin kecil nilai LD50, bahan kimia tersebut semakin berbahaya. Artinya pada konsentrasi sedikit saja, bahan kimia tersebut sudah memberi efek toksik besar bagi populasi hewan percobaan. Klasifikasi toksisitas suatu zat dapat dikategorikan berdasarkan nilai dosis zat tersebut. Klasifikasinya seperti tabel berikut ini:

Tabel 9 Klasifikasi Toksisitas Zat

No

Tingkat Toksik

Nilai Dosis mg/kg BB

1

Supertoxic

<1

2

Extremly toxic

1-5

3

Highly toxic

5-50

4

Moderately toxic

50-500

5

Slighly toxic

500-5.000

6

Practically non toxic

5.000-15.000

Sumber: Sutamihardja, 2004

Tabel 11 Toksisitas di Beberapa Negara

No

Tingkat Toksik

Nilai Dosis mg/kg BB

1

US EPA (40 CFR part 261.11)

<50>

2

Kanada (Guide to Canadian transportation of dangerous goods a act and regulation)

<200>

3

Jepang (environmental regulation)

<500

4

Cina (Hazardous Substance Regulation)

200-1000

5

Indonesia (PP No. 85/1999)

<50

Biasanya uji LD50 ini didapat dari hasil pengujian terhadap tikus mencit (mus musculus) di laboratorium. Tabel diatas adalah peraturan yang diacu untuk menentukan nilai LD50 di beberapa negara. Jika dari hasil pengukuran menunjukan konsentrasi slighly toxic, artinya tailing tersebut bisa dimanfaatkan tanpa menimbulkan dampak toksic yang berbahaya.

b. TCLP test. Hasil uji TCLP adalah untuk menentukan tingkat kelindian dan toksisitas dari sampel tailing. Uji TCLP ini dilakukan pada logam yang berpotensi larut jika terkena air atau asam. Tailing apabila digunakan namun terkena air dalam waktu lama, dapat berpotensi melepas partikel logam yang tersisa sehingga untuk mengetahui tingkat keamanan dari kondisi ini, perlu dilakukan uji TCLP. Jika kelarutan logam melebih Baku Mutu yang ditetapkan (PPRI No. 18/1999) maka tailing tersebut tidak aman untuk dimanfaatkan.

c. Konsentrasi Logam Berat. Istilah logam diberikan kepada semua unsur kimia yang memiliki sifat logam; konduktor, membentuk aloy, dtempa dan dibentuk. Sedangkan pengertian logam berat adalah golongan logam yang bila masuk ke dalam organisme hidup akan memberikan pengaruh besar (Palar, 1994). Logam berat telah digunakan secara luas untuk mengambarkan logam dengan karakteristik; memiliki spesific gravity lebih dari 4, memiliki nomor atom 22-34 dan 40-50 serta unsur-unsur lantanida dan aktinida, memiliki respon biokimia spesifik pada organisme.

Di dalam tailing, masih terdapat konsentrasi logam seperti Besi, Mangan, Seng, Kadmiun, Timah Hitam dan Tembaga. Beberapa logam ini potensial bersifat toksik terhadap manusia karena termasuk logam berat seperti timah hitam (Pb), kadmium (Cd), tembaga (Cu) dan Zn. Jika dari hasil pengukuran konsentrasi logam diketahui bahwa konsentrasi yang ada di ddalam tailing dibawah baku mutu, maka tailing tersebut aman untuk dimanfaatkan.

Tuesday, May 27, 2008

About Tailing...

Komisi Dunia untuk Lingkungan dan Pembangunan (World Commission on Environment and Development/WCED) mendefinisikan pembangunan berkelanjutan sebagai pembangunan yang memenuhi kebutuhan saat ini dengan mengkompromikan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya sendiri. Pembangunan berkelanjutan menuntut masyarakat agar memenuhi kebutuhan manusia dengan meningkatkan potensi produktif melalui cara-cara yang ramah lingkungan maupun dengan menjamin tersedianya peluang yang adil bagi semua pihak (WCED, 1997). Untuk itu diperlukan pengaturan agar lingkungan tetap mampu mendukung kegiatan pembangunan dalam rangka memenuhi kebutuhan manusia.

Pertambangan adalah usaha mengelola sumberdaya alam yang tidak terbaharui dengan mengambil mineral berharga dari dalam bumi. Pertambangan memang memiliki potensi untuk merusak lingkungan. Dewasa ini paradigma pertambangan sudah mulai bergeser dari pilar keuntungan ekonomi menjadi tiga pilar, orientasi ekonomi, kesejahteraan sosial dan perlindungan lingkungan.

Berlanjutnya sistem ekologi di sekitar wilayah pertambangan sangat berkaitan pula dengan dayadukung wilayah tersebut. Hal ini disebabkan karena sumberdaya pada suatu daerah yang telah terganggu oleh aktivitas penambangan memiliki batas kemampuan untuk menghadapi perubahan, mendukung sistem kehidupan, serta menyerap limbah.

Potensi penurunan fungsi lingkungan yang masih mungkin terjadi adalah akibat masuknya tailing sebagai hasil sampingan produk pertambangan ke dalam lingkungan. Karena pembuangan tailing ini berjalan terus seiring produksi perusahaan maka volume yang dikeluarkan juga akan ada dalam jumlah besar sehingga perlu pengelolaan yang kontinyu dan akurat.

Pengertian Tailing
Tailing sebenarnya merupakan limbah yang dihasilkan dari proses penggerusan batuan tambang (ore) yang mengandung bijih mineral untuk diambil mineral berharganya. Tailing umumnya memiliki komposisi sekitar 50% batuan dan 50% air sehingga sifatnya seperti lumpur (slurry). Sebagai limbah, tailing dapat dikatakan sebagai sampah dan berpotensi mencemarkan lingkungan baik dilihat dari volume yang dihasilkan maupun potensi rembesan yang mungkin terjadi pada tempat pembuangan tailing. Tailing hasil ekstraksi logam seperti emas dan nikel umumnya masih mengandung beberapa logam dengan kadar tertentu. Logam ini berasal dari logam yang terbentuk bersamaan dengan proses pembentukan mineral berharga itu sendiri. Mineral yang mengandung emas dan perak biasanya berasosiasi dengan logam perak, besi, chrom, seng dan tembaga seperti kalkokpirit (CuFeS2) dan berbagai mineral sulfida lain.

Karena di dalam tailing kandungan logam berharga sudah sangat sedikit dan dalam jumlah yang tidak ekonomis, maka tailing ini biasanya dibuang. Perbandingan logam berharga sepeti emas dan tailing sangat besar. Untuk penambangan emas dan perak secara bawah tanah di Jawa Barat, dalam satu ton bijih batuan hanya mengandung rata-rata Au 9 gr/ton dan Ag 96 gr/ton (Antam, 2006). Sedangkan di daerah lain yang menambag emas porfiri dan tembaga hanya dengan kadar rata-rata hanya Au 0,3 gr/ton dan Ag 1,06 gr/ton.

Perbedaan volume dan kadar yang besar ini menyebabkan jumlah tailing hasil pengolahan dan penambangan sangat besar. Untuk penambangan dengan sistem open pit, jumlahnya sangat besar. Sebuah tambang tembaga asing menghasilkan 40 juta ton tailing per tahunnya kemudian dengan skala lebih besar lagi menghasilkan lebih dai 81 juta ton tailing tiap tahunnya.

Tailing Sebagai Limbah
Pengertian limbah berdasarkan PP No. 19/1994 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun adalah bahan sisa pada suatu kegiatan dan atau proses produksi. Jika melampaui nilai ambang batas dapat membahayakan lingkungan di sekitarnya. Tailing berpotensi sebagai sumber pencemar lingkungan apabila tidak dikelola dengan baik akan mengakibatkan pengotoran lingkungan, pencemaran air dan tanah. Pengertian tailing diatas dapat diartikan sebagai limbah pada sisa aktivitas pengolahan dan penambangan, tidak terpakai, karena membahayakan lingkungan harus dikelola dari lingkungan. Dengan demikian diperlukan biaya yang tidak sedikit untuk mengelola tailing ini.

Tailing penambangan emas sebagai limbah adalah sisa setelah terjadi pemisahan konsentrat atau logam berharga dari bijih batuan di pabrik pengolahan, bentuknya merupakan batuan alami yang telah digerus. Dalam artian sebagai limbah, tailing ini tidak bernilai karena hanya sebagai produk sisa atau buangan dari pengambilan emas dan perak.

Tailing Sebagai Sumberdaya
Dilain pihak terdapat pengertian bahwa tailing merupakan potensi sumberdaya yang dapat dimanfaatkan sehingga mempunyai nilai tambah sebagai produk yang dapat dimanfaatkan kembali menjadi produk lain. Dengan demikian diharapkan dapat menghasilkan nilai tambah dari hanya sekedar limbah yang tidak termanfaatkan.

Tailing
sebagai sumberdaya telah mulai dimanfaatkan di beberapa perusahaan pertambangan baik di dalam maupun luar negeri. Komposisi utama tailing hasil penambangan emas umumnya adalah kuarsa, lempung silikat dan beberapa logam yang terkandung di dalamnya (Prasetyo, 2005). Komposisi tailing seperti ini ditambah lagi dengan ukuran yang halus membuat banyak tailing dimanfaatan sebagai media tanam untuk reklamasi, pengurukan lahan reklamasi dengan sistem cutt and fill serta pembuatan bahan bangunan dan agregat. Untuk pembuatan bahan bangunan dan beton ini, tailing digunakan sebagai bahan utama dan ditambahkan beberapa bahan aditif lainnya.

Friday, May 23, 2008

Jakarta Bertambah Padat....


Jakarta akan menjadi super padat, padat oleh penduduk yang mencari peruntungan disini maupun padat oleh aktvitas pembangunan properties. Tetapi kepadatan ini tetap saja tidak menjadi pertimbangan mendasar bagi pengambil keputusan untuk membuat kebijakan yang memperhatikan tata ruang, lingkungan dan kesejahteraan masyarakat banya. Yang memuakkan lagi, dalam dua tahun ke depan, telah direncanakan akan ada 13 proyek pusat belanja baru lagi. Hal itu terungkap dari hasil riset Procon Indah yang dipublikasikan pada 28 April 2008. Menurut riset tersebut, 40 persen penambahan pusat belanja akan berada di Jakarta Utara, 20 persen berada di Jakarta Selatan, dan 18 persen di Central Business District Jakarta. Luas pusat belanja di Jakarta pun diperkirakan akan mencapai 3,33 juta meter persegi.(One-World Indonesia).

Beberapa pusat belanja yang direncanakan akan beroperasi pada tahun ini antara lain Sudirman Place, Grand Paragon, Mall of Indonesia, Plaza Indonesia Extension, Emporium Pluit Mall, Epicentrum Walk, Pluit Village, dan Pulo Mas Ex-Venture. Dampak nyata dari meningkatnya jumlah dan luasan pusat belanja di Jakarta adalah makin hilangnya daerah resapan air di kota ini.

Hutan kota di kawasan Senayan, misalnya, rencana Induk Jakarta 1965-1985 memperuntukkan kawasan 279 hektare ini sebagai ruang terbuka hijau. Hanya boleh berdiri bangunan publik dengan luas maksimal 16 persen. Namun, di kawasan itu kini telah muncul Senayan City (pusat belanja yang dibuka pada 23 Juni 2006), Plaza Senayan (pusat belanja dan perkantoran, dibuka 1996), Senayan Trade Center, Ratu Plaza (apartemen 54 unit dan pusat belanja, dibangun pada 1974), serta bangunan megah lainnya.

Hal yang sama terjadi pada hutan kota Tomang. Rencana Induk 1965 dan 1985 memperuntukkan lahan di Simpang Tomang ini sebagai sabuk hijau Jakarta. Kini hutan itu berubah menjadi Mediterranean Garden Residence I (apartemen, dibangun pada 2002 dan selesai 2004), Mediterranean Garden Residence II (apartemen, dijual pada 2005), serta Mal Taman Anggrek (apartemen dan pusat belanja, dibuka pada 2006).

Sebagai informasi tambahan, kawasan ini dulunya juga sebagai daerah tempat tingga kaum marginal. Adapula yang telah tinggal di kawasan tomang ini hingga 2 generasi. Sempat rebut-ribut dulu mengenai relokasi masyarakat disana sebagian menerima tetapi banyak pula yang menolak karena berbagai hal. Setelah itu, kebakaran besar melanda daerah ini, dan selanjutnya tidak ada lagi masyarakat yang tinggal disana.

Pengalihfungsian RTH secara besar-besaran menjadi kawasan komersial oleh para pemilik modal besar juga terjadi di kawasan Pantai Kapuk, Kelapa Gading, dan Sunter. Tapi sejauh ini Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tidak mengambil tindakan terhadap para pemilik modal besar tersebut. Celakanya, “de javu” pembangunan Kota Jakarta terus-menerus diulang hingga kini oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.

Padahal tanpa ada penambahan bangunan baru, Jakarta sudah megap-megap. Tanah permukaan di Jakarta saja telah mengalami penurunan hingga rata-rata 0,8 cm/tahunnya. Di beberapa daerah bahkan lebih cepat. Tak heran Jakarta selalu kebanjiran, karena daerah resapan hilang dan permukaan tanahnya juga amblas.

Yang tidak diperhatikan oleh pembuat kebijakan juga mengenai polusi. Bertambahnya aktiv itas dan pembangunan properties, bertambah pula tingkat polusi karena mayoritas pembeli di mal dan plaza yang akan berdiri ini menggunakan mobil pribadi. Jakarta adalah kota dengan tingkat polusi terburuk ketia setelah Mexico dan Bangkok. Kemacetan tidak lagi bias dihindari, padahal kemcetan adalah tindakan pemborosan mescal.

Terkait dengan kemacetan lalu lintas di Jakarta, sebuah studi menyebutkan bahwa kemacetan lalu lintas di Jakarta telah menimbulkan kerugian ekonomi sebesar Rp 5,5 triliun (SITRAMP, 2004). Bahkan, dengan metode yang berbeda, hasil penelitian Yayasan Pelangi pada 2003 menyebutkan bahwa kemacetan lalu lintas di DKI telah menyebabkan kerugian akibat kehilangan waktu produktif yang jika dinominalkan akan mencapai Rp 7,1 triliun. Adapun polusi udara yang diakibatkan oleh meningkatnya kemacetan lalu lintas juga telah menimbulkan peningkatan biaya kesehatan yang sangat tinggi. Hasil kajian Bank Dunia menemukan dampak ekonomi akibat polusi udara di Jakarta sebesar Rp 1,8 triliun.

Jadi sekarang ini Jakarta makin bad bad bad…. Jakarta goes mad…

Amdal dalam Pertambangan (..I)


Apa itu AMDAL?

AMDAL adalah kajian mengenai dampak besar dan penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan.

AMDAL adalah proses pengkajian terpadu yang mempertimbangkan aspek ekologi, sosial-ekonomi, dan sosial-budaya sebagai pelengkap studi kelayakan suatu rencana usaha dan/atau kegiatan.


Apa guna AMDAL?

Guna AMDAL adalah untuk menjamin suatu usaha atau kegiatan pembangunan layak lingkungan.

Lewat pengkajian AMDAL, sebuah rencana usaha atau kegiatan pembangunan diharapkan telah secara optimal meminimalkan kemungkinan dampak lingkungan hidup yang negatif, serta dapat memanfaatkan dan mengelola sumber daya alam secara efisien.

Agar pelaksanaan AMDAL berjalan efektif dan dapat mencapai sasaran yang diharapkan, pengawasannya dikaitkan dengan mekanisme perijinan. Peraturan pemerintah tentang AMDAL secara jelas menegaskan bahwa AMDAL adalah salah satu syarat perijinan, dimana para pengambil keputusan wajib mempertimbangkan hasil studi AMDAL sebelum memberikan ijin usaha/kegiatan.


Apa dokumen AMDAL?

Dokumen AMDAL terdiri dari :
· Dokumen Kerangka Acuan Analisis Dampak Lingkungan Hidup (KA-ANDAL)
· Dokumen Analisis Dampak Lingkungan Hidup (ANDAL)
· Dokumen Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup (RKL)
· Dokumen Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup (RPL)

Dokumen KA-ANDAL disusun terlebih dahulu untuk menentukan lingkup studi dan mengidentifikasi isu-isu pokok yang harus diperhatikan dalam penyusunan ANDAL. Dokumen ini dinilai di hadapan Komisi Penilai AMDAL. Setelah disetujui isinya, kegiatan penyusunan ANDAL, RKL, dan RPL barulah dapat dilaksanakan.

Dokumen ANDAL mengkaji seluruh dampak lingkungan hidup yang diperkirakan akan terjadi, sesuai dengan lingkup yang telah ditetapkan dalam KA-ANDAL.

Rekomendasi pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup untuk mengantisipasi dampak-dampak yang telah dievaluasi dalam dokumen ANDAL disusun dalam dokumen RKL dan RPL.

Ketiga dokumen ini diajukan bersama-sama untuk dinilai oleh Komisi Penilai AMDAL. Hasil penilaian inilah yang menentukan apakah rencana usaha dan/atau kegiatan tersebut layak secara lingkungan atau tidak, dan apakah perlu direkomendasikan untuk diberi ijin atau tidak.


Siapa yang harus menyusun AMDAL? Bagaimana menyusunnya?

Dokumen AMDAL harus disusun oleh pemrakarsa suatu rencana usaha dan/atau kegiatan yang berpotensi menimbulkan dampak penting dan belum memiliki kepastian pengelolaan lingkungannya. Ketentuan apakah suatu rencana kegiatan perlu menyusun dokumen AMDAL atau tidak dapat dilihat dalam bagian Prosedur dan Mekanisme AMDAL.

Dalam penyusunan studi AMDAL, pemrakarsa dapat meminta jasa konsultan untuk menyusunkan AMDAL. Penyusun dokumen AMDAL diharapkan telah memiliki sertifikat Penyusun AMDAL (lulus kursus AMDAL B) dan ahli di bidangnya. Ketentuan standar minimal cakupan materi penyusunan AMDAL diatur dalam
Keputusan Kepala Bapedal Nomor 09/2000.


Siapa saja pihak yang terlibat dalam AMDAL?

Komisi Penilai AMDAL; Komisi Penilai AMDAL adalah komisi yang bertugas menilai dokumen AMDAL. Bapedal, Bapedalda/Instansi pengelola lingkungan hidup Propinsi. Unsur pemerintah lainnya yang berkepentingan dan warga masyarakat yang terkena dampak diusahakan terwakili di dalam Komisi Penilai ini.

Pemrakarsa; pemrakarsa adalah orang atau badan hukum yang bertanggungjawab atas suatu rencana usaha dan/atau kegiatan yang akan dilaksanakan.

Warga Masyarakat yang terkena dampak; yaitu seorang atau kelompok warga masyarakat yang akibat akan dibangunnya suatu rencana usaha dan/atau kegiatan tersebut akan menjadi kelompok yang banyak diuntungkan (beneficiary groups), dan kelompok yang banyak dirugikan (at-risk groups). Lingkup warga masyarakat yang terkena dampak ini dibatasi sebagai berada dalam ruang dampak rencana usaha dan atau kegiatan tersebut.

Pemberi Ijin; cukup jelas.
Apa itu UKL dan UPL ?

Upaya pengelolaan lingkungan dan upaya pemantauan lingkungan; serangkaian kegiatan pengelolaan dan pemantauan lingkungan yang dilakukan oleh pemrakarsa suatu rencana usaha/kegiatan yang tidak diwajibkan menyusun AMDAL; yaitu kegiatan yang diperkirakan tidak akan menimbulkan dampak

Ada beberapa kegiatan yang walaupun tidak akan menimbulkan dampak penting tetap membutuhkan identifikasi dampak terlebih dulu sebelum dapat dipastikan upaya pengelolaan lingkungan dan upaya pemantauan lingkungannya. Identifikasi dampak ini dibutuhkan karena ada kombinasi antara frekuensi kegiatan yang tinggi dengan intensitas dampak yang tinggi sehingga menyebabkan munculnya ketidakpastian pengelolaan dampak yang perlu dikomunikasikan kepada pihak terkait lainnya.

Kajian lingkungan yang dibutuhkan dikenal dengan nama Dokumen Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL). Dokumen ini berisi uraian singkat dari proses identifikasi dampak yang dilakukan secara sistematis, dan program pengelolaan dan pemantauan lingkungan yang akan dilaksanakan.

Kegiatan-kegiatan tidak berdampak penting yang frekuensi kegiatan dan intensitas dampaknya relatif rendah sehingga tidak ada lagi ketidakpastian masalah pengelolaan dampaknya tidak perlu menyusun Dokumen UKL - UPL, dan dapat langsung melakukan berbagai upaya pengelolaan dan upaya pemantauan lingkungan yang sesuai dengan standar dan norma yang berlaku.


Bersambung .....

Sunday, April 27, 2008

GREEN MINING … I


Komisi Dunia untuk Lingkungan dan Pembangunan (World Commission on Environment and Development WCED) mendefinisikan pembangunan berkelanjutan sebagai pembangunan yang bertujuan memenuhi kebutuhan sekarang dengan mengkompromikan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya sendiri. Pembangunan ini menuntut masyarakat agar memenuhi kebutuhan manusia dengan meningkatkan potensi produktif melalui cara-cara yang ramah lingkungan maupun dengan menjamin tersedianya peluang yang adil bagi semua pihak (WCED, 1997). Untuk itu diperlukan pengaturan agar lingkungan tetap mampu mendukung kegiatan pembangunan dalam rangka memenuhi kebutuhan manusia.



Paradigma sustainable development juga menunjukkan pelaksanaan pembangunan berkelanjutan mengacu pada keseimbangan dimensi ekonomi, sosial dan lingkungan serentak dan bersamaan. Kebijakan janganlah semata-mata meletakkan basis SDA sebagai andalan ekonomi atau akumulasi modal, tanpa mempertimbangkan faktor lingkungan dan masyarakat yang ada di sekitarnya. Sebaliknya sebuah kebijakan juga tidak dapat semata-mata didasarkan pada isolasi kawasan yang bebas dari intervensi manusia termasuk intervensi ekonomi (eco-totalism).


Pertambangan adalah usaha mengelola sumberdaya alam yang tidak terbaharui dengan mengambil mineral berharga dari dalam bumi. Karena sifat alamiahnya yang merubah bentang alam dan ekosistem, pertambangan memang memiliki potensi untuk merusak lingkungan. Namun dewasa ini, paradigma pertambangan sudah mulai bergeser dari pilar keuntungan ekonomi menjadi tiga pilar, orientasi ekonomi, kesejahteraan sosial dan perlindungan lingkungan.


Berlanjutnya sistem ekologi di sekitar wilayah pertambangan sangat berkaitan pula dengan dayadukung wilayah tersebut. Hal ini disebabkan karena sumberdaya pada suatu daerah yang telah terganggu oleh aktivitas penambangan memiliki batas kemampuan untuk menghadapi perubahan, mendukung sistem kehidupan, serta menyerap limbah.


Meskipun begitu, potensi penurunan fungsi lingkungan akibat aktivitas penambangan masih mungkin terjadi. Tailing sebagai hasil sampingan produk pertambangan ke dalam lingkungan. Karena pembuangan tailing ini berjalan terus seiring produksi perusahaan maka volume yang dikeluarkan juga akan menerus dalam jumlah besar sehingga perlu pengelolaan yang kontinyu dan akurat. Kemudian dengan lubang bukaan akibat proses aktivitas open pit mining yang bisa menyebabkan timbulnya cekungan luas. Ini adalah beberapa potensi yang mungkn terjadi akibat aktivitas pertambangan.


Tetapi banyak orang yang hanya melihat pertambangan dari sisi kerusakan yang ditimbulkan, tanpa mau mengetahui bahwa di belakang semua aktivitas tersebut, aktivitas pertambangan harus selalu diakhiri dengan total mine closure yaitu rangkaian kegiatan penutupan tambang yang memperhatikan faktor lingkungan, kesejahteraan masyarakat dan profit.


Jadi selalu ada ektivitas reklamasi, revegetasi dan penanaman kembali lahan eks tambang. Kemudian penutupan dan pemindahfungsian lahan tambang yang tidak bisa ditanami untuk keperluan lain seperti pembuatan danau atau lokasi perkikanan untuk cekungan yang memang tidak bisa ditanami lagi.


Kekeliruan bahwa pertambangan tidak memiliki konsep kepedulian lingkungan ini yang masih menjadi barier banyak eklogist belum dapat meneirma pertambangan sebagai aktivitas untuk kesejahteraan manusia. Sebagian bahkan memandang sebelah mata dan selalu melihat dengan preseden yang buruk.


GREEN MINING, itulah konsep yang perlu diajukan oleh pelaku dan praktisi pertambangan, sebagai suatu jembatan untuk dapat mensinergikan pertambangan dengan lingkungan. Karena dua hal ini pada dasarnya merupakana ktivitas manusia yang ditujukan untuk dapat memenuhi kebutuhan dan kesejahteraan hidupnya.







Tambang tidak selalu bersifat merusak, adakalanya dampak yang ditimbulkan itu dapat menjadi berkah untuk kegiatan lain. Tailing misalnya, bukan saja sebagai limbah, namun dapat sebagai sumberdaya jika dimanfaatkan untuk keperluan lain semisal pembuatan batako dan bahan agregat, pembuatan jalan raya maupun bahan pencampur keramik.


Green mining bukan berarti pertambangan tidak bisa melakukan aktivitas penambangan dan pengerukan untuk mendapatkan profit, tetapi disitu ada nilai perlindungan dan penghargaan terhadap lingkungan dan community. Justru yang diharapkan, dengan menerapkan perlindungan lingkungan dan couniy welfare ini, bisa menjadi persyaratan suatu usaha pertambangan untuk dapat meneruskan aktivitas ke tingkat profit yang lebih tinggi

Monday, March 31, 2008

Tentang Tailing (II)



Komisi Dunia untuk Lingkungan dan Pembangunan (World Commission on Environment and Development/WCED) mendefinisikan pembangunan berkelanjutan sebagai pembangunan yang memenuhi kebutuhan saat ini dengan mengkompromikan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya sendiri. Pembangunan berkelanjutan menuntut masyarakat agar memenuhi kebutuhan manusia dengan meningkatkan potensi produktif melalui cara-cara yang ramah lingkungan maupun dengan menjamin tersedianya peluang yang adil bagi semua pihak (WCED, 1997). Untuk itu diperlukan pengaturan agar lingkungan tetap mampu mendukung kegiatan pembangunan dalam rangka memenuhi kebutuhan manusia.

Pertambangan adalah usaha mengelola sumberdaya alam yang tidak terbaharui dengan mengambil mineral berharga dari dalam bumi. Pertambangan memang memiliki potensi untuk merusak lingkungan. Dewasa ini paradigma pertambangan sudah mulai bergeser dari pilar keuntungan ekonomi menjadi tiga pilar, orientasi ekonomi, kesejahteraan sosial dan perlindungan lingkungan.

Berlanjutnya sistem ekologi di sekitar wilayah pertambangan sangat berkaitan pula dengan dayadukung wilayah tersebut. Hal ini disebabkan karena sumberdaya pada suatu daerah yang telah terganggu oleh aktivitas penambangan memiliki batas kemampuan untuk menghadapi perubahan, mendukung sistem kehidupan, serta menyerap limbah.

Potensi penurunan fungsi lingkungan yang masih mungkin terjadi adalah akibat masuknya tailing sebagai hasil sampingan produk pertambangan ke dalam lingkungan. Karena pembuangan tailing ini berjalan terus seiring produksi perusahaan maka volume yang dikeluarkan juga akan ada dalam jumlah besar sehingga perlu pengelolaan yang kontinyu dan akurat.

Pengertian Tailing

Tailing sebenarnya merupakan limbah yang dihasilkan dari proses penggerusan batuan tambang (ore) yang mengandung bijih mineral untuk diambil mineral berharganya. Tailing umumnya memiliki komposisi sekitar 50% batuan dan 50% air sehingga sifatnya seperti lumpur (slurry). Sebagai limbah, tailing dapat dikatakan sebagai sampah dan berpotensi mencemarkan lingkungan baik dilihat dari volume yang dihasilkan maupun potensi rembesan yang mungkin terjadi pada tempat pembuangan tailing. Tailing hasil ekstraksi logam seperti emas dan nikel umumnya masih mengandung beberapa logam dengan kadar tertentu. Logam ini berasal dari logam yang terbentuk bersamaan dengan proses pembentukan mineral berharga itu sendiri. Mineral yang mengandung emas dan perak biasanya berasosiasi dengan logam perak, besi, chrom, seng dan tembaga seperti kalkokpirit (CuFeS2) dan berbagai mineral sulfida lain.

Karena di dalam tailing kandungan logam berharga sudah sangat sedikit dan dalam jumlah yang tidak ekonomis, maka tailing ini biasanya dibuang. Perbandingan logam berharga sepeti emas dan tailing sangat besar. Untuk penambangan emas dan perak secara bawah tanah di Jawa Barat, dalam satu ton bijih batuan hanya mengandung rata-rata Au 9 gr/ton dan Ag 96 gr/ton (Antam, 2006). Sedangkan di daerah lain yang menambag emas porfiri dan tembaga hanya dengan kadar rata-rata hanya Au 0,3 gr/ton dan Ag 1,06 gr/ton.

Perbedaan volume dan kadar yang besar ini menyebabkan jumlah tailing hasil pengolahan dan penambangan sangat besar. Untuk penambangan dengan sistem open pit, jumlahnya sangat besar. Sebuah tambang tembaga asing menghasilkan 40 juta ton tailing per tahunnya kemudian dengan skala lebih besar lagi menghasilkan lebih dai 81 juta ton tailing tiap tahunnya.

Tailing Sebagai Limbah

Pengertian limbah berdasarkan PP No. 19/1994 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun adalah bahan sisa pada suatu kegiatan dan atau proses produksi. Jika melampaui nilai ambang batas dapat membahayakan lingkungan di sekitarnya. Tailing berpotensi sebagai sumber pencemar lingkungan apabila tidak dikelola dengan baik akan mengakibatkan pengotoran lingkungan, pencemaran air dan tanah. Pengertian tailing diatas dapat diartikan sebagai limbah pada sisa aktivitas pengolahan dan penambangan, tidak terpakai, karena membahayakan lingkungan harus dikelola dari lingkungan. Dengan demikian diperlukan biaya yang tidak sedikit untuk mengelola tailing ini.

Tailing penambangan emas sebagai limbah adalah sisa setelah terjadi pemisahan konsentrat atau logam berharga dari bijih batuan di pabrik pengolahan, bentuknya merupakan batuan alami yang telah digerus. Dalam artian sebagai limbah, tailing ini tidak bernilai karena hanya sebagai produk sisa atau buangan dari pengambilan emas dan perak.

Tailing Sebagai Sumberdaya

Dilain pihak terdapat pengertian bahwa tailing merupakan potensi sumberdaya yang dapat dimanfaatkan sehingga mempunyai nilai tambah sebagai produk yang dapat dimanfaatkan kembali menjadi produk lain. Dengan demikian diharapkan dapat menghasilkan nilai tambah dari hanya sekedar limbah yang tidak termanfaatkan.

Tailing
sebagai sumberdaya telah mulai dimanfaatkan di beberapa perusahaan pertambangan baik di dalam maupun luar negeri. Komposisi utama tailing hasil penambangan emas umumnya adalah kuarsa, lempung silikat dan beberapa logam yang terkandung di dalamnya (Prasetyo, 2005). Komposisi tailing seperti ini ditambah lagi dengan ukuran yang halus membuat banyak tailing dimanfaatan sebagai media tanam untuk reklamasi, pengurukan lahan reklamasi dengan sistem cutt and fill serta pembuatan bahan bangunan dan agregat. Untuk pembuatan bahan bangunan dan beton ini, tailing digunakan sebagai bahan utama dan ditambahkan beberapa bahan aditif lainnya.

Monday, March 3, 2008

MINING, ENVIRONMENT AND SOCIETY (II)


Konservasi
Sumberdaya mineral dan batubara adalah sumberdaya alam yang tak terbarukan, maka pengelolaan, pengusahaan, dan pemanfaatannya mutlak harus dilakukan optimal. Sehingga pemborosan sumberdaya mineral dan batubara harus dihindari. Konservasi ini dapat diterapkan melalui optimalisasi produksi penambangan, pengolahan, pemanfaatan cadangan kadar rendah, dan mengoptimalkan pemanfaatan mineral ikutan (by product). Nilai dan harga komoditi pertambangan sangat fluktuatif karena dipengaruhi oleh pasokan dan permintaan (supply and demand) pasar dunia. Pengaruh harga ini yang menyebabkan suatu cadangan dapat bernilai ekonomis atau tidak dan membuat tingkat kelayakan cadangan bervariasi sesuai dengan fluktuatif harga jualnya sehingga menyebabkan cut off grade dan stripping ratio penambangan dapat berubah. Pencatatan dan penyimpanan dalam bank data setiap kualitas dan kuantitas cadangan hingga tailing setiap cadangan harus dilakukan sehingga bila terjadi perubahan harga di pasaran, antisipasi lapangan dapat dilakukan tanpa menimbulkan ketidakefisienan produksi dan pemurnian.

Nilai Tambah dan Manfaat Pertambangan
Kekayaan sumberdaya mineral merupakan salah satu aset nasional. Industri pertambangan dapat menjadi peran kunci mengkonversi kekayaan alam yang belum dapat dimanfaatkan (dormant) menjadi kekayaan yang dapat mensejahterakan rakyat dalam bentuk sekolah, permukiman, pelabuhan, jalan, jaringan listrik dan sarana umum lainnya yang memberikan kontribusi terhadap pembangunan ekonomi.

Davis, G.A. dan John E. Tilton (2002) menyatakan akhir 1980-an di kalangan internasional muncul pandangan bahwa industri pertambangan adalah industri ekstraktif yang merusak lingkungan hidup serta tidak memberikan kontribusi yang terhadap masyarakat dan negara. Pandangan serupa juga mulai muncul di Indonesia. Nah untuk menyelesaikan perbedaan pandangan tersebut perlu kegiatan sosialisasi informasi tentang nilai tambah dan manfaat hadirnya industri pertambangan dalam pembangunan nasional.

Industri pertambangan sudah sifatnya memberikan multiplier effect (efek ganda) mulai dari peta ekonomi baru hingga penyerapan tenaga kerja. Peningkatan efek ganda dari keberadaan usaha pertambangan yang mengeksloitasi SDA tak terbarukan mutlak diupayakan. Dan ini menjadi lebih krusial saat dihadapkan pada masyarakat lingkar tambang. Beberapa inovasi untuk meningkatkan nilai tambah pertambangan bagi masyarakat dan negara melalui:
o Pengembangan teknologi dan inovasi;
o Peningkatan hubungan kerjasama dengan pihak luar negeri;
o Peningkatan pemakaian produk dalam negeri;
o Upaya melakukan pengolahan di dalam negeri;
o Pengembangan Sumber Daya Manusia;
o Pengembangan Pertumbuhan Ekonomi; serta
o Pengembangan Sosial Budaya dan Kesehatan Masyarakat.

Community Development dan Masyarakat yang Berkelanjutan
Community development baik untuk wilayah maupun masyarakat bukan hanya emnjadi slogan belaka tetapi ahrus dilakukan berdasarkan ituisi dan kebutuhan msyarakat di sekitar tambang. Dan untukm elakukan hal ini diperlukan pemetaan sosial (social mapping) dan berusaha untuk meningkatkan kemampuan potensi lokal alias kekuatan yang berada di sekitar masyarakat itu sendiri. Sebisa mungkin agar potensi lokaldapat ditingkatkan dengan baik, harus ada program yang mengacu pada pemberdayaan tekhologi lokal tepat guna (tentunya dengan bantuan luar) yang efektif dan aman. Jadi disini ada peran serta masyarakat dan teknologi dalam pemenuhan kebutuhannya.

Community devlopment, corporate social responsibility, pengembangan wilayah dan komunitas atau apapun namanya adalah suatu program yang harus sejalan dengan pembangunan infrastruktur, pengembangan sumberdaya manusia, dan pengembangan kegiatan penunjang lainya dari hadirnya industri pertambangan sehingga memberikan efek ganda serta optimalisasi peningkatan nilai tambah bagi masyarakat dan daerah. Tiap langkah dan kebijakan perusahaan dalam pengembangan masyarakat dan wilayah akan berpengaruh pada pola pikir manajerial dan komitmen yang akan ditentukan sebagai berikut:
  • Memasukkan Pengembangan Wilayah dan Masyarakat sebagai bagian kinerja terukur perusahaan;
  • Memasukkan Pengembangan Wilayah dan Masyarakat ke dalam rencana kinerja strategis perusahaan; dan
  • Membangun rasa memiliki perusahaan terhadap masyarakat melalui dialog, pelatihan, karyawan sukarela.

Dengan melaksanakan Program Pengembangan Wilayah dan Masyarakat, ada dua keuntungan yang diperoleh perusahaan, yaitu:
  • Perusahaan memperoleh pengakuan (recognisi) lokal untuk berusaha; dan
  • PMelalui Program Pengembangan Wilayah dan Masyarakat, perusahaan dapat membuat strategi yang menguntungkan.

Tentunya, tidak lepas bahwa program pengembangan aktivitas Pengembangan Wilayah dan Sosial harus dapat dirasakan langsung oleh masyarakat sekitar tambang. Dan prinsip dasarnya adalah, kegiatan harus didasarkan kepada kebutuhan riil masyarakat setempat, bukan atas keinginan maupun kemauan kelompok tertentu termasuk perusahaan. Dan ujung dari progam ini adalah membangun kemandirian dan kesejahteraan masyarakat setempat, terlebih lagi apabila nanti perusahaan tambang sudah memasuki masa penutupan.