Saturday, October 6, 2012

PERMASALAHAN LINGKUNGAN DI PERTAMBANGAN ( I )


Pertambangan adalah usaha yang karakteristik dan kompleks. Karakteristik karena letak endapan mineralnya ditentukan oleh tuhan (given by nature). Dapat terletak dekat permukaan sehingga memungkinkan untuk diambil dengan sistem tambang terbuka, dapat terletak di kawasan hutan atau bahkan terletak jauh di bawah tanah sehingga dimanfaatkan dengan sistem tambang dalam atau bahkan tidak dapat dimanfaatkan sama sekali dengan teknologi saat ini.

Mineral merupakan hasil dari aktivitas geologis yang terbentuk dari jutaan tahun lalu yang dimulai dari aktivitas penghancuran (kataklastik) hingga pendinginan dan membentuk mineral. Secara alami keterdapatan mineral umumnya ada di daerah terpencil, dekat hutan atau di bawah laut.  Tidak ada satu manusiapun yang dapat menentukan lokasi keterdapatan tambang, begitupula dengan jenis metode yang akan dipilih. Cadangan terbentuk secara alamiah sebagai “given” dari yang Maha Kuasa.




Endapan Batubara Hampir Selalu ada di Rawa dan Hutan

Tambang bawah tanah diperuntukan untuk mengambil cadangan yang relatif jauh di bawah Tidak ada yang dapat memaksakan pemilihan metode penambangan selain kondisi alamnya. Proses geologi yang menentukan bagaimana kondisi cadangan, dapat terletak dekat permukaan (seperti nikel dan timah) sehingga dilakukan tambang terbuka ataupun jauh di dalam bumi (endapan skarn emas dan tembaga atau vein emas) sehingga diterapkan tambang bawah tanah.
Sebaliknya endapan yang karena proses geologi pembentukannya sehingga berada jauh di bawah permukaan, diatas 500 m, seperti emas di Pongkor, hanya tambang dalam yang sesuai karena andai diterapkan tambang terbuka akan membutuhkan total biaya operasi besar untuk menyingkirkan tanah penutup sebelum mencapai endapan.
Tambang bawah tanah diperuntukan untuk mengambil cadangan yang relatif jauh di bawah permukaan. Tambang bawah tanah ini hanya membuka sebagian kecil lahan di permukaan untuk penyediaan akses, infrastruktur kantor dan fasilitas pengolahan. Karena aktivitas eksploitasi dilakukan dibawah tanah, hampir tidak ada lahan permukaan yang terganggu.

Endapan Mineral Bawah Tanah Sangat Spesifik

Lalu bagaimana jika harus menambang di suatu lokasi dimana di permukaan terdapat wilayah yang tidak boleh terganggu seperti hutan lindung atau taman nasional misalnya..? inilah yang menjadi perbincangan menarik karena ada banyak pertimbangan disini. Jika harus ditambang dengan tambang bawah tanah, harus dipastikan kekuatan batuan dan kondisi geologi, jika rapuh justru sangat beresiko membahayakan keselamatan pekerja. Pemilihan ini mesti dilakukan analisis mendalam. Ada contoh menarik ketika tambang bawah tanah di Varengeville, Prancis, misalnya, diterapkan untuk menambang endapan garam yang berada di bawah permukiman padat.
Tambang terbuka diterapkan jika lokasi cadangan dekat dengan permukaan. Kemudian It is not easy untuk menyelaraskan antara pertumbuhan dengan pemeratan, kemudian mana yang lebih banyak diperdebatkan antara “azas penguasaan“ oleh negara dibandingkan dengan “azas pemanfaatan“. Fenomena yang banyak terjadi saat ini adalah lahirnya regulasi yang kurang berimbang dan cenderung lebih berpihak kepada aspek konservasi daripada menyentuh aspek peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Tetapi disadari bahwa pemanfaatan sumber daya alam terkadang menjadi tak terkendali dan terkadang juga tidak berkorelasi positif dengan kesejahteraan masyarakat sekitar. Oleh karena itu, dibutuhkan sebuah paradigma yang berimbang sebagai pedoman pelaksanaan pembangunan nasional, yang mampu menyeimbangkan antara penguasaan dan pemanfaatan.
Salah satu korelasi negatif itu adalah pencemaran lingkungan. Pencemaran lingkungan akan berdampak langsung atau tak langsung baik pada manusia sebagai substansi esensial, substansi hidup maupun nirhidup lainya. Pencemaran akan dapat dirasakan apabila konsentrasi pencemar telah melewati Nilai Ambang Batas (NAB) atau Treshold Limit.
Pada pasal 145 UU No. 4 tahun 2009 tentang Minerba disebutkan bahwa “Masyarakat yang terkena dampak negatif langsung dari kegiatan usaha pertambangan berhak:
  • Memperoleh ganti rugi yang layak akibat kesalahan dalam pengusahaan kegiatan pertambangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  •  Mengajukan gugatan pada pihak pengadilan terhadap kerugian akibat pengusahaan pertambangan yang menyalahi ketentuan.


Tentu satu hal yang sangat riskan jika mengatasi pencemaran lingkungan terlebih jika memang sudah berdampak pada masyarakat sekitar. Bukan saja ganti rugi yang harus dikeluarkan atau biaya rehabilitasi lingkungan, ada nama baik dan corporate image yang dipertaruhkan di situ. Punishment public juga satu hal yang berusaha dihindari oleh perusahaan kelas dunia.
Untuk itu, sebelum eksploitasi dilaksanakan sudah harus ada usaha mitigasi seperti yang tertuang dalam AMDAL (Analisa Mengenai Dampak Lingkungan) dan menjadi syarat utama untuk perolehan Izin Usaha Pertambangan (IUP). Disini terangkum secara rinci segala aktivitas yang akan dilakukan, dampak negatif yang mungkin terjadi termasuk penanganan hingga prediksi pasca tambang.
Dalam aktivitas pertambangan sendiri ada beberapa potensi pencemaran lingkungan yang dapat terjadi dari aktivitas pertambangan. Beberapa potensi tersebut antara lain: 

a.       Air asam tambang (AAT) atau Acid Mine Drainage (AMD)
Merupakan air yang terkontaminasi oleh mineral yang umumnya mengandung sulfur seperti pyrite, chalcopyrite ataupun sulfida besi lainya. Beberapa bentuk adalah air yang berwarna oranye, merah atau kuning dan mengendap di sediman. Umumnya memiliki pH rendah sehingga sulit untuk didiami mahluk hidup atau dimanfaatkan manusia. Hanya bakteri tertentu yang tahan pada kondisi ini. Beberapa reaksi pembentukan air asam tambang seperti di bawah ini:

  

4FeS2 + 15O2 + 14H2O è 4Fe(OH)3 + 8 H2O
 
 




4Fe2+ + O2 + 4H+ è 4Fe3+ + 2H2O
 
Reaksi air asam tambang untuk Pyrite


Reaksi air asam tambang untuk

4Fe3+ + 12H2O  è 4Fe(OH)3 + 12H+
 
Ferrous Iron


Reaksi air asam tambang untuk Hydrolysis Iron 

Yellow Boy Salah Satu Dampak Air Asam Tambang

Air asam tambang menyebabkan banyak masalah lingkungan di pertambangan karena menyebabkan penurunan pH hingga 4 atau 3 sehingga tidak dapat didiami oleh ikan maupun plankton, mengganggu reproduksi hewan air, penurunan dan inlitrasi ke air tanah, korosi dan perusakan jalur pipa. 

b.  Tailing
Pada dasarnya tailing adalah sisa ekstraksi mineral yang umumnya berbentuk pasir sehingga sering disebut sebagai sirsat (pasir sisa tambang). Tailing biasanya sudah didetoksifikasi atau dihilangkan konsentrasi bahan beracunya sehingga secara teoritis dapat dilepaskan ke lingkungan.
Namun ada berbagai pertimbangan yang menjadikan tailing ini berpotensi mencemari lingkungan. Tailing umumnya dilepaskan dalam jumlah besar. Untuk ekstraksi tembaga dan emas, 99% dari produksi bijih akan menjadi tailing. Jumlah yang besar ini memerlukan penempatan yang akurat dan aman. Apabila ditempatkan di sungai tentu akan merusak habitat substansi biotik. Ide untuk menempatkan di palung laut juga beresiko jika tidak didasari penelitian dan perhitungan yang cermat dan berkelanjutan.
Tailing juga belum dapat dimanfaatkan optimal sebab regulasi untuk pemanfaatan material yang digolongkan sebagai limbah B3 (Bahan Berbahaya Beracun) ini terkendala banyak hal. Hanya ada beberapa aktivitas tambang seperti cut and fill yang mengurangi volume tailing yang terbuang di permukaan secara cukup signifikan.


Timbunan Tailing 


Fenomena tailing yang menonjol belakangan ini adalah Pembuangan Tailing Bawah Laut (Submarine Tailing Disposal) dimana tailing ditempatkan pada palung dengan kedalaman tertentu di bawah laut. Penempatan tailing ini sudah diperhitungkan matang baik dari segi kedalaman, jarak maupun flowa fauna biotik agar tidak mencemari sekitar titik penumpahan selain karena memang telah didetoksifikasi terlebih dahulu. Hanya karena jumlahnya yang kian besar dan potensi pencemaran masih tetap ada, tetap menjadi perdebatan kalangan praktisi dan konservasionis.

Skema Submarine Tailing Placement di Salah Satu Tambang  Kanada


c.   Pertambangan Tanpa Izin (PETI)
Pertambangan tanpa izin menjadi masalah pelik yang dihadapi dunia pertambangan karena kompleksitas econososioculturpolitik yang dimilikinya. Begitu rumit untuk jika hanya melihat PETI dari satu sisi saja, lebih dari sudut pandang ekonomi dna budaya,disitu juga terangkum permasalahan Corporate Social Responsibility dan lingkungan.
PETI tidak sekedar urusan perut masyarakat miskin sekitar tambang, sudah ada urusan cukong dan becking di belakangnya. Terlebih jika aparat keamanan juga turut bermain. Seperti yang terlihat pada aktivitas PETI batubara di Kalimantan Selatan, PETI emas di Jawa Barat dan Kalimantan Tengah. Semuanya didukung oleh pemilik modal dan tidak lagi merupakan usaha penambangan tradisional. Kondisinya semakin sulit diselesaikan selain karena minimnya good will dari pemerintah daerah dan pusat.