Komisi Dunia untuk Lingkungan dan Pembangunan (World Commission on Environment and Development/WCED) mendefinisikan pembangunan berkelanjutan sebagai pembangunan yang memenuhi kebutuhan saat ini dengan mengkompromikan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya sendiri. Pembangunan berkelanjutan menuntut masyarakat agar memenuhi kebutuhan manusia dengan meningkatkan potensi produktif melalui cara-cara yang ramah lingkungan maupun dengan menjamin tersedianya peluang yang adil bagi semua pihak (WCED, 1997). Untuk itu diperlukan pengaturan agar lingkungan tetap mampu mendukung kegiatan pembangunan dalam rangka memenuhi kebutuhan manusia.
Pertambangan adalah usaha mengelola sumberdaya alam yang tidak terbaharui dengan mengambil mineral berharga dari dalam bumi. Pertambangan memang memiliki potensi untuk merusak lingkungan. Dewasa ini paradigma pertambangan sudah mulai bergeser dari pilar keuntungan ekonomi menjadi tiga pilar, orientasi ekonomi, kesejahteraan sosial dan perlindungan lingkungan.
Berlanjutnya sistem ekologi di sekitar wilayah pertambangan sangat berkaitan pula dengan dayadukung wilayah tersebut. Hal ini disebabkan karena sumberdaya pada suatu daerah yang telah terganggu oleh aktivitas penambangan memiliki batas kemampuan untuk menghadapi perubahan, mendukung sistem kehidupan, serta menyerap limbah.
Potensi penurunan fungsi lingkungan yang masih mungkin terjadi adalah akibat masuknya tailing sebagai hasil sampingan produk pertambangan ke dalam lingkungan. Karena pembuangan tailing ini berjalan terus seiring produksi perusahaan maka volume yang dikeluarkan juga akan ada dalam jumlah besar sehingga perlu pengelolaan yang kontinyu dan akurat.
Pengertian Tailing
Tailing sebenarnya merupakan limbah yang dihasilkan dari proses penggerusan batuan tambang (ore) yang mengandung bijih mineral untuk diambil mineral berharganya. Tailing umumnya memiliki komposisi sekitar 50% batuan dan 50% air sehingga sifatnya seperti lumpur (slurry). Sebagai limbah, tailing dapat dikatakan sebagai sampah dan berpotensi mencemarkan lingkungan baik dilihat dari volume yang dihasilkan maupun potensi rembesan yang mungkin terjadi pada tempat pembuangan tailing. Tailing hasil ekstraksi logam seperti emas dan nikel umumnya masih mengandung beberapa logam dengan kadar tertentu. Logam ini berasal dari logam yang terbentuk bersamaan dengan proses pembentukan mineral berharga itu sendiri. Mineral yang mengandung emas dan perak biasanya berasosiasi dengan logam perak, besi, chrom, seng dan tembaga seperti kalkokpirit (CuFeS2) dan berbagai mineral sulfida lain.
Karena di dalam tailing kandungan logam berharga sudah sangat sedikit dan dalam jumlah yang tidak ekonomis, maka tailing ini biasanya dibuang. Perbandingan logam berharga sepeti emas dan tailing sangat besar. Untuk penambangan emas dan perak secara bawah tanah di Jawa Barat, dalam satu ton bijih batuan hanya mengandung rata-rata Au 9 gr/ton dan Ag 96 gr/ton (Antam, 2006). Sedangkan di daerah lain yang menambag emas porfiri dan tembaga hanya dengan kadar rata-rata hanya Au 0,3 gr/ton dan Ag 1,06 gr/ton.
Perbedaan volume dan kadar yang besar ini menyebabkan jumlah tailing hasil pengolahan dan penambangan sangat besar. Untuk penambangan dengan sistem open pit, jumlahnya sangat besar. Sebuah tambang tembaga asing menghasilkan 40 juta ton tailing per tahunnya kemudian dengan skala lebih besar lagi menghasilkan lebih dai 81 juta ton tailing tiap tahunnya.
Tailing Sebagai Limbah
Pengertian limbah berdasarkan PP No. 19/1994 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun adalah bahan sisa pada suatu kegiatan dan atau proses produksi. Jika melampaui nilai ambang batas dapat membahayakan lingkungan di sekitarnya. Tailing berpotensi sebagai sumber pencemar lingkungan apabila tidak dikelola dengan baik akan mengakibatkan pengotoran lingkungan, pencemaran air dan tanah. Pengertian tailing diatas dapat diartikan sebagai limbah pada sisa aktivitas pengolahan dan penambangan, tidak terpakai, karena membahayakan lingkungan harus dikelola dari lingkungan. Dengan demikian diperlukan biaya yang tidak sedikit untuk mengelola tailing ini.
Tailing penambangan emas sebagai limbah adalah sisa setelah terjadi pemisahan konsentrat atau logam berharga dari bijih batuan di pabrik pengolahan, bentuknya merupakan batuan alami yang telah digerus. Dalam artian sebagai limbah, tailing ini tidak bernilai karena hanya sebagai produk sisa atau buangan dari pengambilan emas dan perak.
Tailing Sebagai Sumberdaya
Dilain pihak terdapat pengertian bahwa tailing merupakan potensi sumberdaya yang dapat dimanfaatkan sehingga mempunyai nilai tambah sebagai produk yang dapat dimanfaatkan kembali menjadi produk lain. Dengan demikian diharapkan dapat menghasilkan nilai tambah dari hanya sekedar limbah yang tidak termanfaatkan.
Tailing sebagai sumberdaya telah mulai dimanfaatkan di beberapa perusahaan pertambangan baik di dalam maupun luar negeri. Komposisi utama tailing hasil penambangan emas umumnya adalah kuarsa, lempung silikat dan beberapa logam yang terkandung di dalamnya (Prasetyo, 2005). Komposisi tailing seperti ini ditambah lagi dengan ukuran yang halus membuat banyak tailing dimanfaatan sebagai media tanam untuk reklamasi, pengurukan lahan reklamasi dengan sistem cutt and fill serta pembuatan bahan bangunan dan agregat. Untuk pembuatan bahan bangunan dan beton ini, tailing digunakan sebagai bahan utama dan ditambahkan beberapa bahan aditif lainnya.
Tailing sebagai sumberdaya telah mulai dimanfaatkan di beberapa perusahaan pertambangan baik di dalam maupun luar negeri. Komposisi utama tailing hasil penambangan emas umumnya adalah kuarsa, lempung silikat dan beberapa logam yang terkandung di dalamnya (Prasetyo, 2005). Komposisi tailing seperti ini ditambah lagi dengan ukuran yang halus membuat banyak tailing dimanfaatan sebagai media tanam untuk reklamasi, pengurukan lahan reklamasi dengan sistem cutt and fill serta pembuatan bahan bangunan dan agregat. Untuk pembuatan bahan bangunan dan beton ini, tailing digunakan sebagai bahan utama dan ditambahkan beberapa bahan aditif lainnya.
No comments:
Post a Comment