Friday, December 3, 2010

Tailing Antara Waste dan Pemanfaatan..

Pertambangan adalah usaha mengelola sumberdaya alam yang tidak terbaharui dengan mengambil mineral berharga dari dalam bumi. Pertambangan memang memiliki potensi untuk merusak lingkungan. Dewasa ini paradigma pertambangan sudah mulai bergeser dari pilar keuntungan ekonomi menjadi tiga pilar, orientasi ekonomi, kesejahteraan sosial dan perlindungan lingkungan.

Berlanjutnya sistem ekologi di sekitar wilayah pertambangan sangat berkaitan pula dengan dayadukung wilayah. Ini karena sumberdaya pada suatu daerah yang telah terganggu aktivitas penambangan memiliki batas kemampuan menghadapi perubahan, mendukung sistem kehidupan, serta menyerap limbah. Potensi penurunan fungsi lingkungan yang mungkin terjadi akibat masuknya tailing sebagai hasil sampingan produk pertambangan ke dalam lingkungan. Karena pembuangan tailing ini berjalan terus seiring produksi perusahaan maka volume yang dikeluarkan juga akan ada dalam jumlah besar sehingga perlu pengelolaan yang kontinyu dan akurat.

Tailing secara umum berkomposisi sekitar 50% batuan halus dan 50% air sehingga sifatnya seperti lumpur (slurry). Sebagai limbah, tailing dapat dikatakan sebagai sampah dan berpotensi mencemarkan lingkungan baik dilihat dari volume yang dihasilkan maupun potensi rembesan yang mungkin terjadi pada tempat pembuangan tailing. Tailing hasil ekstraksi logam seperti emas dan nikel umumnya masih mengandung beberapa logam dengan relatif sedikit. Karena di dalam tailing kandungan logam berharga sudah sangat sedikit dan dalam jumlah yang tidak ekonomis, maka tailing ini biasanya dibuang.

Untuk penambangan tembaga dan emas secara open pit contohnya, 99% dari batuan yang diambil akan menjadi tailing, sisanya masuk ke processing plan unit. Bisa dibayangkan jika dua perusahaan penghasil “tembaga” menghasilkan 40 juta dan 81 juta ton tailing per tahunnya. Wow.. bisa menutupi berapa lapangan bola jika dihampar ya...??

 
Luasan Tailing Freeport

Tailing = Limbah B3 = Pencemaran..?  

Pengertian limbah berdasarkan PP No. 19/1994 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun adalah bahan sisa pada suatu kegiatan dan atau proses produksi. Sedangkan pengertian limbah B3 berdasarkan pasal 1 PP No. 19 tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah B3 adalah “sisa suatu usaha dan/atau kegiatan yang mengandung bahan berbahaya dan/atau beracun yang karena sifat dan/atau konsentrasinya dan/atau jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung, dapat mencemarkan dan/atau merusakkan lingkungan hidup, dan/atau dapat membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, kelangsungan hidup manusia serta makhluk hidup lain”. Jika mengacu pada postulat ini, tailing juga masuk dalam kategori limbah dan limbah B3 karena berpotensi sebagai sumber pencemar lingkungan,


Limbah B3 yang dipisahkan di operasional tambang (sumber ptfi.com)

Tailing as a Resources

Dilain pihak terdapat pengertian bahwa tailing merupakan potensi sumberdaya yang dapat dimanfaatkan sehingga mempunyai nilai tambah sebagai produk yang dapat dimanfaatkan kembali menjadi produk lain. Dengan demikian diharapkan dapat menghasilkan nilai tambah dari hanya sekedar limbah yang tidak termanfaatkan.

Tailing sebagai sumberdaya telah mulai dimanfaatkan di beberapa perusahaan pertambangan baik di dalam maupun luar negeri khususnya tailing dari pertambangan emas. Komposisi utama tailing hasil penambangan emas umumnya adalah kuarsa, lempung silikat dan beberapa logam yang terkandung di dalamnya (Prasetyo, 2005).


Aliran sungai yang terbendung tailing (sumber female.kompas.com)

Considerans dalam Pemanfaatan Tailing

Volume tailing yang dihasilkan perusahaan tambang sangat besar, maka tailing harus ditempatkan di lokasi khusus dan dengan maintenance yang akurat. Pemilihan sistem penempatan tailing dan pemanfaatan tailing bukan saja memikirkan faktor biaya tetapi juga dampaknya bagi lingkungan hidup. Perkembangan industri pertambangan saat ini membuat produksi harus diiringi dengan pelaksanaan penambangan yang bertanggung jawab dan mengikuti tata kelola pertambangan yang baik a.k.a good mining practice.

Semakin tinggi volume tailing yang akan dibuang, semakin besar luas pula area yang diperlukan untuk menampung tailing (tailing dam). Semakin luasnya penggunaan tanah ini berarti akan menambah beban limbah ke lingkungan. Para ahli tambang dan lingkungan merekomendasikan pemanfaatan kembali tailing ini untuk berbagai keperluan aktivitas penambangan karena praktik terbaik pengelolaan lingkungan di pertambangan menuntut proses yang terus menerus dan terpadu, mulai kegiatan eksplorasi awal hingga konstruksi, pengoperasian dan penutupannya (Arief, 2007).

Pemanfaatan kembali tailing dapat dilakukan dengan berbagai cara seperti penggunaan agregat (bahan bangunan), sebagai media tanam, pembuatan jalan, reklamasi lahan pantai maupun pengisi lubang bukaan tambang (backfilling). Pemanfaatan tailing sejalan dengan prinsip 3 R (reduce, reuse dan recycle) akan mengurangi volume tailing sehingga beban lingkungan berkurang.

Karakteristik tambang bawah tanah sangat khas karena disesuaikan dengan jenis dan kondisi cadangan. Meskipun begitu, baik tambang bawah tanah maupun open pit, keduanya selalu menghasilkan tailing. Tabel ini menunjukkan produksi dan tailing di tambang terbuka dan bawah tanah serta pemanfaatannya di tambang Indonesia:

1. PT. Freeport Indonesia (open pit da underground mining) yang menambang tembaga, emas dan perak dengan deskripsi kadar emas 0,85 gr/ton, perak 3,8 gr/ton dan tembaga 0,85%. Produksi tahunan sebanyak 45,73 ton emas dan 151 ton perak. Tailing yang dihasilkan sebanyak 81 juta ton dan dimanfaatkan untuk pembuatan jembatan, bahan bangunan dan media reklamasi khususnya di daerah modifikasi Ajkwa.

2. PT. Newmont Nusa Tenggara (open pit mining) yang menambang tembaga, emas dan perak dengan deskripsi kadar emas 0,47 gr/ton, perak 1,47 gr/ton dan tembaga 0,54%. Produksi tahunan sebanyak 22,46 ton emas dan 45,2 ton perak. Tailing yang dihasilkan sebanyak 41,6 juta ton dan dimanfaatkan untuk pembuatan rumpon dan perikanan di pantai Senunu. Sebagai informasi tambahan, pembuangan tailing di NNT ini tidak ditempatkan di permukaan atau dalam sebuah bendungan melainkan menggunakan metode Submarine Tailing Placement, yaitu penempatan tailing di dasar laut tepatnya di palung Teluk Senunu.


Lokasi Penempatan Tailing PT. NNT (sumber mgi.esdm.go.id)

3. PT. Antam UBPE Pongkor (underground mining) yang menambang emas dan perak dengan kadar rata-rata emas 4-8 gr/ton dan kadar perak 96 gr/ton. Produksi tahunan emas sebanyak 2,6 ton dan perak 27 ton sedangkan volume tailing yang dihasilkan adalah 350 ribu ton dan dimanfaatkan untuk aktivitas backfilling (menempatkan tailing kembali ke dalam tambang), pembuatan agregat dan sebagai media tanam untuk reklamasi.

4. PT. Nusa Halmahera Mineral (open pit dan underground mining) yang menambang emas berkadar 29 gram/ton dengan produksi 320 ribu troy ounce emas dan200 ribu troy ounce perak. Jumlah tailing yang dihasilkan sebanyak 549 ribu ton tailing. Sebagian tailing ini dimanfaatkan untuk proses backfilling.

Sumber: Laporan tahunan PTFI, PTNNT, UBPEP, PTNHM


Pemanfaatan tailing di PT. Freeport Indonesia (kiri) dan PT. Antam Pongkor (kanan)

Reklamasi di Lahan Tailing

Untuk dapat memanfaatkan tailing harus ada beberapa parameter yang diketahui terlebih dahulu terkait dengan tingkat keamanan penggunaan karena ini terkait dengan sifat toksisitas tailing. Variabel tersebut antara lain konsentrasi logam berat yang tersisa, LD50 (Lethal Dose 50) dan TCLP (Toxisity Characteristic Leachate Procedure). Tiga parameter ini yang dapat dianalisis untuk mengetahui tingkat keamanan pemanfaatan tailing.

a. LD50 atau lethal dose 50 adalah konsentrasi dari bahan kimia atau radiasi yang pada satu kali pemberian akan menyebabkan kematian pada 50% dari populasi hewan percobaan. LD50 ini sering dijadikan sebagai indikator toksistas terhadap suatu zat. LD50 merupakan perhitungan untuk menghitung potensi terkena racun relatif terhadap bahan kimia. Jadi semakin kecil nilai LD50, bahan kimia tersebut semakin berbahaya. Artinya pada konsentrasi sedikit saja, bahan kimia tersebut sudah memberi efek toksik besar bagi populasi hewan percobaan. Klasifikasi toksisitas suatu zat dapat dikategorikan berdasarkan nilai dosis zat tersebut. Klasifikasinya seperti penjelasan berikut ini:



o Nilai dosis 1 mg/kg berat badan (bb) masuk dalam kategori supertoxic

o Nilai dosis 1-5 mg/kg berat badan (bb) masuk dalam kategori extremely toxic

o Nilai dosis 5-50 mg/kg berat badan (bb) masuk dalam kategori highly toxic

o Nilai dosis 50-500 mg/kg berat badan (bb) masuk dalam kategori moderately toxic

o Nilai dosis 500-5000 mg/kg berat badan (bb) masuk dalam kategori slighly toxic

o Nilai dosis 5000-15.000 mg/kg berat badan (bb) masuk dalam kategori practically non toxic

Sumber: Sutamihardja, 2004



Nilai Toksisitas dapat saja berbeda disetiap Negara, karena disesuaikan dengan peraturan di Negara tersebut. Mungkin saja tingkat toksik suatu zat di Jepang lebih straight daripada di Indonesia atau justur sebaliknya. Nilai toksisitas di beberapa Negara seperti di bawah ini:

o US EPA (40 CFR part 261.11) dengan nilai dosis <50> mg/kg berat badan

o Kanada (Guide to Canadian transportation of dangerous goods a act and regulation) dengan nilai dosis <200>mg/kg berat badan

o Jepang (environmental regulation) dengan nilai dosis <500> mg/kg berat badan

o Cina (Hazardous Substance Regulation) dengan nilai dosis 200-1000 mg/kg berat badan dan

o Indonesia (PP No. 85/1999) dengannilai dsis <50 mg/kg berat badan



Biasanya uji LD50 ini didapat dari hasil pengujian terhadap tikus mencit (mus musculus) di laboratorium atau terhadap beberapa jenis mamalia lain. Tabel diatas adalah peraturan yang diacu untuk menentukan nilai LD50 di beberapa negara. Jika dari hasil pengukuran tailing menunjukan konsentrasi slighly toxic, artinya tailing tersebut bisa dimanfaatkan tanpa menimbulkan dampak toksic yang berbahaya.

b. TCLP test. Hasil uji TCLP adalah untuk menentukan tingkat kelindian dan toksisitas dari sampel tailing. Uji TCLP ini dilakukan pada logam yang berpotensi larut jika terkena air atau asam. Tailing apabila digunakan namun terkena air dalam waktu lama, dapat berpotensi melepas partikel logam yang tersisa sehingga untuk mengetahui tingkat keamanan dari kondisi ini, perlu dilakukan uji TCLP. Jika kelarutan logam melebih Baku Mutu yang ditetapkan (PPRI No. 18/1999) maka tailing tersebut tidak aman untuk dimanfaatkan.



c. Konsentrasi Logam Berat. Istilah logam diberikan kepada semua unsur kimia yang memiliki sifat logam; konduktor, membentuk aloy, dtempa dan dibentuk. Sedangkan pengertian logam berat adalah golongan logam yang bila masuk ke dalam organisme hidup akan memberikan pengaruh besar (Palar, 1994). Logam berat telah digunakan secara luas untuk mengambarkan logam dengan karakteristik; memiliki spesific gravity lebih dari 4, memiliki nomor atom 22-34 dan 40-50 serta unsur-unsur lantanida dan aktinida, memiliki respon biokimia spesifik pada organisme.

Di dalam tailing, masih terdapat konsentrasi logam seperti Besi, Mangan, Seng, Kadmiun, Timah Hitam dan Tembaga. Beberapa logam ini potensial bersifat toksik terhadap manusia karena termasuk logam berat seperti timah hitam (Pb), kadmium (Cd), tembaga (Cu) dan Zn. Jika dari hasil pengukuran konsentrasi logam diketahui bahwa konsentrasi yang ada di ddalam tailing dibawah baku mutu, maka tailing tersebut aman untuk dimanfaatkan.

Tentunya masih banyak metode yang dapat diaplikasikan untuk bias memanfaatkan tailing ini. Di masa mendatang, pertambangan haruslah menjadi industry yang berbasis pada lingkungan, kesejahteraan masyarakat dan kontribusi nasional. Singkatnya, mampu menggapai 3P, people, planet and profit.

No comments: