Sunday, May 1, 2011

Merekontruksi Pemikiran Terhadap Pertambangan (Bagian I)

Pertambangan pada dasarnya merupakan industri yang mengambil mineral dari dalam bumi lalu memprosesnya sebagai bahan tambang untuk menghasilkan berbagai produk yang dibutuhkan umat manusia. Pada dasarnya, ada tiga klasifikasi bahan tambang yang dimanfaatkan manusia, yaitu logam seperti emas, timah, perak maupun tembaga. Kemudian kedua mineral industri atau bahan galian golongan C seperti andesit, granit, sirtu, batu kapur, bentonit kemudian terakhir adalah bahan tambang untuk energy seperti batubara, coal bed methane, minyak bumi dan gas alam.

Produk yang dihasilkan dari industri pertambangan mineral umumnya masih berupa produk setengah jadi atau hanya di kategori round I. tetapi produk inilah yang menjadi input utama bagi banyak industri hilir. Disadari atau tidak, hampir seluruh barang yang di sekeliling kita terkait dengan hasil produk pertambangan muai dari kebutuhan primer hingga tersier. Rumah, energy, minyak tanah, bensin atau lihatlah mobil, motor, pesawat, kereta api dan banyak kendaraan lainnya. Kemudian juga dengan laptop, lampu neon, perhiasan, serat optic dan kabel bawah laut. Hampir tidak ada kebutuhan kita yang tidak didukung dari hasil pertambangan.



Tembaga, salah satu produk pertambangan yang digunakan di banyak kebutuhan manusia

Sekarang rasanya tak adil jika kita menafikan peran penting dari industri pertambangan sehingga perlu perhatian proposional dalam memandang seperti apakah industri pertambangan itu sesungguhnya. Mengapa perlu memandang secara proporsional…??

Computer yang hampir seluruh bagian adalah produk tambang

Meski begitu, sejak digulirkannya reformasi beberapa waktu lalu, industri pertambangan terus mendapat sorotan dan banyak elemen masyarakat. Bnyak isu yang digulirkan untuk menyorot industri pertambangan. Isu moratorium hutan dan pelarangan aktivitas penambangan di wilayah hutan lindung menurut UU No. 41/1999 (yang kini telah dikeluarkan Perppu No. 1/2004 tentang Perubahan atas UU No. 41/1999 tentang Kehutanan yang telah mengizinkan beberapa perusahaan tambang untuk melanjutkan aktivitas penambangan akibat pelarangan aktivitas penambangan terbuka di kawasan hutan lindung), penyerobotan wilayah dan hak ulayat, pelanggaran HAM, pencemaran dan perusakan lingkungan, pemiskinan di masyarakat lingkar tambang.

Kembali ke pertanyaan diatas, kenapa harus memandang dengan proporsional..? karena dari berbagai isu yang dilontarkan banyak pengkritik seperti Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Organisasi Non Pemerintah (Ornop), aktivis lingkungan dan kelompok masyarakat tertentu selalu menonjolkan sisi negatif dan menghilangkan sisi positif sehingga cenderung mendiskreditkan aktivitas pertambangan. Bahkan banyak yang mengkritik pertambangan secara buta. Ujung-ujungnya dapat diterka yaitu untuk menghentikan aktivitas pertambangan di Indonesia. Secara ekstremnya dapat kita sebut Moratorium Pertambangan.

 
Moratorium untuk menghentikan aktivitas penambangan

Apabila kita telaah mendalam lagi, maka ada dua kategori argument yang dilontarkan oleh mereka yaitu mereka yang mengerti dan tidak mengerti sama sekali tentang pertambangan. Mereka yang mengerti tentunya akan mampu memberikan argument yang berdasarkan fakta dan dapat didiskusikan secara ilmiah. Namun bagi mereka yang tak mengerti –yang jumlahnya justru mayoritas- telah menimbulkan persepsi yang keliru dan menegatifkan pertambangan sehingga yang terjadi justru penyesatan informasi public.  

Telah banyak ditulis, ditayangkan di media mengenai cara pandang yang keliru dan menyesatkan. Besarnya gelombang kritikan ini menghujam pertambangan di satu sisi namun juga dapat menjadi celah untuk memposisikan diri sebagai industri yang memberikan manfaat.

Artikel ini hanya berusaha untuk meluruskan pernyataan dan persepsi yang keliru sehingga mampu untuk memberikan refleksi yang objektif dan proporsional. Lebih gamblangnya, untuk merekrontuksi pemikiran terhadap industri pertambangan itu sendiri.


Mari Merekrontuksi…!!!

Kekeliruan Persepsi Kelompok Pengkritik

Setidaknya ada 5 hal yang menjadi kekeliruan yang menonjol bagi kelompok pengkritik dalam memandang industri pertambangan yaitu pembukaan lahan secara ektensif, eksploitasi tanpa reklamasi, metode penambangan, kerusakan lingkungan dan post mining closure.



1. Pertambangan Membuka Lahan Secara Ekstensif

Pertama adalah pertambangan selalu dikaitkan dengan aktivitas membuka dan merubah lahan secara ektensif sehingga menghancurkan hutan dan ekosistem pendukungnya. Ada kekeliruan disini karena tidak karakteristik aktivitas pertambangan memandang secara holistic.

Begini gamblangnya, aktivitas pertambangan merupakan rangkaian dari beberapa rantai kegiatan utama yaitu ekplorasi (pencarian dan penilaian cadangan), eksploitasi (pengambilan mineral), pengolahan dan pemurnian mineral serta reklamasi dan pasca tambang. Eksplorasi merupakan aktivitas untuk menentukan keberadaan, karakteristik, kuantitas dan kualitas serta nilaikeekonomian cadangan tambang. Ini adalah aktivitas awal yang penuh resiko dan waktu lama. Penuh resiko karena hanya mengelurakan cost tanpa ada pemasukan dengan resiko tidak ditemukannya cadangan mineral dengan kualitas dan kuantitas yang diharapkan. Kemudian waktu yang dibutuhkan juga relative lama berkisar lima hingga belasan tahun.

Jadi dari resiko dan lamanya waktu eksplorasi tersebut, rupanya banyak memaksa ratusan perusahaan tambang untuk “gagal” masuk ke tahap eksploitasi, hanya terminasi atau penundaan. Data tahun 2004 dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral hanya 36 perusahaan yang mampu melaju ke tahap selanjutnya dibanding ratusan yang tertunda.

Untuk wilayah eksplorasi, pemerintah melalui PP No. 32/1969 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Pokok Pertambangan No. 11/1967 memberikan izin eksplorasi seluas 25.000 hektar. Sepintas wilayah ini cukup luas. Namun tunggu dulu, ternyata tidak seluruh wilayah tersebut menjadi aktivitas eksplorasi. Hanya pada lokasi-lokasi tertentu yang mengindikasikan cadangan ekonomis. Aktivitas eksplorasi pun difokuskan pada aktivitas pengeboran untuk mendapatkan data kualitas dan kuantitas cadangan sehingga dapat dikatakan hampir tidak ada wilayah hutan yang terganggu.

Bukaan selama proses eksplorasi hanya diperlukan untuk akses masuk dan sekitar lokasi peralatan eksplorasi. Jadi tidak ada pembukaan lahan secara ekstensif. Bahkan dengan teknoloig terkini seperti penginderaan jauh, remote sensing, ground and airborne geophysics mampu mengurangi secara signifikan luasan pembukaan lahan mengingat teknologi geofisik ini mampu mendeteksi dan menganalisis cadangan tanpa harus membuka lahan.

 
Pengeboran eksplorasi hanya menggunakan sangat sedikit lahan terbuka

Selain itu, sebagian wilayah akan dikembalikan kepada pemerintah sebagai relinquishment secara bertahap kalau tidak perusahaan akan terus terbebani oleh pajak sewa tanahnya. Pengembalian wilayah ini selain akan menjadi cost juga karena wilayah tersebut diketahui tidak memiliki cadangan ekonomis.

Apabila cadangan yang ditemui diyakini memiliki kualitas dan kuanttas ekonomik, maka aktivitas berlanjut ke tahapan eksploitasi yaitu untuk menggali dan memproses mineral lebih lanjut. Metode yang digunakan dalam eksploitasi secara umum ada dua yaitu dengan tambang terbuka dan tambang bawah tanah. Perlu diketahui bahwa sebelum eksploitasi dilakukan, harus dilaksanakan dhahulu studi kelayakan secara detail dan pembangunan kontruksi serta infrastruktur. Waktu persiapan eksploitasi ini sekitar 2-5 tahun dengan perkiraan dana mencapai US$ 10 juta-US$ 500 juta.

Dan dari wilayah yang digunakan dalam tahap eksploitasi ini, bukaan lahan hanya mencapai rata-rata 25% dari luasan eksplorasi atau sekitar 5.000 Ha. Dan inipun tidak seluruhnya dibuka. Hanya pada lahan yang dianggap ekonomis. Laporan dari Clive Aspinal pada tahun 2000 menunjukkan untuk luasan seluruh aktivitas eksplorasi tambang di Indonesia hanya membuka lahan seluas 135 ribu Ha atau hanya 0,1% dari luas seluruh wilayah hutan Indonesia.


2. Metode Penambangan

Yang kedua adalah bagaimana memilih metode penambangan yang tepat. Pemilihan metode penambangan bukan semata didasarkan pada pertimbangan biaya operasional. Criteria biaya ni hanyalah satu dari empat criteria lain sebagai dasar pemilihan metode penambangan. Criteria tersebut adalah lokasi cadangan, kondisi lingkungan, factor keamanan serta factor biaya.

Tidak ada satu manusiapun yang dapat menentukan lokasi keterdapatan tambang, begitupula dengan jenis metode yang akan dipilih. Cadangan terbentuk secara alamiah sebagai “given” dari yang Maha Kuasa. Apabila ia ada dalam di bawah tanah, hampir dapat dipastikan metode underground yang cocok, apabila terletak dekat permukaan maka tambang terbukalah yang akan digunakan.

Tambang terbuka diterapkan jika lokasi cadangan dekat dengan permukaan. Kemudian harus melakukan pembukaan lahan permukaan (land clearing) dan menyingkirkan tanah penutup (over burden). Metode ini memang memiliki tingkat produktivitas tinggi, biaya operasional rendah dan factor keselamatan kerja yang cukup tinggi.




Tambang nikel dilakukan dengan open pit karena letak cadangannya dekat permukaan

Tambang bawah tanah diperuntukan untk mengambil cadangan yang relatif jauh di bawah permukaan. Tambang bawah tanah ini hanya membuka sebagian kecil lahan di permukaan untuk penyediaan akses, infrastruktur kantor dan fasilitas pengolahan. Karena aktivitas eksploitasi dilakukan dibawah tanah, hampir tidak ada lahan permukaan yang tergangu.

Tidak ada yang dapat memaksakan pemilihan metode penambangan selain kondisi alamnya. Proses geologi yang menentukan bagaimana kondisi cadangan, dapat terletak dekat permukaan (seperti nikel dan timah) sehingga dilakukan tambang terbuka ataupun jauh di dalam bumi (endapan skarn emas dan tembaga atau vein emas) sehingga diterapkan tambang bawah tanah.

Sebaliknya endapan yang karena proses geologi pembentukannya sehingga berada jauh di bawah permukaan, diatas 500 m, seperti emas di Pongkor, hanya tambang dalam yang sesuai karena andai diterapkan tambang terbuka akan membutuhkan total biaya operasi besar untuk menyingkirkan tanah penutup sebelum mencapai endapan.

 
Tambang bawah tanah dan alat mekanisnya

Lalu bagaimana jika harus menambang di suatu lokasi dimana di permukaan terdapat wilayah yang tidak boleh terganggu seperti hutan lindung atau taman nasional misalnya..? inilah yang menjadi perbincangan menarik karena ada banyak pertimbangan disini. Jika harus ditambang dengan tambang bawah tanah, harus dipastikan kekuatan batuan dan kondisi geologi, jika rapuh justru sangat beresiko membahayakan keselamatan pekerja. Pemilihan ini mesti dilakukan analisis mendalam. Ada contoh menarik ketika tambang bawah tanah di Varengeville, Prancis, misalnya, diterapkan untuk menambang endapan garam yang berada di bawah permukiman padat.

Khusus untuk tambang batubara, endapan batubara Indonesia umumnya relative datar dan berlapis, terletak dekat dengan permukaan dan kekuatan batuan batubara dan samping yang lemah akibat besarnya pelapukan. Oleh karenanya, dengan konsideran karakteristik endapan dan keselamatan kerja, aktivitas penambangan batubara Indonesia umumnya dilakukan dengan metode tambang terbuka.

(bersambung...)

2 comments:

Barokah Shobar said...

mantab mas, teruskan berbaginya...makasih ya ikut baca2..

be the best

sukirno

radyan prasetyo said...

trima kasih mas, silahkan dibaca-baca dan disharing sepuasnya. sy bukan yg terbaik mas, cuma sekedar mencari dan berbagi ilmu Allah yg maha luas... mohon masukannya yah..