Tuesday, June 5, 2012

WHATS IS PERTAMBANGAN ALL ABOUT...?? ( I )

Indonesia adalah salah satu negara yang dianugerahi banyak sumber daya alam oleh Yang Maha Kuasa. Pemanfaatan SDA selama ini berhasil membawa ketergantungan Indonesia sebagai modal pembangunan. Dalam UUD 1945 pasal 33 ayat 3 dinyatakan bahwa: “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat“. Dan dalam pemanfaatannya terkadang dihadapkan pada dua pilihan, menjadikan SDA itu sebagai anugerah atau ustru sebagai kutukan. Anugerah maksudnya dapat dimanfaatkan optimal untuk rakyat dengan mimimisasi kerugian lingkungan dan sosial. Sebaliknya tentu menjadi kutukan.
It is not easy untuk menyelaraskan antara pertumbuhan dengan pemeratan, kemudian mana yang lebih banyak diperdebatkan antara  “azas penguasaan“ oleh negara dibandingkan dengan “azas pemanfaatan“. Fenomena yang banyak terjadi saat ini adalah lahirnya regulasi yang kurang berimbang dan cenderung lebih berpihak kepada aspek konservasi daripada menyentuh aspek peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Tetapi disadari bahwa pemanfaatan sumber daya alam terkadang menjadi tak terkendali dan terkadang juga tidak berkorelasi positif dengan kesejahteraan masyarakat sekitar. Oleh karena itu, dibutuhkan sebuah paradigma yang berimbang sebagai pedoman pelaksanaan pembangunan nasional, yang mampu menyeimbangkan antara penguasaan dan pemanfaatan.
Paradigma pembangunan nasional yang mesti duwujudkan saat ini adalah paradigma pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Intinya adalah pelaksanaan pembangunan berkelanjutan yang mengacu kepada keseimbangan antara dimensi ekonomi, sosial dan lingkungan hidup secara selaras dan berkesinambungan. Tiga dimensi ini adalah bagian integral, jadi jangan dilihat secara terpisah. Kebijakan harus mampu mengakomodir tiga dimensi ini. Pengambilan SDA harus mempertimbangkan pertumbuhan ekonomi, keseimbangan lingkungan dan pengembangan masyarakat sekitar. Paradigma ini menuntut ditempatkannya kepentingan nasional di atas semua kepentingan sektor atau bidang tertentu.



Pembangunan Berkelanjutan berusaha menyeimbangkan kebutuhan dan kemampuan generasi saat ini dan mendatang



Untuk pertambangan khususnya, mangingat keterdapatanya hampir selalu berada di wilayah remote dan di hutan lindung, pemanfaatanya harus dilihat sebagai sumberdaya yang tidak terbarukan baik jumlah dan waktunya. Eksploitasi tambang berlebihan tanpa melakukan revegetasi ataupun reklamasi pastiya akan mneimbulkan kerusakan lingkungan bahkan mampu memicu bencana lebih besar. Dan SDA tambang harus dilihat sebagai SDA tak terbarukan (unrenewable resources) dalam waktu dekat.
Eksploitasi sumberdaya alam haruslah difokuskan untuk membangun ”human capital”, ”build capital” dan ”social capital” secara berimbang sehingga modal ini kemudian dapat dikonversi kedalam bentuk penciptaan atau penguasaan teknologi. Hal ini yang dapat menciptakan kekuatan ekonomi (economic capital) sehingga penghematan eksploitasi sumberdaya tambang dapat dilakukan dan disesuaikan dengan kebutuhan perlindungan lingkungan. Jadi pengelolaan tambang seiring dengan pengelolaan sumberdaya ekosistem lingkungan sehingga pemanfaatanya optimal

Kesetimbangan Ekologi, Ekonomi dan Sosial


Bukan rahasia umum lagi jika selalu ada benturan antara pemanfaatan SDA tambang dengan kehutanan (kalau dirunut bisa diprediksi bahwa ini adalah sejarah masa lalu) yang membuktikan kuatnya ego sektoral. Buktinya adalah munculnya regulasi yang tidak memberi ruang keadilan dalam pemanfaatan sumber daya alam tak terbarukan ini.
As we know, hampir seluruh kebutuhan manusia selama ini tak lepas dari peran input hasil sumber daya alam terutama pertambangan, dan pertambangan erat dengan peningkatan kesejahteraan manusia. Bola lampu, besi, baja, perunggu, kuningan, gadget elektronik, mobil ,esawat, kereta api bahkan jam tangan menjadi produk pertambangan. Bahkan pertambangan di daulat menjadi “zaman” untuk membagi peradaban manusia seperti yang kita kenal  zaman batu, zaman perunggu, zaman besi hingga baja dan lainya.
Sarana yang kita pergunakan, baik yang bersifat statis maupun dinamis, dari berukuran mikro hingga giga, semuanya mengandung komponen logam ataupun non logam yang dihasilkan dari bahan tambang. Karenanya tidak berlebihan jika dikatakan bahwa perkembangan teknologi yang memberikan banyak kemudahan dalam kehidupan manusia tidak dapat berjalan sendiri tanpa dukungan dari hasil pertambangan.


Semua berawal dari mineral


Karena demand  yang besar dan supply yang terbatas, ditambah sifatnya yang unrenewable maka saat ini daur ulang (recycling) yang merupakan cara lain untuk memenuhi kebutuhan akan bahan tambang tersebut, meskipun ternyata tak mampu untuk memenuhi tingkat kebutuhan yang sangat tinggi.
Kemudian dengan berbagai masalah yang timbul terkait dengan optimasi SDA tambang ini, banyak yang melihat tidak secara jernih  bahwa tambang adalah kebutuhan integral untuk mencapai pembangunan berkelanjutan. Tiap kelompok selalu melihat dengan refleksi yang berbeda yang dipengaruhi oleh pengetahuan dan informasi pertambangan.
Pertama adalah pandangan mereka yang kurang memiliki informasi cukup tentang industri tambang. Praktis pandangan yang terbatas membuat mereka banya termakan oleh opini umum. Kemudian masyarakat yang jelas-jelas menolak industri tambang apapun alasanya dan terakhir masyarakat yang memahami pertambangan secara menyeluruh.Kebanyakan dari mereka melihat orientasi tak seimbang antara konservasi dengan benefit pertambangan lalu dampak lingkungan yang ditimbulkan aktivitas ini. Beberapa lainya melihat lebih pada orientasi politik semata.

a.      Perubahan Lingkungan Fisik.
Usaha pertambangan memang bersifat destruktif secara alami karena mengubah bentangan lahan, melakukan penggalian. Pembuakaan lahan hampir selalu di kawasan hutan baik prasarana penambangan maupun lokasi pit itu sendiri. Perubahan fisik lahan pasti terjadi, tetapi bukan berarti kerusakan lahan tersebut tidak dapat dikontrol. Oleh karena itu kajian AMDAL menjadi dasar dikeluarkannya izin penambangan.
Dalam AMDAL ini terangkum hal penting seperti
·           Ekstraksi dan Pembuangan Tailing Batuan. Ekstraksi mineral tailing dan produk samping dengan total limbah yang diproduksi bervariasi 10 % sampai sekitar 99,99 % dari total bahan yang ditambang. Hal-hal pokok yang perlu mendapatkan perhatian dalam menentukan besar dan pentingnya dampak lingkungan pada kegiatan ekstraksi dan pembuangan tailing adalah luas dan kedalaman zona mineralisasi, jumlah batuan yang akan ditambang dan dibuang, toksisitas tailing, potensi terjadinya air asam tambang, dampak kesehatan dan keselamatan terkait transportasi, penyimpanan dan penggunaan bahan peledak dan bahan kimia racun, bahan radio aktif, sifat geoteknik batuan, pengelolaan lumpur, kerusakan bentang lahan dan keruntuhan akibat penambangan bawah tanah hingga terlepasnya gas berbahaya dari tambang batubara bawah tanah. 

Tailing, sisa penambangan yang membutuhkan lahan ekstra luas


·         Pengolahan Bijih dan Pabrik Pengolahan ini tergantung pada jenis mineral yang diambil, proses menjadi konsentrat bijih- atau selanjutnya diikuti dengan pengolahan metalurgi dan refining. Bahan kimia yang digunakan di dalam proses pengolahan (sianida, merkuri, dan asam kuat) bersifat hazard. Pengangkutan, penyimpanan, penggunaan dan pembuangannya diawasi ketat untuk mencegah terjadinya gangguan terhadap kesehatan dan keselamatan serta mencegah pencemaran ke lingkungan.

·         Penampungan Pengolahan dan Pembuangan Tailing. Pengelolaan tailing merupakan salah satu aspek kegiatan pertambangan yang menimbulkan dampak lingkungan sangat penting. Kegagalan desain dari sistem penampungan tailing akan menimbulkan dampak yang sangat besar. Pengendalian pembuangan tailing harus memperhatikan pencegahan timbulnya rembesan, pencegahan erosi oleh angin, dan mencegah pengaruhnya terhadap fauna.

·         Pembangunan infrastruktur jalan akses dan pembangkit energi

·         Pembangunan Pemukiman Karyawan Dan Base Camp Pekerja.

·         Decomisioning dan Mining Closure. Setelah ditambang dan cadangan bijih dianggap tidak ekonomis lagi, tambang harus ditutup. Penutupan tambang ini banyak yang tidak mempertimbangkan aspek lingkungan sehingga tambang ditelantarkan dan tidak ada usaha untuk rehabilitasi. Pada prinsipnya kawasan atau sumberdaya alam yang dipengaruhi oleh kegiatan pertambangan harus dikembalikan ke kondisi yang aman dan produktif melalui rehabilitasi. Kondisi akhir rehabilitasi dapat diarahkan untuk mencapai kondisi seperti sebelum ditambang atau kondisi lain yang telah disepakati. Reklamasi seharusnya merupakan kegiatan yang terus menerus dan berlanjut sepanjang umur pertambangan. 



Penutupan tambang harusnya dapat menciptakan kondisi semacam ini

Meski begitu kerap dipertanyakan bagaimana monitoring AMDAL itu sendiri dan dapat ditebak kesan perubahan fisik tambang yang negatif makin kental. Apalagi tambang dikenal memiliki banyak pit sehingga reklamasi dilakukan setelah perpindahan pit.

Pradoks bila kita menatap PETI (Penambang Tanpa Izin) yang kerap dipicu oleh penyalahtafsiran otonomi daerah maupun lemahnya law enforcement yang menjadi sumber kerusakan lingkungan extra parah. Hanya saja banyak NGO yang kerap memperjuangkan isu lingkungan tidak memberikan perhatian besar atas aktivitas PETI ini dengan dalih marginalitas dan menarik simpati masyarakat.

Aktvitas PETI Batubara, sarat dengan konflik kepentingan dan merusak lingkungan 


 Pertambangan Sesuatu yang Merugikan
Kritisi tambang menganggap entitas ini merugikan yang didasari kebijakan nasional yang lemah. Deplesi SDA dikhawatirkan tidak menyisakan untuk generasi mendatang sehingga banyak yg meminta hasil eksploitasi kembali ke daerah dalam bentuk pembangunan. Dan bersama semangat euforia otonomi daerah, pengembalian ke daerah ini banyak yang menjadikan radja-radja kecil dan justru memperburuk iklim pertambangan itu sendiri. Good governance adalah salah satu kunci untuk keberhasilam optimasi SDA tambang. Apabila belum dilakukan baik, maka belum memberikan dampak positif yang signifikan kepada masyarakat lokal dan lingkungan.
Kemudian hasil dari belum tergapainya industri pengolahan mineral domestik (baca smelter) mengakibatkan produk Indonesia banyak dijual dalam bentuk barang mentah dan hanya menghasilkan sedikit revenue. Lebih jauh lagi Indonesia mengimpor produk jadi barang tambang dengan harga jauh lebih tinggi. Akan berbeda ceritanya jika pengolahan tersebut sudah ada di dalam negeri. 
Smelter, memberikan nilai tambah bagi produk pertambangan

Ada pula anggapan bahwa pengembangan sumberdaya alam lebih sedikit mendatangkan manfaat daripada penambangan yang dipicu oleh korelasi penambangan versus ketersediaan sumberdaya di ekosostem. Kemudian ada pula biaya eskternal yang diinteralkan (internalisasi eksternal cost) dan kegagalan pasa di mata konservasionis.

Tumpang Tindih dengan Hutan Lindung.
Jika memang keterdapatan alami mineral itu ada di kawasan remote, di bawah tanah dan terletak di hutan lindung, apakah kita bisa merubahnya..?? keterdapatan cadangan itu adalah given by nature mengingat pembentukan mineral terkait dengan aktivitas vuulkanisme dan proses geologi yang sangat lama.
Lantas apabila ada yang meminta bahwa pertambangan dienyahkan dari hutan lindung, apakah itu masuk akal? Lalu bagaimana dengan perizinan? Dalam sistem land tenure di Indonesia diakui atau tidak masih lemah dalam perizinan. Sudah jelas bahwa Undang-undang Agraria menjadi payung hukum untuk regulasi pertanahan, tetapi timbul regulasi yang tumpang tindih. Contohnya adalah penetapan wilayah hutan lindung setelah dikeluarkanya perizinan Kontrak Karya dan Kuasa Pertambangan.
Lalu kriteria penetapan hutan lindung yang terkadang tidak disepakati oleh banyak pihak dimana hanya berdasar pada parameter kelerengan (menyebabkan kawasan gunung api atau lahan dengan kemiringan lereng 40%> dianggap hutan lindung). Ada dilema ketika ada keinginan konservasi hutan lindung yang menyangga sistem kehidupan dengan usaha mengambil manfaat dari bahan tambang. Bisa ditebak opini publik yang muncul adalah penambangan mengganggu hutan lindung. Pandangan lain dari kaum konservasionic hutan lindung selain sebagai penyangga sistem adalah kawasan dengan kekayaan biodiversity tinggi sehingga penggunaan kawasan ini sebagai daerah pertambangan akan merugikan negara. 


Penetapan huan lindung atas dasar hewan endemik adalah perlu

Perlu digarisbawahi bahwa batasan hutan lindung didefenisikan dalam UU No. 41/1999 lebih didasarkan pada aspek teknis morfologi daripada aspek fungsi hutan itu sendiri dan tidak memuat unsur keragaman hayati tersebut. Akibatnya, sering kawasan yang didefinisikan sebagai hutan lindung justru tak memiliki karakter sebagai sebuah kawasan penyangga sistem kehidupan. Banyak ditemukan kawasan yang sama sekali tidak memiliki keragaman hayati, hanya ditumbuhi ilalang, dinyatakan sebagai hutan lindung karena memenuhi batasan teknis sebuah hutan lindung. Karena itu, sering benturan antara sektor pertambangan dan lingkungan ini terjadi tidak pada tataran pemahaman yang sama, dan sulit ditemukan ujungnya.

Penambangan Menimbulkan Konflik Sosekbud
Secara alami, aktivitas pertambangan akan meberi dampak pada nilai budaya aktivitas ekonomi dan dampak sosial yang kompleks. Mulai dari tahap ganti untung lahan, perubahan tingkat kesejahteraan sebagian orang dan harapan untuk bekerja di peruahaan yang high tech dan padat modal.
Masuknya tenaga kerja non pribumi dan minimnya penerimaan untuk tenaga lokal, perubahan pola hidup masyarakat tambang yag cenderung konsumtif bertemu dengan penduduk lokal dengan tingkat kesejahteraan rendah. Teknologi maju bertemu dengan masyarakat sekitar yang notabene tingkat pendidikan kurang, keseluruhan ini tentunya akan menimbulkan kesenjangan.
Dapatlah kita menyebut mereka yang datang dengan pertambangan sebagai the have dan masyrakat sekitar sebagai the haven’t. Makin lebar kesenjangan tentunya gesekan antara the have dengan the haven’t ini makin tinggi dan potensi memicu konflik juga makin besar. Untuk meredam kondisi ini banyak digulirkan program Community Development (CD)yang tidak jarang melahirkan hasil yang kontra-produktif. 

Masyarakat Lingkar Tambang, harus sejahtera seiring perkembangan perusahaan tambang



Adanya orientasi yang tidak proporsional terhadap kebutuhan keamanan perusahaan serta tiadanya perencanaan yang memadai, membuat upaya untuk memandirikan masyarakat cenderung melahirkan ketergantungan yang semi-permanen. Persoalan sosial lain yang sering muncul adalah ketika kawasan pertambangan tersebut berada dalam suatu wilayah adat suatu masyarakat, dimana masyarakat tersebut tidak diikutsertakan dalam proses pengambilan keputusan pembukaan tambang tersebut (prior informed consent).

Dampak Lingkungan
Kebanyakan dampak ini dari hasil tailing aktivitas pertambangan, penggunaan bahan kimia tak aman serta pasca tambangnya. Proses ekstraksi mineral akan menghasilkan tailing padat dan cair yang akan semakin besar volumenya seiring penambahan produksi. Untuk tambang terbuka, besarnya lahan untuk menempatkan tailing terkadang menjadi problema besar terlebih bagi tambang di lokasi rawan gempa.
Adanya kelalaian pihak pertambangan dalam memonitor atau memantau perubahan dampak lingkungan yang terjadi akibat proses penambangan itu sendiri, juga merupakan faktor pemicu. AMDAL terkadang tidak disosialisaikan bahkan dianggap sakral sehingga tidak direvisi. Partisipasi publik diabaikan dan menyebabkan isu lingkungan sangat mudah tersulut.
Pembuangan tailing di sepanjang sungai Ajkwaa oleh PTFI, meskipun telah mendapat izin, tetapi dengan volume tailing yang besar, dikhawatirkan menimbulkan masalah lingkungan. Terlebih izin untuk pemanfaatan tailing sulit untuk diterbitkan oleh pemerintah sehingga usaha minimasi limbah menjadi terhambat.
Lalu kasus Teluk Buyat dimana Newmont Minahasa Raya membuang tailingnya (Sub-Marine Tailing Placement) di palung  di Teluk Buyat. NMR telah mengantongi izin dan melakukan detoksifikasi tailing sehingga secara fisika kimia tidak mencemari lingkungan, dan ini sudah dierhitungkan dalam AMDAL. Sayangnya sosialisasi yang lemah membuat pembuangan tailing ini rawan isu lingkungan yang mudah dipolitisasi.
Meskipun secara scientific, konsentrasi logam berat di bawah baku mutu, persoalan ini meluas pada kualitas air tanah pemukiman penduduk yang menunjukkan adanya kandungan logam berat. Ditambah politisasi dan masuknya berbagai NGO dengan mengendarai proses pendampingan dan penelitian yang membuat makin rumit dan membuat pertambangan sebagai entitas yang disalahkan . 


Skematik Pembuangan Tailing Bawah Laut (Supangat, 2005)


Bukankah situasi ini menunjukkan bahwa Indonesia mesti memperbaiki regulasi sektor pertambangan terhadap masyarakat sekitar dan lingkungan. AMDAL cenderung diangggap sebagai bagian formalitas untuk mendapatkan izin tahapan selanjutnya. Apabila suatu saat AMDAL ini digugat, justru pertambanganlah yang akan merugi.

Rebutan SDA dengan Daerah
Diakui atau tidak, sejak era otnomi daerah, pedelegasian kewenangan lebih banyak di daerah dan menjadi trigger berbagai macam stigma buruk pertambangan. Perizinan dikeluarkan oleh daerah mengalahkan regulasi yang dikeluarkan pusat atau lebih tinggi lagi. Tumpang tindih regulasi terkadang menjadi hal yang lumrah dan menimbulkan disharmonisasi antara perusahaan dengan pemerintah daerah. Euforia tonomi yang cenderung berlebihan melahirkan anggapan bahwa perusahaan-perusahaan telah “mengambil“ sumberdaya tambang yang menjadi hak daerah.
Pemerintah daerah merasa lebih berhak untuk memanfaatkan SDA tambang sehingga terkesan mengatur regulasi semau Pemda baik dengan peraturan yang ambigu maupun pemaksaan. Ditelisik lebih jauh lagi, Pemda “menambang” mineral dengan nilai tangibel yang lebih rendah. Bahkan di beberapa daerah, pemanfaatan mineral berantakan mulai tumpang tindih KP, munculnya PETI dengan status legal, kerusakan lingkungna yang memilukan hingga perebutan “kue” dari pajak dan royalti. 



PETI, menimbulkan konflik hukum dan terkesan menjadi legal oleh pemerintah daerah
Disamping itu, transisi Otonomi Daerah masih banyak menimbulkan semangat primordialisme yang kental, misalnya, isu putra daerah dan non-putra daerah. Hal itu cenderung berdampak pada “kepemilikan“ daerah terhadap sumberdaya alam yang terdapat di daerah tersebut. Kepentingan pusat dan daerah menjadi didikotomikan dan lepas dari kerangka kepentingan nasional yang lebih luas.


No comments: